Judul | Manfaat ”Account Based Ticketing” untuk Angkutan Umum |
Tanggal | 18 Juli 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 1 |
Kata Kunci | Pengangkutan |
AKD |
- Komisi V |
Isi Artikel | Pengembangan sistem tiket berbasis akun memungkinkan pemerintah mengoptimalkan subsidi angkutan umum dengan mekanisme subsidi langsung kepada pengguna yang tepat. Oleh RICO USTHAVIA FRANS Kemacetan lalu lintas di kota-kota besar, apalagi di DKI Jakarta, menjadi permasalahan akut. Hal itu antara lain terjadi karena pertambahan penduduk, urbanisasi masif, tertinggalnya perluasan jalan, kurangnya jumlah dan kualitas layanan angkutan umum, serta bertambahnya pengguna kendaraan pribadi. Selain kemacetan, polusi pun meningkat. Untuk mengatasinya, peran pemerintah pusat dan daerah dalam menyediakan dan menggiatkan penggunaan angkutan umum amat diperlukan. Akhir tahun lalu, Kementerian Perhubungan menggelar Gerakan Nasional kembali ke Angkutan Umum di beberapa kota, antara lain Palembang, Semarang, dan Yogyakarta. Di DKI Jakarta, ada beberapa moda angkutan umum, yaitu TJ (Trans Jakarta), MRT (Mass Rapid Transportasi/Moda Raya Terpadu), LRT (Light Rail Transit), dan KRL (Kereta Rel Listrik) Commuter Line yang dioperasikan oleh KCI (Kereta Komuter Indonesia). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mendirikan PT Jaklingko Indonesia (PT JLI) yang diberi mandat mengimplementasikan layanan terintegrasi moda layanan yang bisa diakses menggunakan aplikasi Jaklingko dan Kartu Transportasi. Saat ini, PT JLI sedang membangun sistem tiket berbasis akun (Account Based Ticketing/ABT). Manfaat utama dari sistem ABT adalah kemampuan untuk menerapkan subsidi langsung dengan mudah sehingga subsidi angkutan umum menjadi lebih efisien. Untuk DKI Jakarta, pengoperasian TJ, MRT, LRT memerlukan biaya total sekitar Rp 7 triliun dalam setahun. Agar biaya tiket terjangkau, Pemprov DKI tiap tahun mengeluarkan biaya dalam bentuk Public Service Obligation sekitar Rp 4 triliun (sekitar Rp 3.2 triliun untuk TJ, selebihnya untuk MRT dan LRT). Di luar itu, pada 2021, KCI sebagai pengelola KRL Commuter Line menerima subsidi sekitar Rp 2.1 triliun dari Kementerian Perhubungan. Subsidi ini dikategorikan sebagai subsidi tidak langsung yang kurang efisien, karena dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, yang memerlukan atau tidak. Dengan bertambahnya armada dan biaya pengoperasian, subsidi pun akan meningkat dari tahun ke tahun. IdentifikasiTerkait hal itu, PT JLI mengembangkan platform ABT yang memungkinkan pemerintah mengoptimalkan subsidi angkutan umum dengan mekanisme subsidi langsung kepada pengguna yang tepat. Saat ini, pembayaran angkutan umum di Jakarta umumnya menggunakan kartu uang elektronik di mana pemerintah hanya mengenal nomor kartu, tanpa informasi detail penggunanya. Dengan sistem ABT, kartu yang digunakan untuk pembayaran dapat dihubungkan dengan profil pribadi tertentu. Dengan demikian, mudah bagi pemerintah untuk memberikan subsidi atau menentukan kebijakan biaya angkutan umum kepada golongan masyarakat tertentu. Subsidi yang tepat sasaran akan membuat keseluruhan biaya subsidi efisien. Kelebihan anggaran bisa dialihkan untuk pembangunan angkutan umum yang lebih banyak dan lebih baik. Pada akhir tahun 2022, sempat terjadi polemik karena tarif KRL Commuter Line akan dinaikkan khusus untuk masyarakat yang