Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Ingatan yang Tersisa Soal Lumbung Pangan di Ibu Kota Baru
Tanggal 26 April 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman 11
Kata Kunci Ibu Kota Negara
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Kemandirian pangan pernah dinikmati masyarakat suku Balik di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Namun, hal itu lambat laun sirna, seiring pembangunan dari waktu ke waktu.

Oleh SUCIPTO

Pemandangan sawah di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (7/6/2022). Saat ini, hanya warga transmigran yang menanam padi di wilayah sekitar Ibu Kota Nusantara. Sebab, warga lokal seperti suku Paser dan suku Balik tak bisa lagi menggunakan sistem ladang berpindah untuk menanam padi gunung.

SUCIPTO

Pemandangan sawah di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (7/6/2022). Saat ini, hanya warga transmigran yang menanam padi di wilayah sekitar Ibu Kota Nusantara. Sebab, warga lokal seperti suku Paser dan suku Balik tak bisa lagi menggunakan sistem ladang berpindah untuk menanam padi gunung.

Sambil menyantap makan siang di warungnya, Yati Dahlia (32) mengenang episode terakhir padi gunung yang keluarganya tanam. Sejauh ingatannya, tahun 2014 adalah masa tanam penghabisan aneka padi gunung. Itu mereka tanam tak jauh dari rumah keluarga di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Letak lahan keluarga Dahlia berada di seberang PT ITCI Hutani Manunggal, perusahaan hutan tanaman industri. Dua lokasi itu dipisahkan oleh Jalan Negara yang membentang di sepanjang Kecamatan Sepaku. Saat ini, beberapa hektar lahan yang dikelola perusahaan itu diambil alih pemerintah sebagai titik mula pembangunan ibu kota baru.

Dahlia bercerita, sebelum menanam padi, keluarganya mula-mula membabat rerumputan yang tumbuh di lahan tersebut. Rerumputan itu dikumpulkan di beberapa titik. Anggota keluarga lainnya membuat semacam batas dengan lahan lain, bentuknya berupa lahan yang dibersihkan supaya ada jarak antara lahan satu dengan lahan lainnya. Setelah lahan bersih, ranting dan rerumputan dibakar.

Saat api menyala, beberapa anggota lain bersiap dengan daun basah di setiap titik api. Mereka berjaga kalau-kalau api itu merambat ke lahan lain. Jika demikian, mereka akan memukul api itu dengan daun-daun basah yang mereka pegang sampai api padam. ”Itu untuk mencegah api menjalar sehingga ndak terjadi kebakaran hutan dan lahan,” kata Dahlia, siang itu, akhir Maret 2023.

Laiknya sejumlah komunitas adat di Kalimantan, masyarakat suku Balik seperti keluarga Dahlia percaya membakar lahan merupakan satu cara agar tanah semakin gembur dan bagus untuk ditanam padi gunung. Itu, kata Dahlia, sudah menjadi pengetahuan turun-temurun yang diwariskan melalui cerita dan pengalaman.

Setelah masa pembersihan lahan, mereka akan menugal, yakni melubangi tanah dengan tongkat kayu yang ujungnya diruncingkan. Lubang-lubang itu nantinya akan ditanami bibit padi. Masyarakat Balik mengenal sejumlah jenis padi dengan berbagai ciri khas. Dahlia mengatakan, salah satu yang ia paling ingat adalah padi dupa, yakni padi yang harum saat dipanen. Kemudian, ada padi pulut jarum, sejenis padi ketan yang bulirnya kecil-kecil dan pulen saat disantap.

”Kami tidak pakai pupuk atau obat. Perawatan padi gunung itu cuma sesekali dibersihkan dari rumput-rumput liar. Supaya ndak ada hama, seperti walang sangit, rumput-rumput itu dibakar di tunggul kayu yang asapnya dipercaya buat usir hama,” ujar Dahlia.

Padi-padi itu dipanen hanya setahun sekali. Itu digunakan untuk kebutuhan makan keluarga selama setahun. Dahlia tak ingat berapa hasil panen dari dua hektar lahan milik keluarganya. Yang jelas, katanya, di masa panen selanjutnya, padi itu masih tersisa untuk dikonsumsi enam anggota keluarga.

Mereka menyimpan hasil panen padi gunung itu berupa gabah kering. Gabah itu awet dan tak diserang hama lantaran mereka simpan di dalam rumah. Mereka punya sebuah ruangan khusus sebagai lumbung padi. Ruangan itu dilapisi alas kulit kayu sungkai (Peronema canescens) yang dirangkai dengan rotan di setiap sudutnya. Jenis kayu itu di masa silam memang amat mudah ditemui di sekitar Sepaku. Dengan cara itu, gabah-gabah itu tak akan dimakan oleh binatang atau membusuk.

