Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul LEGISLASI : Tutup Masa Sidang, DPR Dianggap Hanya Wakili Kepentingan Elite
Tanggal 03 Oktober 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi II
- Badan Legislasi
Isi Artikel

JAKARTA, KOMPAS — Penutupan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023-2024 dinilai semakin memperlihatkan kecenderungan Dewan Perwakilan Rakyat yang menggunakan fungsi legislasi untuk memuluskan kepentingan penguasa. Rancangan Undang-Undang atau RUU Ibu Kota Nusantara disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang meski baru dibahas pada Agustus lalu dan tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat.

Begitu pula Rancangan Undang-Undang (RUU) Aparatur Sipil Negara yang dinilai tidak lepas dari nuansa politik jelang Pemilu 2024. Sementara itu, sejumlah rancangan undang-undang yang menjadi pembicaraan publik, misalnya RUU Informasi dan Transaksi Elektronik serta RUU Perampasan Aset, tak kunjung tuntas dibahas DPR.

DPR dalam Rapat Paripurna terakhir dalam Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023-2024, Selasa (3/10/2023), menyetujui pengesahan dua RUU menjadi UU. Pertama, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (IKN). Kedua, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Rapat tersebut dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk F Paulus dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Nasdem Rachmat Gobel. Dari pemerintah hadir Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas.

Persetujuan pengesahan RUU IKN dan RUU ASN menjadi UU disetujui mayoritas fraksi partai politik yang ada di DPR. Pada RUU IKN, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak, Fraksi Partai Demokrat menyetujui dengan catatan. Adapun tujuh fraksi parpol lainnya setuju.

Berdasarkan catatan Kompas, pemerintah mengajukan revisi UU IKN dengan mengirimkan surat presiden (surpres) pada pertengahan Juni lalu, pimpinan DPR baru memutuskan memberikan penugasan kepada Komisi II DPR untuk membahasnya pada awal Juli. Namun, pembahasan RUU tersebut baru dimulai akhir Agustus.

Setelah berkunjung ke lokasi IKN dan mengadakan tiga kali rapat, Komisi II DPR dan pemerintah mengadakan rapat pengambilan keputusan tingkat I pada 19 September lalu untuk membawa RUU tersebut ke rapat paripurna.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengetok palu atas keputusan persetujuan Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) oleh Komisi II DPR saat digelar Rapat Paripurna VII DPR di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengetok palu atas keputusan persetujuan Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) oleh Komisi II DPR saat digelar Rapat Paripurna VII DPR di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Revisi UU IKN yang dibahas dalam waktu singkat tidak jauh berbeda saat UU tersebut pertama kali dibahas pada 2022. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat, pemerintah dan DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN pada awal Desember 2021, tetapi pembahasan RUU terjeda masa reses DPR pada pertengahan Desember hingga sebulan setelahnya. Saat DPR kembali memasuki masa sidang pada 11 Januari 2022, pembahasan kembali dimulai, dan RUU IKN disetujui untuk disahkan menjadi UU sepekan kemudian.

Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan, pembahasan revisi UU IKN semestinya tidak mengulangi proses sebelumnya. Tidak hanya dibahas dalam waktu singkat, tetapi juga tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna.

”Dari proses ini terlihat bahwa urusan IKN dibuat seolah-olah hanya urusan elite. Padahal, pemindahan IKN adalah urusan semua warga negara. Pembahasan RUU yang pro elite pun selalu punya kecenderungan yang sama, yakni tertutup, terburu-buru, dan nyaris tanpa partisipasi,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.

Nuansa kepentingan elite, menurut Lucius, juga tidak bisa dilepaskan dari persetujuan pengesahan RUU ASN. Revisi UU ASN di tengah tahun politik mengindikasikan adanya kepentingan politisi untuk mendapat dukungan politik pada Pemilu 2024. Sebab, substansi revisi UU itu salah satunya memberi kepastian pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN, tetapi di sisi lain menghapuskan lembaga yang bertugas mengawasi sistem merit, termasuk netralitas ASN, yakni Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

”Secara politis, RUU ASN seolah memberikan perlindungan kepada tenaga honorer agar luput dari pemecatan massal pada November nanti. Ada kesan untuk menyenangkan tenaga honorer, padahal pengangkatan mereka menjadi ASN belum diatur secara tegas,” kata Lucius.

https://cdn-assetd.kompas.id/dY_XzOAYWFtDlZH0S8Doz7NyPy4=/1024x2198/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F01%2F39ea9ba0-74f9-4eef-a223-fd76a81ca3c8_png.png

Kontradiksi

Saat RUU IKN dan RUU ASN disetujui untuk menjadi UU, pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) diperpanjang. Revisi UU ITE yang dimulai sejak Mei lalu itu belum juga tuntas. Padahal, sebelumnya RUU ITE terbengkalai karena usul revisi yang disampaikan pemerintah sejak akhir 2021 baru ditindaklanjuti DPR hampir dua tahun setelahnya.

