Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Bahaya di Balik Pelintasan Kereta Api Sebidang
Tanggal 20 Juli 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Kereta Api
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Dengan semakin tingginya mobilitas penduduk, maka pemerintah sudah seharusnya menyediakan infrastruktur yang mendukung agar pelintasan kereta api tidak sebidang dengan lalu lintas kendaraan.

Oleh Budiawan Sidik A

Kecelakaan yang melibatkan Kereta Api Brantas dengan truk trailer di Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Selasa (18/7/2023) malam kian menguatkan bahwa pelintasan sebidang memang sangat membahayakan. Para pengguna jalan dituntut mengutamakan budaya keselamatan saat akan melintasinya.

Di sisi lain, pemerintah juga diharapkan dapat menyediakan infrastruktur agar pelintasan KA menjadi tidak sebidang dengan jalan. Dalam Undang-Undang Nomor 72 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian disebutkan bahwa pelintasan KA harus dibuat tidak sebidang, kecuali dapat menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan. Dalam UU ini disebutkan bahwa secara bertahap pelintasan akan dibuat tidak sebidang dan yang sebidang harus ditutup.

Aturan itu menyiratkan bahwa pelintasan sebidang memang diupayakan akan terus dikurangi jumlahnya demi meningkatkan keselamatan. Semakin sedikit pelintasan sebidang, maka perjalanan KA akan semakin aman dan selamat. Pengguna jalan pun akan semakin aman dan lalu lintas kian lancar ketika melewati jalur tidak sebidang yang memotong rel kereta api. Konkretnya, dengan semakin banyak infrastruktur jalan yang dibangun dengan model flyover atau underpass saat berpotongan dengan rel KA, tingkat keselamatannya akan semakin optimal.

Hingga saat ini, kecelakaan lalu lintas pada pelintasan sebidang masih terus terjadi dan menelan banyak korban. Berdasarkan data Pusat Kebijakan Keselamatan dan Keamanan Transportasi, jumlah kejadian kecelakaan beserta korbannya berfluktuasi. Pada tahun 2022, jumlah kecelakaan di pelintasan sebidang mencapai 195 kejadian. Angka ini menyusut cukup banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata setahun lebih dari 250 kasus. Bahkan, pada tahun 2019, jumlah kecelakaan di pelintasan sebidang mencapai 409 kasus.

Namun, meskipun intensitas kecelakaannya menurun, jumlah korban yang ditimbulkannya justru kian meningkat. Pada tahun 2019, total jumlah korban baik meninggal, luka berat, maupun luka ringan mencapai 282 jiwa, tetapi pada tahun 2022 akumulasi jumlah korban melonjak drastis hingga lebih dari 600 jiwa. Banyaknya jumlah korban ini disinyalir berhubungan dengan kian tingginya mobilitas masyarakat pascapandemi, terutama pergi secara berombongan. Intensitas kejadian yang menurun, tetapi jumlah korban justru meningkat, menandakan bahwa kecelakaan di pelintasan sebidang itu melibatkan kendaraan yang mengangkut banyak orang.

https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/07/19/9d84f47e-3fe1-4da3-9a22-3d54df913734_gif.gif

Fenomena tersebut juga memberikan gambaran tentang masih adanya para pengguna jalan raya yang abai pada keselamatan. Kebiasaan para pengguna jalan untuk ”berhenti, menoleh ke kanan-kiri, aman, dan jalan” perlu untuk terus diingatkan ketika akan melewati pelintasan sebidang. Apalagi, sebagian besar kasus kecelakaan pada pelintasan ini (87 persen) terjadi pada pelintasan yang tidak dijaga. Relatif minim, yakni sekitar 13 persen saja, kecelakaan yang terjadi pada pelintasan yang dijaga. Itu pun biasanya karena ulah pengguna jalan yang nekat menerobos palang kereta yang sudah tertutup karena KA mau lewat.

Dalam konteks penggunaan manfaat pelintasan sebidang, memang para pengguna jalan dituntut untuk mendahulukan kereta api yang akan lewat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api disebutkan bahwa pemakai jalan wajib mendahulukan kereta api. Regulasi ini menyebutkan, palang pelintasan pada perpotongan sebidang berfungsi untuk mengamankan perjalanan kereta api dan bukan mengamankan pengguna jalan. Jika terjadi kecelakaan pada pelintasan ini, hal itu bukan kecelakaan perkeretaapian, melainkan kecelakaan lalu lintas jalan. Oleh karena itu, setiap pengguna jalan wajib mematuhi semua rambu-rambu di perpotongan sebidang untuk menjaga keamanan kereta api dan lalu lintas jalan.

Marak pelintasan sebidang

Munculnya risiko kecelakaan pada pelintasan sebidang membuat pemerintah terus berupaya menekan jumlah pelintasan tersebut. Caranya, dengan membangun sejumlah infrastruktur pendukung dan menutup sejumlah pelintasan. Hanya, jumlah pelintasan sebidang sepertinya terus bermunculan.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, jumlah pelintasan sebidang di Jawa dan Sumatera sempat susut pada tahun 2019 menjadi 4.716 titik. Jumlah ini berkurang drastis dari tahun 2017 yang mencapai 5.829 titik. Namun, pada tahun 2020, jumlah pelintasan sebidang kembali melonjak menjadi 5.110 titik lokasi. Jumlah pelintasan sebidang yang bertambah ini sebagian besar berupa pelintasan yang tidak dijaga dan pelintasan liar.