Untuk itu, Dahlia dengan yakin mengatakan, kendati keluarganya bukan orang berada, mereka tak pernah mengalami kesulitan makan. Di masa-masa itu, ia bahkan merasa tak cocok dengan nasi yang dimakan saat pergi ke luar kota. Sebab, lidah dan perutnya sudah terbiasa dengan beras padi gunung yang ditanam keluarganya tanpa obat-obatan.

Setelah masa panen padi gunung, lahan itu akan dibiarkan. Sisa-sisa batang padi akan dibiarkan mengering dan rebah secara alami. Lahan tersebut tak digunakan sampai tumbuh rumput-rumput liar, pertanda lahan tersebut sudah meremajakan diri. Di masa itu, mereka akan menggunakan lahan lain untuk menanam padi gunung, begitu seterusnya sampai kembali ke lahan awal.

Adapun untuk melengkapi ketahanan pangan keluarga, mereka sudah terbiasa menanam aneka buah-buahan seperti pisang, nangka, durian, cempedak, dan singkong. Selain itu, mereka menanam berbagai kebutuhan pangan lain, seperti cabai, serai, terung, bawang rambut, kencur, jahe, dan beberapa jenis sayuran.

Larangan membakar lahan

Masa-masa mandiri dalam memenuhi pangan keluarga itu mulai sirna setidaknya sejak tahun 2009. Itu dirasakan oleh Alfian (33), warga Kelurahan Sepaku yang kerap disebut sebagai kawasan Sepaku lama. Kampungnya itu berbatasan langsung dengan perusahaan hutan tanaman industri. Alfian bercerita, pihak perusahaan di tahun 2009 melarang warga untuk membakar lahan. Perusahaan takut terjadi kebakaran hutan dan lahan yang menjalar ke area produksi perusahaan.

”Sejak saat itu warga sudah ndak ada lagi yang menanam padi gunung. Warga ada yang memanfaatkan lahannya buat sawit atau yang lain,” kata Alfian.

Larangan itu meluas ke desa dan kelurahan lain seiring dengan melebarnya kegiatan perusahaan. Hingga akhirnya pada 2014 Desa Bumi Harapan, tempat tinggal keluarga Dahlia, juga dilarang untuk membakar lahan. Akibatnya, kata Dahlia, tak ada lagi warga yang menyambung bibit-bibit padi yang pernah mereka tanam. Warga akhirnya beralih menanam buah-buahan saja, seperti langsat, durian, cempedak, dan pisang.

Setelah larangan membakar lahan ditaati warga, beberapa masyarakat Balik, ujar Dahlia, mulai menanam sawit di lahan mereka, mengikuti sejumlah warga transmigran yang sejak 2006 mulai menanam sawit. Era perkebunan sawit mulai dijalankan warga lantaran di Sepaku terdapat izin perusahaan sawit. Itu membuat tumbuhnya pengepul sawit dan plasma di sekitar Sepaku.

Lantaran sawit tak bisa langsung dinikmati hasilnya—biasanya butuh waktu tiga sampai lima tahun untuk mendapatkan hasil bagus—sejumlah warga memenuhi kebutuhan pangan dengan cara baru. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan beras, beberapa anggota keluarga Dahlia membantu memanen padi para transmigran yang mengelola sawah. Para transmigran masuk ke Sepaku sekitar tahun 1970 dan menerapkan padi sawah laiknya pertanian padi di Jawa.

”Nanti bagi hasil untuk yang membantu, bukan dengan uang, melainkan dengan padi,” kata Dahlia.

Firman saat memindahkan sawit kiriman petani ke atas truk untuk dikirim ke pabrik di Desa Bukit Raya, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (27/7/2022).

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Firman saat memindahkan sawit kiriman petani ke atas truk untuk dikirim ke pabrik di Desa Bukit Raya, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (27/7/2022).

Kini, sebagian besar masyarakat Balik tak lagi menanam padi gunung. Selain menggunakan lahannya untuk perkebunan sawit, beberapa di antara mereka menanam gaharu, buah-buahan, membuka warung, atau bekerja di perusahaan hutan tanaman industri dan di seputar rantai pasok panen sawit.

