Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul UU Kesehatan dan Keselamatan Pasien
Tanggal 04 Agustus 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman 6
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel

Salah satu masalah utama terkait UU Kesehatan Omnibus adalah STR yang berlaku seumur hidup. Terlalu banyak macam perilaku dokter yang tidak etik dan tidak kompeten. keselamatan pasien yang paling rentan terancam.

Oleh Zainal Muttaqin

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tak seorang pun boleh tercederai saat mencari pertolongan. Artinya, keselamatan pasien menjadi tolok ukur utama dari setiap penyelenggaraan praktik kedokteran.

Hippocrates, bapak ilmu kedokteran modern, menyatakan bahwa kedokteran adalah profesi yang menolong. Hubungan dokter dengan pasien adalah kepedulian, bukan bisnis atau jual-beli atas sakit yang diderita pasien. Jadi, beda dengan seorang pedagang yang dalam mencari keuntungan bebas bersaing dengan pedagang lain; atau seorang bankir yang seolah berjasa menolong nasabah, padahal tujuannya berburu rente.

Konsil Kedokteran Dunia bahkan menyatakan bahwa praktik kedokteran yang baik hanya bisa dihadirkan oleh seorang dokter, yang selain beretika juga memelihara kompetensinya, dengan selalu memperbarui pengetahuan dan keterampilannya, serta menjaga hubungan baik dengan pasien dan sejawat dokter lainnya.

Semua ketentuan itu telah tertuang secara rinci dan pas dalam UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Inti dari UU ini adalah menjaga keselamatan pasien dari praktik abal-abal dokter yang secara fisik tak kompeten.

Keselamatan pasien

Inti dari UU ini adalah menjaga keselamatan pasien dari praktik abal-abal dokter yang secara fisik tak kompeten. Seorang dokter bedah, misalnya, yang harus mengambil batu ginjal dengan teropong, padahal si dokter memiliki gangguan penglihatan. Atau seorang spesialis bedah saraf, yang karena faktor usia, jari-jemarinya mulai gemetar atau tremor.

Akan tetapi, tak berarti kekurangan fisik selalu menghambat dokter untuk melayani pasien. Seorang spesialis penyakit dalam atau spesialis jantung bisa saja berpraktik di atas kursi roda karena kedua lututnya cedera.

Kalau begitu pertanyaannya, siapa yang bisa dan berwenang menilai apakah suatu kondisi keterbatasan fisik seorang dokter akan berisiko mengganggu sampai membahayakan pasien yang dilayaninya? Apakah keputusan tentang ini bisa diserahkan kepada kepala dinas kesehatan yang memiliki gelar Master of Public Health?

Atau oleh Menteri Kesehatan yang bukan dokter? Atau malah diserahkan kepada sistem administrasi Kementerian Kesehatan, sesuai aturan baru dalam UU Kesehatan Omnibus. Seperti kita tahu, UU Kesehatan yang baru ini memosisikan Surat tanda Registrasi (STR) dokter hanya sekadar pencatatan administrasi yang bisa dilakukan secara daring (online) dan akan diberlakukan seumur hidup.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/i0OllcEvrbpKzO87bU7hd-8qXMs=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F13%2Fcfc20c3f-82f4-4eaf-a8b3-60fda4379f55_jpg.jpg

Salah satu guru dari penulis adalah dokter dan profesor spesialis paru anak. Ia sempat terpilih jadi rektor di sebuah universitas ternama selama dua periode masa jabatan. Selama lebih dari delapan tahun, ia tak pernah berpraktik dokter sehingga saat turun dari jabatan rektor, ia tak lagi memiliki STR.

Ketentuan yang berlaku saat itu, sesuai UU No 29/2004, STR harus diperbarui/direvalidasi setiap kurun lima tahun.

Meski usianya baru 60 tahun, sebagai dokter yang bijak, ia menyadari bahwa dia memang tidak lagi memiliki cukup kompetensi terkait penyakit paru anak sehingga untuk berpraktik lagi dia harus mengikuti uji kompetensi ulang. Dengan penuh kebijaksanaan, ia memilih untuk tak lagi berpraktik, tetapi tetap sebagai seorang guru dan peneliti yang aktif (yang tak perlu STR) sampai akhir hayatnya.

Dalam pemerintahan saat ini, terutama di Kementerian Kesehatan, banyak dokter umum maupun dokter spesialis yang menjadi pejabat di lingkungan kantor Kemenkes, di RS vertikal, ataupun di banyak lembaga satuan kerja maupun Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkes.

