Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul PEMBERANTASAN KORUPSI : Memberantas Korupsi secara Terstruktur, Sistemik, dan Masif
Tanggal 10 Nopember 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi III
Isi Artikel

Meningkatnya tren korupsi ditandai dengan semakin buruknya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 dengan skor 34 peringkat ke-110 dari 180 negara. Skor tersebut turun 4 poin dari tahun sebelumnya, dan merupakan skor terendah Indonesia sejak 2015.

Untuk itu, perlu terobosan pola pemberantasan korupsi secara terstruktur, sistemik, dan masif (TSM). Berikut ini pola pemberantasan korupsi yang perlu dilakukan.

Kebijakan koruptif (sistemik)

Kasus korupsi BTS di BAKTI berhulu kepada kebijakan menteri yang dituangkan dalam peraturan menteri komunikasi dan informatika (permenkominfo), bahwa pengambilan kebijakan hanya melibatkan menteri dan Dirut BAKTI, tidak melibatkan jajaran pejabat tinggi madya atau eselon 1. Dampak kebijakan ini, terjadi penyalahgunaan wewenang dalam implementasi proyek BTS BAKTI yang telah melambungkan besaran korupsi sehingga bernilai sangat jumbo, melibatkan banyak elite penentu kebijakan lintas sektoral.

Hal tersebut dapat terjadi karena instrumen penting ketentuan pencegahan korupsi tidak diterapkan, yakni, pertama, Pasal 108 Ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan, setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.

Kedua, Pasal 4 Ayat d Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) menyatakan bahwa PNS wajib melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat merugikan keuangan negara.

Berbekal kedua ketentuan itu, sebenarnya aparat pengawas internal pemerintah (APIP) punya peran besar dan terhormat mencegah korupsi dari hulu. Pertama, menegakkan disiplin pegawai negeri yang prosedur dan sanksinya sudah cukup diatur dalam PP No 9/21 dan peraturan terkait lainnya. Kedua, APIP karena jabatan wajib melaporkannya kepada penyidik baik Polri, kejaksaan, maupun KPK. Apalagi negara akan memberi premi atas laporan korupsi oleh PNS sesuai PP No 43/2018.

Bilamana kedua ketentuan tersebut dilaksanakan secara konsisten, akan banyak pemangku kepentingan turut berperan strategis dalam memberantas korupsi, bukan hanya aparat penegak hukum.

Bertepatan dengan kasus BTS BAKTI tersebut, telah lahir Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2023 tentang Manajemen Risiko Pembangunan Hukum untuk Mencegah Kebocoran APBN/APBD yang sampai saat ini belum terlihat output-nya.

Setidaknya ada tiga output yang diharapkan lahir dari Perpres No 39/2023. Pertama, menetapkan agar Sistem Manajemen Risiko SNI ISO 31000 diterapkan secara mandatori di semua instansi seperti pernah berlaku dulu di lingkungan Kementerian Keuangan.

Kedua, mengadopsi Sistem Manajemen Antipenyuapan SNI ISO 37001 yang pernah berlaku mandatori, tetapi telah dicabut.

Ketiga, menetapkan pola pencegahan pemberantasan korupsi secara nasional di bawah kendali Kementerian Penertiban Aparatur Negara.

Korupsi yang masih menjadi penyakit akut bangsa menjadi keprihatinan masyarakat yang dituangkan melalui poster yang ditempel di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (10/5/2023).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Korupsi yang masih menjadi penyakit akut bangsa menjadi keprihatinan masyarakat yang dituangkan melalui poster yang ditempel di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (10/5/2023).

Komite antikorupsi (terstruktur)

Di setiap BUMN/BUMD/BLU ada komite audit, komite risiko, dan komite remunerasi. Merebaknya korupsi seperti kasus BTS BAKTI seyogianya diimbangi dengan kewajiban membentuk komite antikorupsi di seluruh BUMN/BUMD/BLU yang diketuai seorang komisaris.

Kewenangan Komite Antikorupsi di bawah direksi meliputi, pertama, mengklasifikasi data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang selama ini tidak dikelola secara baik oleh KPK karena kesulitan mendalami substansi LHKPN. Baik karena jumlah personel yang kurang memadai maupun keterbatasan dalam mendalami LHKPN yang sesungguhnya hanya diketahui oleh kolega sesama instansi.

Berikut beberapa manfaat penting LHKPN. Satu, untuk melacak potensi konflik kepentingan dari silsilah keluarga yang tercantum pada LHKPN. Dua, untuk melacak poligami yang tidak dilaporkan. Ada kasus korupsi yang memasukkan istri kedua ke dalam kartu keluarga istri pertama. Tiga, data awal untuk memprofil seseorang sebelum diperiksa oleh APIP. Kasus Rafael Alun, anggota staf di Kemenkeu, telah membuktikan data LHKPN mutlak perlu diklarifikasi oleh APIP sebelum diserahkan ke KPK. Untuk keperluan tersebut, sudah saatnya KPK melakukan desentralisasi kewenangan dalam mengelola LHKPN di setiap instansi.