Adapun sejumlah sawah yang bisa dijumpai di sekitar Sepaku merupakan sawah irigasi yang dikelola oleh masyarakat transmigran dari Pulau Jawa sejak 1970-an. Masyarakat lokal, seperti suku Balik, tak punya pengetahuan untuk beralih dari padi gunung ke padi sawah. Sibukdin, Ketua Adat Suku Balik di Kelurahan Sepaku, mengatakan, kini ia dan keluarganya membeli beras untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Lahan miliknya sudah digunakan untuk perkebunan sawit.

Badan Pusat Statistik mencatat, sawah irigasi dan nonirigasi di Kaltim pada 2012 seluas 68.120 hektar. Luasan tersebut menurun sekitar 4.000 hektar pada 2022 menjadi 64.030 hektar. Meskipun belum ada data pasti apa penyebab berkurangnya luasan sawah itu, mendengarkan kisah Dahlia dan Alfian mencerminkan satu hal: salah satu penyebab berkurangnya lahan untuk pangan di Kaltim akibat pemberian izin usaha yang memakan banyak lahan beserta implikasinya.

Kaltim pun saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan beras dari wilayahnya sendiri. Saat wawancara khusus dengan Kompas pada Januari 2023, Gubernur Kaltim Isran Noor mengatakan, lebih dari 50 persen kebutuhan beras Kaltim berasal dari beberapa daerah di Sulawesi dan Jawa Timur.

Izin penguasaan lahan

Hilangnya kemandirian pangan yang dimiliki keluarga masyarakat Balik itu bisa dilihat setidaknya sejak pemberian izin penguasaan hutan dan lahan di wilayah Sepaku dan sekitarnya. Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, pada tahun 1970-an pemerintah memberikan izin usaha pemanfaatan hutan dari hutan alam kepada PT ITCI Kartika Utama. Luasnya kini mencapai 173.395 hektar, sekitar dua kali luas DKI Jakarta. Menurut catatan FWI, kepemilikan PT ITCI Kartika Utama beralih ke tangan Hashim Djojohadikusumo pada tahun 2000-an.

Pada tahun 1996, pemerintah memberikan izin kepada PT ITCI Hutani Manunggal (IHM) yang bergerak di bidang hutan tanaman industri (HTI). Pohon Acacia mangium dan Eucalyptus sp sebagai tanaman utama dengan luas konsesi 161.127 hektar. FWI mencatat, sekitar 51 persen lahan yang ditetapkan pemerintah sebagai Ibu Kota Nusantara (IKN) dikuasai oleh perusahaan HPH, HTI, perkebunan kelapa sawit, dan perusahaan tambang.

Pemandangan di kawasan hutan tanaman industri PT ITCI Hutani Manunggal di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Sabtu (22/2/2020). Ibu kota negara baru direncanakan akan dibangun di sekitar wilayah ini.

SUCIPTO

Pemandangan di kawasan hutan tanaman industri PT ITCI Hutani Manunggal di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Sabtu (22/2/2020). Ibu kota negara baru direncanakan akan dibangun di sekitar wilayah ini.

Seperti diceritakan Dahlia dan Alfian, larangan membakar lahan untuk menanam padi gunung juga datang dari perusahaan tersebut yang rentan merugi ketika ada kebakaran hutan dan lahan. Kini, saat IKN sudah mulai gencar dalam pembangunan awal, pengetahuan dan praktik lumbung pangan masyarakat Balik hanya tinggal cerita di sisa-sisa ingatan warganya.

Hasanuddin dari Humas PT ITCI Hutani Manunggal sektor Trunen mengatakan, dalam menjalankan bisnis, perusahaan tersebut memang berkomitmen tak melakukan pembakaran di dalam konsesi, termasuk dalam membuka lahan. Beberapa kali insiden kebakaran, ujar Hasanuddin, akibat api yang bersumber dari luar perusahaan, salah satunya pembukaan lahan oleh warga.

Untuk itu, perusahaan bekerja sama dengan warga dan pemerintah setempat membentuk masyarakat peduli api atau MPA yang kini berjumlah 13 kelompok. MPA diajarkan melakukan pencegahan, pemantauan, dan penanganan kebakaran. Masyarakat juga diimbau oleh perusahaan agar tidak membakar lahan.

”Bersama masyarakat dan pemerintah setempat, kami melakukan pendidikan untuk mencegah kebakaran dan metode persiapan lahan tanpa bakar,” kata Hasanuddin.

