Judul | KUALITAS PEMILU : Dari Putusan MK yang Kontroversial hingga Netralitas Aparat Jadi ”PR” KPU Pulihkan Kepercayaan Publik |
Tanggal | 13 Nopember 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi II - Komisi III |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial hingga keraguanBaca juga: Selamatkan Pemilu, DKPP Didesak Usut Dugaan Kecurangan Verifikasi Parpol terhadap netralitas penyelenggara negara dinilai akan menurunkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu itu sendiri. Seluruh elemen bangsa perlu bekerja sama untuk mengembalikan kepercayaan publik. Komitmen pemerintah dan masyarakat dalam berdemokrasi pun turut diuji. Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Senin (13/11/2023), menilai, pascakontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden-calon wakil presiden, semua elemen harus bekerja keras memulihkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Jika publik tidak melihat kesungguhan penyelenggara, pemerintah, ataupun aktor-aktor negara mewujudkan pemilu langsung umum bebas rahasia (luber), jujur dan adil (jurdil), serta demokratis, hal itu akan terus menciptakan stigma bahwa hasil Pemilu 2024 tidaklah mencerminkan kehendak suara rakyat yang murni. ”Yang pertama harus memulihkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu adalah pemerintah, dalam hal ini Presiden,” ujar Titi. Sebab, keraguan atas proses pemilu tidak terlepas dari kecurigaan adanya keterlibatan Presiden dalam berbagai ucapan dan tindakannya. Presiden mesti mampu secara konkret membuktikan dirinya dalam posisi netral, tidak menggunakan otoritas dan sarana-prasarana yang melekat pada jabatannya untuk kepentingan pragmatis partisan kelompok tertentu dalam Pilpres 2024. ”Sekali saja Presiden ditengarai tidak netral dalam memimpin pemerintahan, maka akan semakin sulit memulihkan kepercayaan publik terhadap proses Pemilu 2024. Presiden hendaknya mengurangi narasi kontroversial, seperti pernyataan akan cawe-cawe dan seterusnya,” katanya. KOMPAS/HERU SRI KUMORO Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (13/3/32023). Narasi harus menunjukkan netralitas diikuti langkah konkret menjaga birokrasi dan aparat keamanan agar tidak berpihak. Jika menemukan ada ketidaknetralan, berikan sanksi yang memberikan efek jera. Presiden mestinya meminta menteri-menteri yang menjadi bagian tim kampanye ataupun yang ikut kontestasi pemilu mengundurkan diri agar tidak ada kecurigaan bahwa pemerintah berpihak kepada kelompok tertentu. Kerentanan penyalahgunaan birokrasi besar jika menteri-menteri selama proses pemilu aktif berkampanye dan terlibat kerja-kerja politik.
”Presiden hendaknya fokus saja pada penuntasan program prioritas nasional yang tersisa sehingga akan lebih mudah meyakinkan publik terkait netralitasnya,” kata Titi lagi. Berikutnya yang juga sangat krusial, bagaimana penyelenggara pemilu mampu menjaga penyelenggaraan tahapan Pemilu 2024 secara profesional dan berintegritas. Netralitas dan profesionalitas penyelenggara pemilu kunci meyakinkan publik bahwa suara pemilih tidak akan dimanipulasi dalam Pemilu 2024. Oleh karena itu, lanjut Titi, tahapan pemilu, terutama pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara, dilakukan terbuka, transparan, dan akuntabel sebagai indikator paling mudah membuktikan integritas dan profesionalitas Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU mestinya tidak bertindak yang mengarah pada pelanggaran terhadap ”aturan main” pemilu. Kontrol masyarakatLebih jauh, Titi menyatakan, media dan masyarakat sipil perlu menjadi kekuatan kontrol yang konsisten. Teruslah mengingatkan pemerintah, penyelenggara pemilu, dan peserta pemilu agar bertindak sesuai aturan serta menjaga nilai-nilai penyelenggaraan pemilu. Dengan demikian, potensi penyimpangan dan kecurangan bisa dikendalikan dan diantisipasi sejak awal.
"Pemilih juga hendaknya mampu membentengi diri dari berbagai potensi kecurangan dan manipulasi. Masyarakat sipil dan yang peduli pemilu harus mengambil tindakan yang lebih konkret agar pemilu luber, jurdil, dan demokratis. Jangan ragu menempuh berbagai upaya hukum apabila menemukan dugaan kecurangan pemilu,” katanya. Penting juga membangun gerakan sosial yang masif. Perlu gerakan kesukarelawanan dari masyarakat, pemuda, mahasiswa, perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan mengawal Pemilu 2024 dalam setiap tahapan. ”Di tengah kecurigaan terhadap peserta dan penyelenggara pemilu dan juga keraguan terhadap netralitas pemerintah, gerakan masyarakatlah benteng dalam memastikan pemilu berjalan luber, jurdil, dan demokratis. Di sinilah sebetulnya komitmen masyarakat berdemokrasi diuji,” kata Titi. Jika publik memandang proses pemilu berjalan tidak sesuai ”aturan main” yang ada, maka akan mengganggu legitimasi pemilu dan memperburuk keterbelahan di masyarakat. Masyarakat akan terus mempersoalkan hasil pemilu, bahkan tidak akan mendukung kerja-kerja pemerintah yang terbentuk dari proses pemilu tidak luber, jurdil, dan demokratis. Terus diawasiKetua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menuturkan, Bawaslu terus melakukan pengawasan. Bentuk pengawasannya sama seperti tahun-tahun sebelumnya, antara lain membuat upaya pencegahan dan membuat indeks kerawanan. Pengawasan bukan hanya terkait netralitas aparat dan aparatur sipil negara (ASN), melainkan juga netralitas penyelenggara pemilu. ”Ada menteri yang masih bagian dari partai politik yang kemudian hanya cuti. Hal-hal seperti itu akan menjadi bahan pengawasan oleh Bawaslu. Sekarang sudah ada ASN yang diproses Bawaslu terkait dugaan pelanggaran netralitas,” kata Rahmat. Terdapat 28 ASN terlapor sejauh ini sejak Desember 2022 sampai November 2023 yang diproses terkait pelanggaran netralitas pemilu. Bentuk ketidaknetralannya, antara lain, pendekatan ke partai politik, kemudian menunjukkan ketidaknetralan di media sosial. Editor:
|
Kembali ke sebelumnya |