Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul SISTEM PENDIDIKAN: Belajar dengan Merdeka
Tanggal 16 Agustus 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi X
Isi Artikel

Kita membutuhkan generasi muda produktif yang berkualitas saat ini karena merekalah pejuang bangsa masa depan. Proses ini dimulai di kelas, yaitu melalui pendidikan yang memerdekakan.

 
Oleh
TOTOK AMIN SOEFIJANTO
 

https://cdn-assetd.kompas.id/evqoLMMDwExgDP5LQG-MgvgSNVY=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F26%2F79375436-37e7-48a1-9ddd-36d06d18dd6e_jpg.jpg

Ilustrasi

Esensi belajar adalah berpikir mandiri. Tidak efektif kalau seseorang belajar, tetapi tidak mampu berpikir secara independen. Dia akan menjadi ”bebek” saja, mengikuti orang lain yang sudah berpikir buat dirinya. Apakah manusia semacam itu yang ingin kita hasilkan setelah 78 tahun kemerdekaan republik ini? Apakah warga negara seperti itu yang ingin kita tumbuhkan dalam sistem demokrasi yang mengandalkan partisipasi aktif rakyatnya? Apakah kualitas manusia seperti itu yang ingin kita miliki di saat Republik Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaannya pada 2045? Tentu jawabannya: tidak.

Prahara pandemi Covid-19 membuat ikhtiar banyak negara, termasuk Indonesia, memajukan pendidikan menjadi ”berantakan” dalam sekejap. Bank Dunia menyatakan indikator kemiskinan pembelajaran (learning poverty) yang sudah mulai menurun menjadi 57 persen pada 2019 mendadak melonjak drastis menjadi 70 persen pada saat ini. Indikator kemiskinan pembelajaran itu adalah ”persentase anak usia 10 tahun yang tidak bisa membaca dan memahami teks sederhana”.

Banyak negara di dunia merespons pandemi dengan upaya pemulihan yang masif untuk beradaptasi dan melindungi proses pembelajaran agar terus berjalan, tetapi banyak indikator juga yang mengungkapkan adanya kelemahan dalam sistem pendidikan yang ada saat ini. Singkatnya, menurut Jaime Saveedra dari Bank Dunia (2023), adalah timbulnya kesadaran kalau ”sekolah tidak sama dengan belajar”. Schooling is not learning.

Baca juga: Anak Kita Sekolah, tetapi Tidak Belajar

Apa kunci sistem pendidikan yang baik? Meskipun ada perubahan yang signifikan, menurut Luis Benveniste, Direktur Global Sektor Pendidikan Bank Dunia dalam buku Realizing Our Promise of Education (2023), dasar-dasar sistem pendidikan yang berhasil tetap tidak berubah, ada lima aspek, yaitu (1) pelajar yang siap diajarkan keterampilan dasar oleh (2) guru yang berdaya, dengan (3) sumber belajar yang berkualitas, di (4) sekolah yang aman, didukung oleh (5) pemimpin sekolah yang cakap. Kalau menelisik satu per satu setiap aspek tersebut di sistem pendidikan kita, rasanya masih jauh perjalanan kita menuju pendidikan yang memerdekakan tadi.

Tidak perlu jauh-jauh, kita dapat mengambil hikmah dari sejarah. Para pejuang kemerdekaan kita adalah contoh manusia berpikir yang mandiri. Usia mereka di saat genting menuju kemerdekaan adalah 30-an tahun. Ada teladan bernama Soekarno yang, secara inovatif dan kreatif, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan mengusulkan konsep nasionalisme. Konsep cerdas Bung Karno ini sangat memikat publik karena merangkul semua suku, agama, dan golongan dalam semangat persatuan dan kesatuan.

Lukisan Soekarno

KOMPAS

Lukisan Soekarno

Selain itu, Soekarno juga mendorong pembangunan ekonomi nasional yang mandiri dan berkeadilan. Rekan dwitunggal Bung Karno adalah Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Beliau gemar membaca sehingga sudah memiliki koleksi buku sendiri pada usia 16 tahun. Lulus dari Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School di Batavia pada 1921, Hatta yang saat itu berusia 19 tahun pergi ke Rotterdam untuk belajar ilmu bisnis di Nederland Handelshogeschool, Belanda. Bung Hatta justru membuat repot penjajah dan menjadi inspirasi perjuangan kemerdekaan di Tanah Air.

Teladan lainnya adalah Pangeran Diponegoro yang memimpin perlawanan melawan penjajah Belanda dalam Perang Jawa pada abad ke-19. Ia menunjukkan kemerdekaan berpikir dengan strategi perangnya yang cerdas dan kemampuannya dalam mempersatukan rakyat untuk melawan penjajah. Kemudian masih ada lagi, yaitu Jenderal Soedirman dan Bung Tomo yang sama-sama berjuang di medan perang, sangat berani, dan memiliki kemerdekaan berpikir, menggunakan strategi dan taktik yang, istilah kekiniannya: out of the box.

