Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Potensi Inflasi Pangan Diwaspadai
Tanggal 01 Agustus 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi XI
Isi Artikel
Oleh
AGNES THEDOORA
Pemerintah mewaspadai potensi kenaikan inflasi pangan tahun ini di tengah dinamika geopolitik dan ancaman El Nino. Suntikan insentif fiskal diberikan bagi daerah, tetapi efektivitasnya diragukan.

 

Sebuah alat berat tengah beroperasi untuk memanen gandum di Desa Kivshovata, Kyiv, 18 Juli 2023. Penghentian Kesepakatan Gandum Laut Hitam (BSGI) oleh Rusia, pekan lalu, berpotensi mengancam ketersediaan pangan global.

JAKARTA, KOMPAS — Meskipun kondisi ekonomi domestik saat ini relatif stabil, potensi terjadinya gejolak harga pangan dan tekanan inflasi tahun ini tetap diwaspadai. Pasokan komoditas pangan berisiko terganggu akibat keputusan Rusia menarik diri dari Inisiatif Biji-Bijian Laut Hitam serta fenomena El Nino yang mengancam gagal panen di dalam negeri.

Pemerintah pun menambah upaya pengendalian inflasi dengan memberikan suntikan insentif fiskal bagi sejumlah daerah. Dana itu wajib diputar kembali untuk memperkuat daya beli masyarakat di tengah risiko kenaikan inflasi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, Senin (31/7/2023), mengatakan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih relatif stabil dan kuat di tengah melambatnya ekonomi mayoritas negara di dunia. Kendati demikian, pemerintah tetap mewaspadai dampak ketidakpastian perekonomian global, khususnya terhadap gejolak harga komoditas pangan dan risiko tekanan inflasi.

Ada dua faktor risiko terbesar yang dinilai bisa mengganggu pasokan pangan dunia tahun ini. Pertama, keputusan Rusia untuk mengakhiri kesepakatan Inisiatif Biji-Bijian Laut Hitam (Black Sea Grain Initiatives) pada Juli 2023.

Langkah Rusia itu dinilai akan kembali mengusik pasokan komoditas gandum dan biji-bijian serta kembali mendorong inflasi pangan dunia. Indonesia sebagai importir gandum pun otomatis akan ikut terdampak, seperti tahun lalu.

Faktor kedua adalah ancaman siklus El Nino yang berpotensi menyebabkan kekeringan dan gagal panen di dalam negeri. Saat ini, di beberapa daerah sudah mulai terjadi kekeringan yang berpotensi mengancam stok pangan nasional.

”Ini berarti pada paruh kedua tahun ini kita akan sangat dipengaruhi ketidakpastian dari pasokan dan harga komoditas. Kondisinya mirip seperti tahun 2022, ditambah dengan ancaman El Nino. Ini patut kita waspadai,” kata Sri Mulyani dalam acara Penyerahan Insentif Fiskal Kategori Kinerja Pengendalian Inflasi Daerah.

Gangguan pada komoditas pangan juga akan memicu kenaikan inflasi dunia, yang berpotensi disikapi lewat pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral di banyak negara. Hal itu bisa semakin menambah tekanan inflasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

”Dalam situasi dunia yang masih tidak pasti dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, kita perlu terus waspada. Memang, Indonesia sekarang masih baik kondisinya, tetapi itu tidak permanen. Kalau baik-baik tetapi tidak dijaga, akan sia-sia,” katanya.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, siklus El Nino yang mulai terjadi sejak Juni 2023 diprediksi akan menyentuh puncaknya pada September 2023. Seluruh daerah pun diminta untuk mengantisipasi fenomena yang berpotensi menyebabkan kekeringan dan gagal panen.

Saat ini, ujarnya, El Nino sudah tercatat memakan enam korban jiwa di Distrik Lambewi dan Distrik Agandugume di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Satu di antaranya adalah anak-anak. ”Di sana terjadi kekeringan, gagal panen, dan enam warga meninggal. Saya sudah koordinasi dengan gubernur dan bupati di sana, memang ada permasalahan terkait suplai,” kata Tito.

Insentif

Untuk menghadapi potensi kenaikan inflasi dan mendorong kebijakan pengendalian inflasi yang lebih optimal, pemerintah menyiapkan insentif fiskal senilai Rp 1 triliun bagi pemerintah daerah yang dinilai berhasil mengendalikan inflasi.

Insentif itu akan diberikan tiga kali tahun ini, sebesar Rp 330 miliar untuk periode pertama dan kedua serta Rp 340 miliar untuk periode ketiga. Penerimanya adalah 33 daerah yang terdiri dari 3 provinsi, 6 kota, dan 24 kabupaten (periode pertama dan kedua) serta 34 daerah yang terdiri dari 3 provinsi, 6 kota, dan 25 kabupaten (periode ketiga).

Dana insentif itu hanya boleh digunakan untuk mendukung kebijakan stabilisasi harga, termasuk memperkuat daya beli masyarakat di tengah potensi kenaikan inflasi. ”Jangan dipakai untuk kebutuhan rapat dan honor. Harus langsung dirasakan masyarakat, seperti bansos, bantuan bibit, subsidi bunga untuk UMKM, atau beasiswa,” kata Sri Mulyani.

Sejauh ini, sejalan dengan tren nasional, mayoritas provinsi mengalami perlambatan laju inflasi. Namun, masih ada delapan provinsi yang inflasinya terpantau naik, yaitu Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, Papua, dan Sulawesi Barat. Masih ada pula 16 provinsi yang inflasinya di atas rata-rata nasional.

Kurang efektif

Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Esther Sri Astuti, kenaikan inflasi sulit dihindari di tengah gangguan pasokan, sementara laju permintaan terus meningkat. Ia memperkirakan, laju inflasi nasional akan tetap berada dalam koridor target pemerintah, yaitu 3 persen plus minus 1 persen.

”Namun, yang perlu diperhatikan itu kenaikan inflasi regional. Apalagi, secara mendasar, ada daerah yang living cost-nya memang sudah tinggi karena perbedaan biaya input dan transportasi yang sudah tinggi,” ujarnya.

Ia menilai solusi pemberian insentif ke pemda tidak akan banyak membantu upaya pengendalian inflasi. Suntikan dana itu tidak menjawab masalah mendasar yang membuat terjadinya gangguan pasokan dan harga pangan di daerah.

Misalnya, untuk menutup kesenjangan biaya distribusi yang tinggi yang mendorong terjadinya disparitas harga pangan atau untuk membiayai kebutuhan dukungan teknologi bagi petani agar tidak perlu terancam gagal panen saat ada gangguan iklim seperti El Nino.

Selain itu, suntikan dana ke pemda juga akan sulit dilacak penggunaannya. Selama ini, pemda sudah banyak menerima suntikan dana tambahan dari pusat, tetapi realisasi penyerapannya tidak optimal. ”Ujung-ujungnya bisa dipakai untuk pengeluaran rutin lagi, seperti gaji pegawai, honor rapat, perawatan gedung. Akhirnya tidak berdampak ke upaya mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat,” katanya.

  Kembali ke sebelumnya