Judul | Haji, Status, dan Pesan Kemanusiaan |
Tanggal | 09 Juni 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi VIII |
Isi Artikel | HERYUNANTO Ilustrasi Indonesia menjadi negara yang memiliki kuota haji terbanyak pada 2023 dengan 221.000 anggota jemaah. Jumlah ini terdiri dari 203.320 anggota jemaah reguler dan 17.680 anggota jemaah khusus. Secara bertahap, mereka akan diberangkatkan ke Jeddah mulai 8 Juni 2023/19 Zulkaidah 1444. Wukuf di Arafah diperkirakan bertepatan dengan hari Selasa, 27 Juni 2023. Mereka akan dipulangkan ke Tanah Air secara bertahap mulai 4 Juli 2023. Geliat ibadah haji bagi Muslim Indonesia tak pernah surut meski ongkos naik haji (ONH) terus melonjak. Ini bisa kita lihat dari besarnya minat masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji, yang angkanya terus meningkat setiap tahun. Fenomena lain yang juga menarik, ibadah haji dilakukan berulang kali oleh kebanyakan mereka yang mampu. Adakah doktrin yang membentuk pola pikir mereka? Ataukah karena haji secara sosiologis telah dipandang sebagai ibadah yang sarat dengan atribut sosial? Baca juga : Jemaah Haji Diminta Jaga Kesehatan dan Fokus Beribadah Tulisan ini membahas makna simbol dalam ibadah haji di kalangan masyarakat Muslim dalam perspektif sosio-antropologis. Vredenbregt (1991: 45) menganggap ibadah haji sebagai ritus kehidupan Muslim Indonesia yang identik dengan fase transisi menuju fase baru. Mengikuti tipologi Clifford Geertz, Vredenbergt membagi ritus kehidupan haji dalam tiga kategori: kategori anak muda, kategori usia lanjut, dan kategori pegawai negeri pensiunan. Pertama, bagi anak muda, ibadah haji menjadi penutup ideal setelah pendidikan di pesantren dan sekaligus akhir masa remaja. Jika seorang remaja sudah berhaji, berarti ia telah memasuki status baru, dan dipertegas dengan nama baru yang diperoleh dari Tanah Suci, plus segala atribut yang disandangnya. Kedua, haji bagi usia lanjut. Bagi usia lanjut, ibadah haji dianggap sebagai akhir dari perjalanan hidup untuk mengabdikan diri pada kehidupan beragama dan menutup fase baru. Ketiga, haji pensiunan, yaitu melaksanakan ibadah haji setelah pensiun. Bagi mereka, ibadah haji dianggap sebagai akhir suatu fase kehidupan baru. DOKUMENTASI BANDARA LOMBOK Kelompok terbang pertama calon jemaah haji embarkasi Lombok, naik ke pesawat yang akan menerbangkan mereka ke Tanah Suci, Rabu (7/6/2023). Status sosial baru Di kalangan masyarakat Muslim Indonesia—khususnya Madura dan Jawa—ada tradisi bagi jemaah haji untuk mengganti nama lama menjadi nama baru, yang diberikan oleh seorang syeikh di Mekkah. Penggantian nama ini bagi masyarakat perdesaan seolah merupakan keharusan. Dianggap sesuatu yang tidak lazim dan tidak etis apabila setelah itu masih ada orang yang memanggil dengan nama dan panggilan lama, kecuali bagi orang yang tak tahu atau belum mengenalnya. Oleh sebab itu, atribut haji (seperti songkok putih, sorban, dan lain-lain) harus dipakai. Selain itu, mulai dari keberangkatan hingga kepulangan, juga dilakukan seremonial yang meriah. Mulai dari selamatan, menyediakan oleh-oleh untuk tetangga dan tamu, hingga acara ritual-seremonial lain. Penghormatan untuk jemaah haji diselenggarakan melalui upacara walimat al-safar. Upacara penuh nuansa ritus dan sakral ini biasanya dilakukan tujuh hari sebelum calon haji memasuki asrama haji, dipimpin seorang ulama lokal (kiai). Upacara yang diisi dengan ceramah agama berisi nasihat dan pesan-pesan haji itu juga dijadikan momentum permintaan maaf calon haji kepada sanak keluarga dan para tamu, karena keberangkatan haji juga dipahami sebagai ibadah yang mempertaruhkan jiwa dan raga. Pasrah untuk dipanggil oleh Allah SWT di Tanah Suci. Bahkan, sebagian dari mereka, khususnya kalangan orang tua, ingin meninggal di sana karena meyakini meninggal di Tanah Suci lebih mulia dan dijamin masuk surga (Farida, 1999: 34).
