ANGGOTA Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menilai perintah Presiden Jokowi kepada Kementerian ESDM untuk segera 'menyuntik mati' PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batu bara mencerminkan sikap pemerintah yang tunduk dan didikte pihak asing. "Itu dapat merugikan negara, karena aset PLTU batu bara ini masih bernilai secara ekonomis, masih dapat memproduksi listrik dan memberi manfaat bagi masyarakat. Jadi Pemerintah jangan buru-buru menyuntik mati PLTU," ujar Mulyanto dalam siaran persnya, baru-baru ini.
Apalagi, lanjutnya, dengan mengunakan dana APBN di saat keuangan negara sedang kembang-kempis. Dimans, hingga saat ini bantuan dari negara-negara donor belum terealisasi. Karena mereka sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Baca juga: DPR Sebut APBN Tidak Sanggup Biayai ‘Pensiun Dini’ PLTU Batu Bara Menurut Mulyanto, menyuntik mati PLTU batu bara berarti mematikan aset produktif pembangkit listrik, sehingga harus ada biaya kompensasinya. Ini kan langkah yang kontraproduktif. Pihaknya berharap negara donor yang sudah berjanji akan memberikan hibah atau dana murah untuk program ini melalui skema JETP (Just Energy Transition Partnership) menepati komitmennya. Tapi nyatanya tidak terlihat hingga saat ini. Baca juga: Menteri ESDM Tegaskan Penutupan Terakhir PLTU Batu Bara di 2058 Politikus dari fraksi PKS ini tidak setuju, jika program transisi energi ini harus ditanggung APBN. Sebab yang berkepentingan terhadap program ini bukan hanya Indonesia. Karena itu biaya transisi energi ini semestinya ditanggung bersama. "Masa kita harus merogoh kocek sendiri dari APBN untuk program yang bersifat global seperti ini?" tegas Mulyanto. Mulyanto khawatir jika pendekatan seperti ini berlanjut, maka APBN akan jebol, pembiayaan sektor lain terbengkalai. Ujung-ujungnya tarif listrik naik dan masyarakat lagi yang dirugikan. (RO/S-4)
|