Roedy Haryo Widjono, budayawan sekaligus peneliti di Nomaden Institute Cross Cultural Studies, menilai pembangunan di wilayah Sepaku sejak Indonesia merdeka tak memiliki strategi kebudayaan. Akibatnya, sejumlah pengetahuan tradisional yang penting, seperti ladang bergilir dan sistem lumbung pangan yang dibangun turun-temurun oleh warga, kini sirna.

Menurut Roedy, itu berdampak terhadap banyak hal, terutama ruang hidup dan cara hidup masyarakat lokal yang lebih dulu menetap di sana. Dari sejarah panjang pembangunan dan pola pemberian izin itu, kata Roedy, pemerintah tak punya stategi penyelamatan komunitas-komunitas lokal yang hidup dan tumbuh dengan lingkungannya di Sepaku.

”Setidaknya di daerah Penajam Paser Utara itu saat ini ada sekitar 14 padi endemik yang hilang. Cara hidup yang lebih egaliter, seperti menggunakan lahan bersama-sama, kini sudah tak ada, hilang menjadi melulu transaksional,” katanya.

Strategi pemerintah

Dalam praktiknya, kini masyarakat Balik sudah tak menjalankan sistem lumbung pangan yang mereka jalankan sebelum tahun 2014. Adapun masyarakat Balik juga belum diakui pemerintah sebagai masyarakat adat. Akibatnya, pengelolaan lahan dan hak lainnya sebagai masyarakat adat tak bisa mereka dapatkan.

Lebih jauh dari itu, saat ini belum ada masyarakat adat yang diakui oleh pemerintah di Penajam Paser Utara, titik mula pembangunan IKN. Salah satu faktornya adalah belum adanya identifikasi masyarakat adat di kabupaten itu. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014, pengakuan masyarakat hukum adat harus melalui identifikasi terlebih dahulu.

Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara Pitono menyatakan, pihaknya sedang melakukan harmonisasi Peraturan Bupati PPU tentang identifikasi masyarakat hukum adat. Sementara itu, Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN Alimuddin mengatakan, proses identifikasi masyarakat adat merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.

Saat ini, kata Alimuddin, Otorita IKN belum sepenuhnya melaksanakan tugas sebagai pemerintah daerah sehingga belum bisa melaksanakannya.

Warga suku Paser meletakkan sesaji saat ritual bersoyong di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Sabtu (27/7/2022). Ritual bersoyong dilakukan di banyak kegiatan suku Paser dan suku Balik, antara lain bersih desa, memulai bertani, dan memulai membuka hutan.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga suku Paser meletakkan sesaji saat ritual bersoyong di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Sabtu (27/7/2022). Ritual bersoyong dilakukan di banyak kegiatan suku Paser dan suku Balik, antara lain bersih desa, memulai bertani, dan memulai membuka hutan.

Untuk itu, ia melanjutkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah Penajam Paser Utara. Selain itu, menurut rencana, setelah Idul Fitri 2023 pihaknya akan menggelar diskusi kelompok terfokus (FGD). Forum itu akan mengundang berbagai pemangku kepentingan, termasuk komunitas adat di wilayah IKN.

”Duduk bareng. Kami ingin mengakomodasi semua. Output-nya melengkapi persyaratan yang dibutuhkan untuk pengakuan masyarakat adat,” ujar Alimuddin saat dihubungi pertengahan April 2023.

Selain itu, Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Myrna Asnawati Safitri mengatakan, pihaknya saat ini sedang menyiapkan payung hukum pemajuan kearifan lokal di wilayah yang ditetapkan pemerintah sebagai IKN. Bentuknya berupa peraturan Kepala Otorita IKN. Dihubungi melalui Zoom meeting awal April, peraturan yang sedang disiapkan itu akan berfokus pada pengakuan, perlindungan, dan pemajuan kearifan lokal.

Ia menekankan, kearifan lokal masyarakat itu nantinya bukan hanya diakui. Tujuannya pun bukan untuk konservasi, melainkan pemajuan dan revitalisasi kearifan lokal yang ada dan dinilai penting bagi masyarakat.

”Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa dikeluarkan. Setelah itu beres, Otorita IKN akan mengadakan konsultasi publik dan membahasnya dengan lembaga/kementerian terkait,” kata Myrna.

Revitalisasi kearifan lokal memang krusial dalam pembangunan IKN sehingga kepentingan masyarakat setempat juga terakomodasi. Jangan sampai kearifan itu pun tinggal kenangan, layaknya kenangan Dahlia akan lumbung pangan suku Balik di masa lalu.

  Kembali ke sebelumnya