Haji di kalangan masyarakat Muslim juga dipahami sebagai media ”pembuktian” atas amal baik dan buruk sebelumnya. Ada kepercayaan, mereka yang sebelumnya berperilaku kurang terpuji, selama prosesi ibadah haji berlangsung, akan mengalami kesulitan. Misalnya, kehilangan barang, kesasar, diinjak-injak, dipukuli, dan sebagainya. Sebaliknya, jika seseorang banyak memperoleh pertolongan dan kemudahan selama berhaji, serta-merta itu diklaim sebagai ganjaran atas perbuatan kebajikan sebelumnya. Mekkah diasumsikan sebagai ”miniatur akhirat” karena di situ ditunjukkan azab dan ganjaran. Gap misi dan simbol Ibadah haji dibawa oleh Nabi Ibrahim AS sekitar 3.600 tahun lalu, dan kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satu bukti jelas simbol humanisme ibadah haji adalah adanya ajaran tentang egalitarianisme, melarang berkata-kata jorok (rafats), berbuat maksiat (fusuq), dan berseteru satu sama lain (jidal). Dalam khotbah perpisahan (wada’), Nabi menekankan pentingnya makna persamaan, keharusan memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, larangan melakukan penistaan pada kaum lemah, baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya. Pesan Nabi itu menjadi bukti sejarah bahwa ada relasi signifikan antara ibadah haji dan nilai-nilai kemanusiaan universal (humanisme). Di balik doktrin-doktrin itu, ibadah haji juga membawa pengalaman kemanusiaan yang konkret. Hal ini dapat dilihat dalam ritusnya, seperti ditanggalkannya pakaian keseharian dan menggantikannya dengan pakaian putih yang suci (ihram). Juga dilarang berulah, merusak lingkungan, serta menyakiti binatang, tanaman, dan terlebih lagi terhadap sesama manusia. HUMAS PROVINSI JATIM Calon jemaah haji asal Jawa Timur saat mengikuti manasik di Surabaya, Jumat (5/5/2023). Penanggalan pakaian itu secara tak langsung menafikan sekat antara si kaya dan si miskin dan mengeliminasi perbedaan status sosial. Itulah harapan ideal ajaran ibadah haji yang merupakan simbol egalitarianisme. Semua manusia bergerak seirama dan senada dalam posisi kemanusiaan yang sama. Tak ada yang lebih mulia ataupun yang hina. Namun, sayang, tradisi yang berkembang di masyarakat dalam memahami pesan ibadah haji tersebut telah mengubah substansi makna dan pesan ibadah itu sendiri. Pesan berihram dan larangan perbuatan rafats, fusuq, dan jidal tak dipahami secara kontekstual dan berkelanjutan, padahal seharusnya terbawa hingga kembali ke Tanah Air. Penelitian penulis (2002) juga menunjukkan hal serupa. Ibadah haji di kalangan masyarakat petani santri dipahami sebagai ibadah yang sangat simbolistik dan verbal. Ada persepsi umum di kalangan mereka, ”haji membuat orang menjadi kaya dan harta yang digunakan untuk berhaji tak akan pernah habis”. Persepsi demikian ternyata tak dijumpai pada aktivitas ibadah yang lain, misalnya pada zakat, bahwa ”harta atau uang tidak akan pernah habis untuk dikeluarkan zakatnya”, atau untuk biaya pendidikan dan seterusnya. Bahkan, menurut mereka, menjadi sopir dan tidak tamat sekolah tidak menjadi masalah asal mereka sudah melaksanakan haji. M Zainuddin,Profesor Sosiologi Agama, Rektor UIN Maliki, Malang |
Kembali ke sebelumnya |