Judul | DUGAAN PELANGGARAN ETIK : Jimly Tegaskan MKMK Tak Bisa Ubah Putusan Syarat Usia Capres dan Cawapres |
Tanggal | 01 Nopember 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi III |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK Jimly Asshiddiqie menegaskan, pihaknya tidak bisa mengubah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Batas Usia Minimal Calon Presiden dan Wakil Presiden. Sebab, MKMK tidak punya kewenangan untuk menilai putusan MK yang dianggap bermasalah oleh para pelapor pelanggaran etik hakim konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 juga menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Meskipun demikian, Jimly membuka peluang untuk menerobos ketentuan itu apabila ada pendapat rasional, logis, dan masuk akal serta dapat diterima akal sehat. ”Cuma harus dibuktikan. Tadi sudah dibuktikan (dalam sidang Selasa pagi), tapi kami belum rapat (pleno MKMK). Saya enggak tahu dari kami bertiga ini berapa orang yang sudah yakin. Saya (sendiri) kok belum terlalu yakin,” ujar Jimly, Selasa (31/10/2023) malam. Anggota MKMK terdiri dari tiga orang, yaitu Jimly yang menjadi ketua, Bintan R Saragih (Guru Besar Universitas Pelita Harapan sekaligus anggota Dewan Etik MK periode 2017-2020), serta hakim konstitusi Wahiduddin Adams. Ketiganya kini tengah memeriksa laporan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi, termasuk Ketua MK Anwar Usman, karena dinilai ada konflik kepentingan dalam memutus perkara uji materi Nomor 90/2023.
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, menurut Jimly, membutuhkan keputusan-keputusan hukum yang progresif. ”Jangan kaku memahami hukum dan konstitusi,” kata Jimly, yang membuka kemungkinan perubahan sikap anggota MKMK. Meski demikian, Ketua MK periode 2003-2008 ini mengatakan, sulit untuk menabrak ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam pengujian undang-undang. Sejumlah pemohon memang mendalilkan putusan MK bisa menjadi tidak sah apabila terbukti ada pelanggaran etik konflik kepentingan dari hakim yang memutus perkara. Ketentuan ini tertera secara jelas pada Pasal 17 Ayat (6) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Sejumlah Guru Besar Hukum Tata Negara dan kuasa hukumnya mengikuti Sidang Etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan terkait dugaan pelanggaran etik Ketua MK Anwar Usman di Gedung 2 MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023). ”Nah, itu bagaimana? Bagaimana meyakinkan kami bahwa Undang-Undang Dasar itu bisa kita langgar. Iya, kan? Kan, yang mengatur ini (putusan menjadi tidak sah) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, lebih rendah daripada Undang-Undang Dasar. Nah, bagaimana menjelaskan itu?” tanya Jimly. Dalam kasus etik ini, para pelapor tak hanya meminta MKMK menjatuhkan sanksi etik terhadap hakim yang terbukti melakukan pelanggaran, tetapi juga meninjau kembali putusan Nomor 90/2023. Hal ini setidaknya diminta oleh Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, 15 guru besar dan pengajar hukum tata negara yang tergabung di dalam Constitutional and Administrative Law Society, dan LBH Yusuf seperti dikemukakan pada persidangan Selasa (31/10/2023) kemarin. Dalam argumen yang disampaikan kemarin, Denny mendasarkan diri pada Pasal 17 Ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa putusan (pengadilan) menjadi tidak sah apabila hakim yang menangani perkara tersebut terbukti melanggar larangan konflik kepentingan. Dalam permohonannya, ia meminta MKMK untuk memerintahkan hakim konstitusi untuk memeriksa ulang perkara 90 dengan majelis yang di dalamnya tidak lagi memiliki konflik kepentingan dengan penanganan perkara. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Layar menampilkan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana sebagai pelapor saat digelar Sidang Etik Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dengan agenda pemeriksaan pendahuluan dugaan pelanggaran etik Ketua MK Anwar Usman di Gedung 2 MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023). Dari 18 pengaduan yang diterima Majelis Kehormatan, setidaknya ada enam kelompok persoalan yang dikemukakan. Salah satunya adanya hubungan kekerabatan di mana hakim seharusnya mundur saat menangani perkara, tetapi tidak mundur; hakim berbicara di depan publik berkenaan dengan substansi perkara yang ditangani; ada hakim yang terlalu kesal sehingga mengungkapkan kemarahannya ke publik; hakim yang menulis dissenting opinion yang isinya bukan substansi perkara, melainkan ekspresi kemarahan; serta prosedur registrasi yang meloncat-loncat termasuk penarikan kembali perkara. ”Ini teknis-teknis begitu, tapi ini kan ada kaitannya dengan motif etika, motif kepemimpinan, dan motif good governance,” kata Jimly. Selain itu, ada pula pihak yang mempersoalkan lamanya pembentukan Majelis Kehormatan MK. Setidaknya hal tersebut disampaikan dalam pengaduan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Editor:
ANITA YOSSIHARA
|
Kembali ke sebelumnya |