Para pejabat tersebut umumnya tidak lagi berpraktik selama lebih dari lima tahun sampai memasuki usia pensiun. Berdasarkan UU Kesehatan Omnibus yang baru, dengan STR yang berlaku seumur hidup, dimungkinkan bagi mereka untuk mencari tambahan penghasilan dengan langsung berpraktik dokter lagi tanpa harus melakukan revalidasi ulang STR-nya.

Berdasarkan UU Kesehatan Omnibus yang baru, dengan STR yang berlaku seumur hidup, dimungkinkan bagi mereka untuk mencari tambahan penghasilan dengan langsung berpraktik dokter lagi tanpa harus melakukan revalidasi ulang STR-nya.

Apalagi penerbitan STR yang semula adalah kewenangan negara melalui Konsil Kedokteran, kini diambil alih oleh Kemenkes. Kesalahan medis (medical error) bisa dan sering terjadi dalam pemberian layanan kesehatan oleh seorang dokter. Di AS, angka kejadian kesalahan medis yang berakibat kematian pasien, angkanya dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas.

Angka medical error ini juga jauh lebih tinggi dibanding angka kejadian kecelakaan pesawat komersial, padahal seorang pilot pesawat komersial harus terus memperpanjang lisensinya sebagai pilot dengan uji terbang (dalam kondisi normal dan tidak normal) dengan simulator setiap enam bulan. Uji kompetensi terbang dengan simulator ini juga wajib dilakukan bila ia tidak terbang setidaknya tiga kali lepas landas dan mendarat.

Lalu bagaimana bisa STR dokter dibuat berlaku seumur hidup, padahal jumlah kejadian medical error dalam pemberian layanan kesehatan jauh lebih tinggi dibandingkan kasus kecelakaan pesawat komersial?

Apakah nyawa dan kesehatan rakyat boleh dikorbankan? Atau perlu menunggu adanya riset terkait jumlah korban medical error ini di Indonesia?

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/wlDJspOjdpLIW1LKaMMnGc_-I0o=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F15%2F9b59732a-2799-4a4f-b68e-4793f1355d31_jpg.jpg

Bahaya STR seumur hidup

Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran berkembang sangat cepat, setiap hari ada lebih dari 2.000 tulisan baru terkait penyakit dan pengobatannya. Pada Pasal 28 UU No 29/2004 disebutkan, setiap dokter yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan.

Seorang dokter yang berhenti praktik dalam tempo cukup lama, tentu akan tertinggal ilmunya dan berkurang keterampilannya. Jelas bahwa terkait STR yang harus direvalidasi ulang setiap kurun waktu tertentu adalah kehendak UU, bukan kehendak Ikatan Dokter Indonesia, dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari praktik dokter yang tidak kompeten atau diragukan kompetensinya karena berbagai sebab.

Sekali lagi, masyarakat luas yang akan menerima risiko jadi korban dalam pemberian obat, diagnosa yang salah, sampai tindakan operasi yang tidak tepat.

Dalam STR tertulis sebuah ketentuan mahapenting: ”surat ini dapat digunakan sebagai alat kontrol kompetensi bagi pihak yang berkepentingan”.

Baca juga : Dokter Praktik Tanpa Izin

Artinya, jika dalam berpraktik ada sengketa medis yang timbul terkait pengobatan pasien ataupun hasil operasi yang tak seperti yang diharapkan, catatan kompetensi yang menjadi dasar penerbitan STR ini akan dijadikan acuan baku apakah tindakan pengobatan itu masih dalam lingkup kompetensi si dokter atau tidak.

Salah satu masalah utama terkait UU Kesehatan Omnibus adalah STR yang berlaku seumur hidup. Terlalu banyak macam perilaku dokter yang tidak etik dan tidak kompeten, yang seolah menolong padahal berbisnis mencari keuntungan atas ketidaktahuan dan kepercayaan pasien. Ada pula dokter yang melakukan tindakan pengobatan maupun pemanfaatan teknologi baru yang belum memiliki bukti medis (EBM), melainkan hanya berbasis testimoni ala Dukun Ponari.

Juga ada dokter yang karena satu dan lain hal tidak lagi kompeten atau diragukan kompetensinya. Semua itu ujungnya masyarakatlah yang paling rentan terancam keselamatannya.

Zainal Muttaqin Praktisi Medis/Dokter Praktik Spesialis

Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN

 

 

  Kembali ke sebelumnya