Kasus Rafael Alun, anggota staf di Kemenkeu, telah membuktikan data LHKPN mutlak perlu diklarifikasi oleh APIP sebelum diserahkan ke KPK.

Kedua, mengelola unit pengendali gratifikasi yang sudah ada pada beberapa instansi. Idealnya mereka juga dibekali pengetahuan berbagai modus kasus gratifikasi yang cukup terkenal, seperti gratifikasi oknum Dirut Garuda yang bersifat multidimensi. Termasuk tren fraud di berbagai belahan dunia.

Ketiga, melakukan evaluasi dan analisis terhadap potensi konflik kepentingan (conflict of interest) yang merupakan musabab dari setiap korupsi berbasis data keluarga pada LHKPN. Idealnya, silsilah keluarga dikembalikan seperti dulu, sampai dua derajat hubungan keluarga batih dan semenda. Mereka sering dimanfaatkan untuk menyembunyikan kekayaan hasil kejahatan (layering)

Penguatan internal audit (terstruktur)

The Institute of Internal Audit Research Foundation pada 2009 menggagas pola pengawasan terintegrasi dengan Internal Audit Capability Model (IACM) yang mengintegrasikan pengawasan yang meliputi struktur, fungsi, kinerja, layanan, dan budaya. Begitu strategisnya IACM dalam memperkuat internal audit untuk membangun budaya birokrasi yang profesional, sampai Presiden Jokowi pada 2015 menargetkan sebanyak 85 persen dari seluruh internal audit pada level 3 dalam 5 tahun. Maraknya kasus korupsi membuktikan imbauan Presiden tersebut kurang dipatuhi.

Penguatan peran internal audit (IA) sangat diperlukan seperti di Amerika pasca-Skandal Watergate, yaitu Office of Inspectorate General yang lahir setahun setelah lahirnya Foreign Corrupt Practice Act tahun 1977. Inspectorate General menjadi independen meski di bawah kementerian, yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden dan Senat.

Kewenangan yang jarang dilakukan oleh APIP/IA adalah melakukan penyelidikan berdasarkan pengaduan lewat sistem whistleblower atau temuan audit terkait pelanggaran undang-undang atau disiplin. Selama ini kewenangan dalam rangka assurance tersebut terkesan mandul karena berdampak negatif bagi pimpinannya, menteri, atau direksi BUMN/BUMD/BLU.

https://cdn-assetd.kompas.id/itUIqQUrwxluKyl_IYppwkOQufo=/1024x575/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F30%2F87c41ba9-42ad-49ec-98e9-206a371c4d0e_jpg.jpg

Kementerian khusus (masif)

Agar pemberantasan korupsi dapat dikendalikan secara masif melalui penguatan peran APIP/IA di semua instansi, diperlukan kementerian khusus, yakni Kementerian Penertiban Aparatur Negara (Kemenpan) dengan nomenklatur baru, ”penertiban” menggantikan ”pendayagunaan”. Memang bernuansa pencegahan, tetapi bersifat punitif.

Nanti Kemenpan akan mengendalikan fungsi APIP/IA di semua instansi, termasuk KPK, Polri, kejaksaan, dan TNI sekalipun. Setidaknya ada empat kluster APIP/IA yang akan menjadi obyek kendali Kemenpan: (1) kluster instansi vertikal, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan; (2) kluster instansi berjenjang, seperti Mendagri; (3) kluster Polri (yang ada komisi, yakni Kompolnas); (4) kluster TNI melalui Kementerian Pertahanan.

Persoalan berikut siapa yang akan melaksanakannya setelah terjadi perubahan yang terstruktur dan sistemik di Kemenpan. Sangat banyak mantan personel KPK yang bisa dilibatkan, misalnya eks korban tes wawasan kebangsaan yang saat ini ditampung Polri.

Kemenpan nanti menjadi garda terdepan mengawal janji calon presiden. Ada tiga syarat agar Kemenpan sukses memberantas korupsi secara TSM. Pertama, tidak memiliki beban politik alias menteri bukan berasal dari partai politik. Kedua, dilakukan secara imparsial, tidak tebang pilih, dan tetap konsisten pada tujuan. Ketiga, dilaksanakan secara berintegritas, seperti KPK sebelum UU KPK direvisi.

Beberapa manfaat setelah Kemenpan berubah nomenklatur: memperbaiki IPK nasional secara signifikan, membangun budaya birokrasi yang profesional dan berintegritas, setiap LHKPN telah ditelusuri akurasinya sebelum masuk Lembaran Negara yang dikelola oleh KPK, mengembalikan marwah aparat penegak hukum khususnya KPK, setiap janji politik presiden saat kampanye bisa dilacak musabab kegagalannya, dan pelayanan publik akan semakin berkualitas.

Adnan Pandu Praja, Mantan Komisioner KPK dan Kompolnas

 
 
Editor:
YOVITA ARIKA
  Kembali ke sebelumnya