Akibatnya, kasus kecelakaan di pelintasan itu masih kerap terjadi, terutama di sejumlah daerah operasi (daop) di Jawa dan beberapa divisi regional (divre) di Sumatera. Wilayah di Jawa yang sering kali terjadi kasus kecelakaan pada pelintasan sebidang berada di Daop I Jakarta dan Daop VIII Surabaya. Untuk wilayah Sumatera, intensitas tertinggi kecelakaan berada di Divre I Sumatera Utara dan Divre IV Tanjungkarang. Meskipun hanya beberapa yang intensitasnya sangat tinggi, peristiwa kecelakaan di pelintasan sebidang terjadi secara merata di semua daop dan divre perkeretaapian. Oleh karena itu, diperlukan langkah antisipasi untuk menekan jumlah kecelakaan tersebut secara berkesinambungan.

Ada sejumlah langkah untuk meminimalkan risiko pelintasan sebidang. Pertama adalah menjalin sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terdiri dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Sinergi ini sangat penting karena pelintasan sebidang bisa saja berada di akses jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, ataupun jalan lingkungan/desa yang memiliki alur tanggung jawab berbeda-beda. Dengan sinergi ini, akan tercipta solusi guna mengatasi potensi risiko kecelakaan di suatu pelintasan sebidang.

Salah satunya, proyek pembangunan flyover Purwosari di Surakarta, Jawa Tengah, yang bertujuan untuk mengurai kemacetan di Jalan Slamet Riyadi yang berpotongan dengan rel KA. Proyek ini didanai oleh APBN karena memang lingkup jalannya milik nasional. Dengan terciptanya pelintasan yang tidak sebidang ini, tingkat keselamatan para pengguna jalan dan perjalanan kereta menjadi semakin tinggi. Untuk mengimplementasikannya, tentu saja diperlukan sinergi antara Pemerintah Kota Surakarta, Pemerintah Provinsi Jateng, dan juga pemerintah pusat.

Memang, membangun infrastruktur tidak sebidang, seperti flyover Purwosari, itu merupakan kebijakan infrastruktur yang ideal. Namun, keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah membuat hal tersebut perlu dilakukan secara selektif dan mendahulukan proyek-proyek yang lebih prioritas. Oleh sebab itu, diperlukan dukungan kebijakan lain guna memitigasi risiko pelintasan sebidang yang kemungkinan akan muncul dan berkembang di level-level administrasi, terkecil seperti kecamatan, kelurahan, ataupun desa. Selain itu, pelintasan-pelintasan yang ada saat ini, baik yang tidak berpenjaga maupun liar, juga harus diperhatikan guna minimalkan risiko kecelakaan.

Ada sejumlah cara yang telah dilaksanakan pemerintah guna mengendalikan risiko pelintasan sebidang di sejumlah daerah. Beberapa di antaranya adalah program pengadaan pintu pelintasan, sistem peringatan dini (early warning system), dan pemasangan rambu-rambu di sejumlah pelintasan sebidang. Selain itu, juga membangun jalan kolektor di sepanjang jalur KA, memasang pagar steril di jalur KA, membangun flyover/underpass, dan menutup pelintasan sebidang yang berdekatan dan memiliki lebar jalan kurang dari 2 meter.

Dalam kurun waktu 2018-2022, jumlah pelintasan yang ditutup kian meningkat. Pada tahun 2022 lalu setidaknya ada 690 pelintasan sebidang yang sudah ditutup pemerintah. Penutupan terbanyak di wilayah Daop I Jakarta, Daop IV Semarang, Daop VII Madiun, Divre I Medan, dan Divre II Padang.

Untuk mengoptimalkan sejumlah penanggulangan risiko pelintasan sebidang itu, pemerintah juga perlu melakukan kampanye atau sosialisasi terkait budaya keamanan di jalan raya, terutama saat akan melintasi pelintasan kereta api sebidang. Masyarakat harus sadar bahwa pelintasan sebidang itu sangat berbahaya sehingga akan timbul kehati-hatian ketika akan melewatinya.

Selain itu, menerapkan sanksi hukum yang tegas bagi pengguna jalan yang melanggar aturan di pelintasan sebidang. Ketika sinyal sudah berbunyi dan palang sudah mulai menutup, tetapi masih ada pengguna jalan yang menerobosnya, maka yang bersangkutan dapat dikenai sanksi pidana kurungan 3 bulan atau denda paling banyak Rp 750.000. Dengan edukasi yang tepat dan penerapan sanksi hukum yang tegas ini, masyarakat akan kian sadar dan mematuhi segala aturan berikut rambu-rambu di pelintasan sebidang.

Dengan upaya yang berjalan dua arah tersebut, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat, risiko kecelakaan di pelintasan sebidang akan dapat diminimalkan. Meskipun demikian, idealnya, pelintasan sebidang harus terus ditekan jumlahnya sehingga arus perjalanan kendaraan tidak akan pernah berpotongan dalam bidang yang sama dengan kereta api. Apalagi, dengan kian majunya perekonomian dan tingginya mobilitas penduduk, sudah sepantasnya pemerintah menyediakan infrastruktur yang mendukung kelancaran arus lalu lintas kendaraan dan juga kereta api pada pelintasan sebidang. (LITBANG KOMPAS)

  Kembali ke sebelumnya