perekonomiannya tergolong mampu alias 'orang kaya'. Niatnya baik, tetapi paradigmanya sebaiknya diubah dengan analogi uang sekolah. Secara umum, tarif uang sekolah sama tetapi siswa yang tidak mampu boleh meminta keringanan. Hal serupa seharusnya diterapkan dalam hal angkutan umum. Secara umum, biaya angkutan umum harus terjangkau dan lebih murah daripada kendaraan pribadi. Namun, mereka yang tidak mampu, bisa mendapat keringanan, bahkan gratis. Caranya, dengan mengidentifikasikan diri sebagai orang yang memenuhi kriteria kelayakan penerimaan subsidi. Di sinilah perlunya platform ABT yang memiliki kemampuan identifikasi dan memberi tarif dengan personalisasi sesuai golongannya. Sebenarnya Gubenur DKI sudah mengeluarkan instruksi untuk membebaskan tarif angkutan umum bagi 15 golongan seperti lanjut usia, anak sekolah, polisi dan tentara, pekerja rumah ibadah, dan lain sebagainya. Namun, hal ini secara praktis sulit untuk diterapkan karena masih menunggu implementasi sistem ABT. Manfaat lain dari platform Account Based Ticketing adalah kemampuan mendukung tiket berlangganan, misalnya tiket harian, mingguan, atau bulanan. Ini tentu menarik bagi turis dan komuter. Selain itu, semua setting pricing dilakukan di belakang, sehingga jika penyelenggara angkutan umum ingin melakukan promosi khusus, misalnya Rp 17 dalam rangka hari Proklamasi, perubahan tarif bisa dilakukan dengan cepat. Saat ini, parameter pentarifan masih hardcoded dalam terminal pembaca kartu. Untuk menjalankan program semacam itu dibutuhkan usaha besar dan waktu lama. Dengan ABT, pemerintah juga akan mendapatkan data lebih baik. Pergerakan pengguna angkutan umum dapat diidentifikasi lebih akurat. Dengan data yang lebih komprehensif, pemerintah dapat melakukan perencanaan dan mengeluarkan kebijakan layanan transportasi umum yang lebih baik. Platform ABT mengharuskan pengguna untuk memiliki smartphone karena pendaftaran pengguna dilakukan dengan cara digital melalui aplikasi. Keuntungannya, selain memakai kartu, pengguna angkutan umum juga bisa menggunakan QR sebagai pengganti tiket. Bagi perbankan, uang elektronik chip-based sebenarnya bukan bisnis menguntungkan. Mereka hanya mendapatkan manfaat dari sisi branding. Metode pindai QR secara jangka panjang akan lebih murah dan efisien. Oleh karena itu, sedapat mungkin pengguna angkutan umum harus didorong untuk menggunakan aplikasi. Meski demikian, PT JLI juga perlu memikirkan cara pendaftaran melalui website dan penggunaan kartu transportasi khusus bagi yang tidak memiliki smartphone. Selain faktor teknis, tantangan yang dihadapi oleh PT JLI dalam menerapkan ABT antara lain adalah ego penyelenggara angkutan umum (TJ, MRT, LRT, dan KCI). Saat ini penyelenggara memiliki aplikasi masing-masing. Dengan semangat integrasi, semua aplikasi seharusnya dijadikan satu di bawah PT JLI. Hal ini memerlukan arahan dan keputusan tegas dari atas, baik Gubernur atau Dinas Perhubungan. Dengan demikian pengguna akan lebih dimudahkan dan penerapan tarif integrasi menjadi lebih mudah. Lebih jauh lagi, konsep Account Based Ticketing dan integrasi antar moda yang sedang diterapkan di DKI Jakarta sebaiknya juga ditularkanke daerah-daerah lain, sehingga angkutan umum bisa menjadi primadona bagi warga penggunanya. *Rico Usthavia Frans, Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society |
Kembali ke sebelumnya |