Judul | OJK Finalisasi Rancangan Peraturan OJK soal Bursa Karbon |
Tanggal | 01 Agustus 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi XI |
Isi Artikel | Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan sedang menyiapkan rancangan peraturan OJK yang akan jadi aturan pendukung dalam penyelenggaraan perdagangan karbon melalui bursa karbon. Perdagangan karbon merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan dan mendukung pemerintah menciptakan emisi nol.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi mengatakan, pihaknya sedang merapikan sebelum final (finalisasi) rancangan peraturan OJK soal perdagangan bursa karbon itu. Sebelumnya, rancangan peraturan OJK tersebut telah dikonsultasikan bersama Komisi XI DPR. ”Hal ini tentunya menjadi penyemangat dan meningkatkan rasa optimistis untuk dapat menyelenggarakan perdagangan perdana unit karbon di bursa karbon pada bulan September mendatang sesuai dengan arahan dari Bapak Presiden RI,” kata Inarno dalam sambutannya pada seminar nasional dengan tema ”Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dan Peluang Perdagangan Bursa Karbon di Indonesia” di Surabaya, Jawa Timur, Senin (31/7/2023). Ia menambahkan, OJK mendukung upaya pemerintah dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan penyelenggaraan serta pengawasan bursa karbon sesuai dengan amanah UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Ini sejalan dengan pesatnya perkembangan perdagangan karbon di dunia dan besarnya potensi yang dimiliki Indonesia. Menurut dia, pemerintah memiliki target menurunkan emisi GRK sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 43,2 persen dengan bantuan partisipasi internasional pada 2030 sesuai dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) 2022. Untuk itu, diperlukannya dukungan berbagai sektor dalam upaya menurunkan GRK, termasuk sektor industri jasa keuangan. Indonesia, lanjut Inarno, memiliki peluang yang sangat besar dalam perdagangan karbon, salah satunya pada subsektor pembangkit tenaga listrik. Indonesia mempunyai 99 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara untuk dapat mengikuti perdagangan karbon tahun ini. Jumlah ini setara dengan 86 persen dari total PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia. Adapun PLTU yang ikut dalam perdagangan karbon adalah PLTU di atas 100 megawatt, pada 2024 di atas 50 megawatt, dan pada 2025 diharapkan semua PLTU dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) akan masuk pasar karbon. Selain dari subsektor pembangkit, perdagangan karbon di Indonesia juga akan diramaikan oleh sektor lain yang akan bertransaksi di bursa karbon, seperti sektor kehutanan, perkebunan, migas, dan industri umum. Untuk mendukung peluang itu, OJK juga akan terus memastikan perangkat infrastruktur tidak hanya fit, tetapi juga lengkap, mulai dari infrastruktur primer, sekunder, hingga pasar, sehingga dapat menopang beroperasinya bursa karbon serta mekanisme pengawasan yang sesuai untuk pasar karbon agar selaras dengan target nasional yang ditetapkan dalam NDC. Respons perbankanPada kesempatan terpisah, Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri Alexandra Askandar mengatakan, dalam mendukung upaya perdagangan karbon yang sedang disiapkan OJK bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bank Mandiri aktif berkoordinasi dan berdiskusi dengan regulator. Bank Mandiri siap berperan aktif di dalam pasar karbon yang direncanakan akan dibuka September 2023. ”Dalam hal ini Bank Mandiri juga tentunya telah melakukan persiapan dalam pengembangan kapabilitas internal dan ikut membentuk kesadaran pasar karbon Indonesia dengan mengedepankan tema ini dalam berbagai diskusi yang dilakukan bersama para pemangku kepentingan,” ujar Alexandra dalam konferensi pers kinerja Bank Mandiri, Senin. Bank Mandiri juga telah menyalurkan kredit atau pembiayaan hijau berkelanjutan. Sampai dengan Juni 2023, Bank Mandiri telah menyalurkan portofolio berkelanjutan sebesar Rp 242 triliun atau setara dengan 24,6 persen dari total kredit. Alexandra menambahkan, pembiayaan hijau telah diarahkan untuk fokus berkelanjutan, seperti perkebunan yang telah tersertifikasi RSPO atau ISPO. Selain itu juga energi baru terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga hidro, geotermal, transportasi, dan ekosistem kendaraan listrik dari hulu ke hilir. Kucuran kredit atau pembiayaan hijau berkelanjutan juga dilakukan oleh BRI. Direktur Kepatuhan BRI Ahmad Solichin Lutfiyanto mengatakan bahwa BRI terus berkomitmen terhadap investasi berkelanjutan dengan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, governance/ESG). ”BRI telah membuat strategi dan kebijakan khusus dalam mengimplementasikan aspek dalam proses bisnisnya,” ujarnya. Sepanjang triwulan pertama 2023, BRI mencatat pertumbuhan penyaluran kredit berkelanjutan sebesar 11,1 persen secara tahunan, yakni mencapai Rp 710,9 triliun. Dari sisi pendanaan, pada 2019 BRI telah menerbitkan obligasi berkelanjutan sebesar 500 juta dollar AS. Pada 2022, BRI menerbitkan obligasi hijau Rp 5 triliun dan kredit berkelanjutan senilai 1 miliar dollar AS. Ini sejalan dengan fokus bisnis dalam meningkatkan penyaluran kredit kepada UMKM, terutama segmen mikro dan ultramikro. |
Kembali ke sebelumnya |