Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul UJI KONSTITUSIONALITAS : Denny Indrayana dan Zainal Arifin Uji Formil Putusan Usia Capres-Cawapres
Tanggal 03 Nopember 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi II
- Komisi III
Isi Artikel

JAKARTA,KOMPAS — Dua pakar hukum tata negara, Denny Indrayana yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Zainal Arifin Mochtar yang menjabat Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, mengajukan uji formil terhadap pasal usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang sudah diubah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Pengujian itu untuk memastikan ada koreksi mendasar terhadap putusan yang membuka pintu bagi Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Seperti diketahui, putusan 90/PUU-XXI/2023 telah mengubah bunyi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu sehingga syarat sebagai capres dan cawapres menjadi ”berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Permohonan tersebut didaftarkan pada Jumat (3/11/2023). Denny Indrayana mengungkapkan, pengujian formil terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu tersebut dilakukan untuk melengkapi laporannya kepada Majelis Kehormatan MK atas dugaan konflik kepentingan Anwar Usman, Ketua MK, dalam penanganan perkara 90.

Denny Indrayana

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Denny Indrayana

Dalam pengaduannya itu, Denny meminta MKMK memutus secara cepat dengan maksud untuk menyelaraskan dengan jadwal Komisi Pemilihan Umum dalam hal perlu dilakukan penggantian pasangan calon yang batas akhirnya pada 8 November. Permintaan ini, seperti diketahui, telah dikabulkan sehingga majelis kehormatan pimpinan Jimly Asshiddiqie itu akan membacakan putusan pada 7 November.

”Pengujian formil atas makna syarat umur berdasarkan putusan 90 tersebut adalah rangkaian advokasi dalam hal putusan MKMK menyatakan ada pelanggaran kode etik dan perilaku berat yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman, dan karena yang bersangkutan diberhentikan dengan tidak hormat. Kami berharap MKMK juga menyatakan bahwa putusan 90 perlu dikoreksi oleh MK dengan komposisi hakim baru dalam waktu segera,” ujar Denny.

Ia pun meminta MK untuk menindaklanjuti putusan MKMK tersebut dengan memeriksa kembali putusan 90 tanpa permohonan baru. Akan tetapi, apabila MKMK ataupun MK berpandangan perlu ada pemeriksaan atas permohonan baru, Denny pun menyiapkan permohonan uji formil. Ia meminta permohonan baru tersebut untuk segera diputus sebelum masa pendaftaran pilpres berakhir.

Dalam permohonannya, Denny dan Zainal meminta MK mengeluarkan putusan provisi berupa menunda berlakunya ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang telah diberi makna baru oleh putusan 90.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) berdiskusi dengan hakim MK Saldi Isra (kiri) saat hakim MK Suhartoyo (kanan) membacakan putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) berdiskusi dengan hakim MK Saldi Isra (kiri) saat hakim MK Suhartoyo (kanan) membacakan putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

”Menyatakan menangguhkan tindakan/kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana dimaknai dalam putusan 90/PUU-XXI/2023,” tulis Denny dalam berkas permohonan.

Secara eksplisit, Denny dan Zainal pun meminta agar perkaranya diperiksa secara cepat dengan tanpa meminta keterangan dari MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak terkait lain. Mereka juga meminta Anwar Usman tidak terlibat dalam penanganan perkara tersebut.

Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat dimintai pendapat terkait munculnya perkara pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu tersebut mengatakan, langkah itu bagus untuk dilakukan. Hanya, permohonan itu agak telat.

”Ya, cepat-cepat aja. (Ini) Agak telat, dong. Mahasiswa saja udah lebih dulu, dan mahasiswa itu aja udah telat,” kata Jimly.

Baca juga : Anwar Usman Diadukan Menghambat Pembentukan Majelis Kehormatan

Tiga anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Wahiduddin Adams, Jimly Asshiddiqie, dan Bintan R Saragih, dalam sidang pelaporan etik di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi di Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/11/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tiga anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Wahiduddin Adams, Jimly Asshiddiqie, dan Bintan R Saragih, dalam sidang pelaporan etik di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi di Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/11/2023).

Selain permohonan dari Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, ada tiga perkara serupa lain yang didaftarkan ke MK.

Salah satunya adalah perkara yang diajukan Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), yang didampingi oleh kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa. Perkara itu sudah diregister dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/2023 dan dijadwalkan untuk disidangkan perdana pada 8 November atau sehari setelah putusan MKMK.

Adapun permohonan lain diajukan oleh lima warga Surakarta, Jawa Tengah, yang tidak ingin Gibran menjadi calon wakil presiden, yaitu diajukan oleh Fatikhatus Sakinah dkk serta Heri Purwanto dan Bambang Barata Aji. Permohonan Fatikhatus dkk didaftarkan pada 27 Oktober, sedangkan permohonan Heri Purwanto didaftarkan pada 31 Oktober.

 
 
Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO
  Kembali ke sebelumnya