Selama beberapa tahun terakhir, protes publik agar UU ITE segera direvisi secara menyeluruh tanpa mengabaikan partisipasi bermakna masyarakat terus digaungkan. Sebab, dugaan penyalahgunaan sejumlah pasal karet untuk kepentingan pihak tertentu masih terus terjadi. Akan tetapi, perkembangan pembahasan revisi UU ITE sulit diketahui publik. Sejak dibahas pada Mei lalu hingga saat ini, rapat yang dilakukan pembentuk UU mayoritas digelar secara tertutup.

Tak hanya problematika RUU ITE, hingga saat ini pimpinan DPR juga belum membacakan Surpres RUU Perampasan Aset. Padahal, surpres itu sudah diserahkan pemerintah kepada DPR pada awal Mei lalu.

Ditemui seusai rapat paripurna, Rachmat Gobel mengatakan, semua UU yang dibuat DPR dan pemerintah tentu memiliki nilai politis. Pihaknya sudah mengatur mana yang perlu didahulukan. Ia tidak menampik dan tidak menjawab saat ditanyakan mengapa RUU IKN dan RUU ASN lebih cepat diproses ketimbang RUU ITE.

”Semua dibahas, tinggal menunggu waktunya yang mana yang mesti diinikan,” ujarnya.

Seorang anggota parlemen yang duduk di antara kursi yang telah kosong saat Rapat Paripurna VII DPR di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, hampir usai, Selasa (3/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Seorang anggota parlemen yang duduk di antara kursi yang telah kosong saat Rapat Paripurna VII DPR di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, hampir usai, Selasa (3/10/2023).

Sufmi Dasco Ahmad juga tak berkomentar banyak saat ditanyakan tentang Surpres RUU Perampasan Aset yang belum ditindaklanjuti selama empat bulan terakhir. ”Waktu saja,” katanya.

Selain menyetujui pengesahan dan perpanjangan pembahasan sejumlah RUU, DPR juga mengesahkan 37 RUU yang masuk dalam perubahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, salah satunya revisi UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI. DPR juga mengesahkan 47 RUU Prolegnas Prioritas 2024, dan 256 RUU Prolegnas 2020-2024.

Deputi Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, persetujuan pengesahan RUU IKN dan RUU ASN telah mengabaikan prinsip transparansi partisipasi publik dalam proses pembentukan perundang-undangan. Selain dari proses pembahasan, hal itu juga terlihat dari tidak dipublikasikannya draf terbaru kedua RUU tersebut di situs DPR. Akibatnya, publik pun tak bisa mengakses draf terbaru dari kedua RUU tersebut.

Ia menambahkan, pengabaian ruang tranparansi dan partisipasi publik dalam pembentukan UU telah menjadi pola berulang selama empat tahun terakhir. Tidak ada upaya perbaikan yang dilakukan, baik dari tingkat admiinstrasi maupun kebijakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

”DPR gagal menjalankan tugasnya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dalam empat tahun terakhir, DPR tidak ubahnya sebagai lembaga stempel yang mempermulus kepentingan legislasi presiden, begitu pun sebaliknya,” kata Fajri.

Suasana saat digelar Rapat Paripurna VII DPR di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, Selasa (3/10/2023). Dalam Rapat Paripurna VII DPR Masa Persidangan I Tahun 2023-2024 ini dengan agenda persetujuan RUU IKN dan persetujuan Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana saat digelar Rapat Paripurna VII DPR di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, Selasa (3/10/2023). Dalam Rapat Paripurna VII DPR Masa Persidangan I Tahun 2023-2024 ini dengan agenda persetujuan RUU IKN dan persetujuan Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.

Menurut dia, hal itu merupakan refleksi kinerja fraksi parpol yang tak sejalan dengan janji kampanye. Masyarakat sudah semestinya bisa bersikap kritis dan mencermati kinerja setiap fraksi, serta menghukum dengan cara tidak memilih mereka pada Pemilu 2024.

 
 
Editor:
ANTONY LEE
  Kembali ke sebelumnya