Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul KULIAH UMUM : Korupsi di Masa Kini Lebih Parah Dibandingkan dengan Masa Orba
Tanggal 06 Oktober 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi III
Isi Artikel

YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemerintahan di masa Orde Baru sering kali dianggap sebagai pemerintahan terburuk karena sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Banyak orang tidak menyadari bahwa praktik korupsi di masa kini justru lebih meluas dan masif.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, jika pada masa Orde Baru korupsi biasanya dilakukan dalam anggaran proyek-proyek pemerintah, korupsi di era sekarang bahkan bisa mulai dilakukan sejak anggaran disusun dan tersedia. Di masa sekarang, praktiknya lebih parah.

”Di masa sekarang, melalui pendekatan, perbincangan yang terjadi di lingkup legislatif, korupsi bahkan bisa dimulai sejak sebelum dana APBN disusun,” ujar Mahfud saat memberikan materi dalam kuliah umum bertema ”Capaian Hukum dan Politik dalam Sistem Demokrasi Indonesia” di University Club Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (6/10/2023).

Dia mencontohkan seorang pengusaha atau pemilik modal yang mendapatkan dana pemerintah bisa memulainya dengan menyampaikan keinginan untuk melakukan pembangunan proyek tertentu dengan didanai pemerintah. Negosiasi dengan kalangan legislatif dilakukan, dan DPR biasanya akan memastikan proyek tersebut disetujui pemerintah asalkan pengusaha terlebih dahulu menyediakan uang ”pelicin” proyek.

Di masa sekarang, melalui pendekatan, perbincangan yang terjadi di lingkup legislatif, korupsi bahkan bisa dimulai sejak sebelum dana APBN disusun.

Bentuk kesepakatan lainnya, persetujuan dilakukan ketika pihak pengusaha setuju mengalokasikan sebagian dari nilai anggaran untuk proyek untuk disetorkan kepada kalangan legislatif.

Tidak hanya itu, tambah Mahfud, korupsi berlangsung lebih meluas meliputi semua jenjang, mulai dari pusat hingga daerah, serta dalam berbagai ragam kegiatan dan bentuk.

Meluasnya praktik itu terbukti dari keterlibatan anggota DPR yang kini merambah berbagai proyek dan pengadaan barang pemerintah. ”Saat ini, kalangan DPR pun ingin dilibatkan dalam hal penentuan jenis barang yang akan dipakai dalam proyek pemerintah,” ujarnya.

Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung menetapkan seorang tersangka berinisial IH dalam kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur <i>base transceiver station</i> (BTS) 4G beserta infrastruktur pendukungnya.

PUSPENKUM KEJAKSAAN AGUNG

Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung menetapkan seorang tersangka berinisial IH dalam kasus dugaan korupsi penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G beserta infrastruktur pendukungnya.

Di masa Orba, masyarakat akan kaget jika mendapati korupsi dana APBN dalam hitungan miliaran atau puluhan miliar rupiah. Namun, di masa sekarang, dengan begitu banyaknya kasus korupsi yang muncul, masyarakat jadi terbiasa.

Seturut teori dan sesuai praktik di banyak negara lainnya, korupsi seharusnya bisa dicegah dan dikendalikan dengan memperbaiki demokrasi. Masyarakat Indonesia pun sebenarnya sudah berupaya melakukan hal tersebut dengan melakukan reformasi pada tahun 1998. Namun, sayangnya, upaya itu terbukti tidak berhasil menyudahi korupsi.

”Di negara kita, teori perbaikan demokrasi sebagai pencegahan korupsi terbukti tidak manjur dilakukan karena demokrasi yang sudah berjalan, di tengah jalan tiba-tiba berubah menjadi praktik oligarki,” ujar Mahfud.

Oligarki yang dimaksud adalah struktur kekuasaan yang dipengaruhi segelintir orang, biasanya gabungan dari penguasa politik dan pemilik modal.

Zaenur Rahman, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, mengatakan, dalam perkembangan waktu, kejahatan memang selalu berkembang dan berevolusi, baik dalam hal modus maupun cara menyembunyikan hasil kejahatannya. Di masa sekarang, menyembunyikan uang hasil korupsi bisa dilakukan menggunakan instrumen mata uang kripto atau instrumen lain yang relatif sulit dideteksi.

https://cdn-assetd.kompas.id/tXYkj-FzPmIomzTE-ZC-WKYVJIc=/1024x683/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F04%2F22%2F1a760265-a5d2-4891-84bb-29f6c462495c_jpg.jpg

Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan berjalan menuju ruang konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021).

Dalam beberapa kasus, korupsi juga terbukti direncanakan. Hal ini, antara lain, terlihat dalam kasus korupsi KTP elektronik pada tahun 2010 dan kembali berulang pada tahun ini. Polanya serupa dalam kasus korupsi base transceiver station (BTS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam dua kasus ini, semua yang mendapatkan suap sudah terpetakan, dibagi-bagi, dan direncanakan sejak awal.

Dirancang sebagai bagian dari perencanaan tersebut, lelang proyek untuk pengadaan barang dan jasa biasanya hanya sebatas formalitas untuk memenuhi ketentuan. Semuanya sudah diatur karena pemenang proyek sebenarnya juga sudah ditentukan.

Pemerintah, diakui Zaenur, mengupayakan penanganan dan pemberantasan korupsi. Namun, sayangnya, upaya tersebut tidak optimal karena pemerintah lebih fokus memperhatikan masalah-masalah lain, seperti kegiatan pembangunan infrastruktur dan penanaman investasi.

”Padahal, dengan dibiarkannya praktik korupsi, kegiatan pembangunan dan penanaman investasi di Indonesia menjadi tidak berkualitas karena rawan pungutan liar di sana-sini,” ujarnya.

Agar pemberantasan korupsi bisa berjalan efektif, instrumen pemberantasan korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harus diberikan independensi dan sumber daya yang cukup. Namun, sayangnya, hal itu tidak bisa diharapkan pada kinerja KPK saat ini.

”Seperti kita tahu, KPK yang tidak independen tersebut justru menjadi bagian dari masalah, termasuk masalah korupsi itu sendiri,” ujar Zaenur.

Untuk membuktikan keseriusan memberantas korupsi, pemerintah juga diharapkan melakukan kajian ulang, memperbaiki berbagai peraturan terkait pemberantasan korupsi.

 
 
Editor:
IRMA TAMBUNAN
  Kembali ke sebelumnya