Cerdas adalah kata kunci yang sering diabaikan di negeri ini. Demokrasi kita yang berbasis suara mayoritas memang akhirnya terjebak kepada populisme.

Kemerdekaan berpikir para tokoh bangsa itu telah membuat rakyat Indonesia terinspirasi untuk hidup mandiri bebas dari penjajahan. Sistem pendidikan bangsa ini hendaknya memenuhi janji yang termaktub dalam konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas adalah kata kunci yang sering diabaikan di negeri ini. Demokrasi kita yang berbasis suara mayoritas memang akhirnya terjebak kepada populisme. Walaupun demikian, tidak boleh semangat populisme tersebut mematikan keunikan pikiran, ide-ide di luar arus utama, dan letupan pemikiran baru yang dulu menjadi embrio pergerakan kemerdekaan kita.

Paulo Freire yang pertama mencetuskan pendidikan itu harus memerdekakan di buku Pedagogy of the Oppressed (1968), selalu gundah dengan kecenderungan sistem pendidikan untuk menyeragamkan, satu solusi untuk semua (one size fits all) demi efisiensi anggaran. Benarkah kebijakan pendidikan yang kontekstual dan tepat sasaran itu mahal?

https://cdn-assetd.kompas.id/Ix_jfsJvWE7Rb06EsauGRjcPLkE=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F08%2Ff08acb7b-1a14-4d2a-bba9-cfb661e0d2aa_jpg.jpg

Nilai dan sikap mental

Merdeka itu bukan label. Merdeka itu nilai dan sikap mental yang perlu dimiliki para pembelajar. Sikap ini menjadi modal dasar untuk mencari ilmu dan kebenaran. Anak didik dan guru yang merdeka akan menciptakan atmosfer pembelajaran yang dinamis, produktif, dan yang terpenting: menyenangkan.

Ini tidak bertentangan dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan ”pembelajaran itu bukan hiburan (entertainment)”, karena anak didik dan guru dapat saling melengkapi dan mengkritik satu sama lain yang seterusnya akan menghasilkan pengetahuan dan pemahaman bersama yang benar. Bayangkan kalau salah satu pihak yang merasa paling benar, maka tidak hanya suasana pembelajaran menjadi kaku, tetapi juga tidak menyenangkan. Alhasil, kepercayaan satu sama lain juga semakin merosot dan kegiatan pembelajaran menjadi sia-sia.

Sering anak didik bersorak saat jam bebas atau bonus dari guru karena kegiatan pembelajaran yang membosankan dan bikin mengantuk. Ini yang salah gurunya karena justru di jam bebas itulah sebenarnya sang anak didik mulai membuka pikirannya untuk belajar. Guru yang cerdas akan menciptakan seluruh sesinya sebagai sesi jam bebas. Pasi Salhberg dari Finlandia menyodorkan ide memberikan waktu bermain yang lebih banyak kepada anak didik lewat bukunya, Let the Children Play (2019).

Baca juga: Pendidikan Berkualitas Dimulai dari Kompetensi Guru

Kita membutuhkan generasi muda produktif yang berkualitas saat ini. Proses ini dimulai di kelas, hari ini. Menurut Jean Grossman dari Universitas Princeton (di sesi High Level Policy Dialog ASEAN Chairmanship 2023 di Jakarta baru-baru ini), pembelajaran harus dipercepat dengan efisiensi waktu belajar dan peningkatan daya serap anak didik. Efisiensi dapat diperbaiki dengan guru yang menguasai substansi dan kreatif. Daya serap anak didik dapat ditingkatkan dengan kesiapan untuk belajar, kecukupan nutrisi, dan dukungan keluarga.

Efisiensi dan daya serap dapat dicapai dengan pemanfaatan teknologi dan metode mengajar sesuai tahapan pemahaman anak didiknya. Guru yang statusnya ”penguasa” kelas hendaknya menjalankan tugasnya dengan bijaksana, mengayomi, dan legawa dalam membimbing anak didiknya untuk merdeka. Guru harus menghasilkan pejuang-pejuang bangsa di masa depan, yang mampu bersaing secara global, dan mandiri dalam berpikir. Mereka akan memperkuat bonus demografi dan ekonomi kita, sekaligus memajukan seluruh aspek kehidupan bangsa sesuai janji kemerdekaan republik tercinta ini.

Totok Amin SoefijantoPendidik dan Peneliti Kebijakan Publik di Universitas Paramadina, Jakarta

Totok Amin Soefijanto

ARSIP UNIVERSITAS PARAMADINA

Totok Amin Soefijanto

 
 
Editor:
YOVITA ARIKA
  Kembali ke sebelumnya