Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul PEMBERANTASAN KORUPSI : Menimbang Efektivitas Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Korupsi
Tanggal 24 Oktober 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman 7
Kata Kunci
AKD - Komisi III
Isi Artikel

Korupsi sebagai pelanggaran hukum yang luar biasa menjadi isu yang menghantui wacana publik negeri ini beberapa dekade terakhir. Korupsi bukan sekadar tindakan melawan hukum oleh segelintir individu atau kelompok, melainkan menjadi praktik kebiasaan yang dianggap biasa.

Pandangan bahwa ”penyakit” korupsi adalah hal ”biasa” saja ini dapat ditemukan pada sebagian orang di sektor pemerintahan, bisnis, dan bahkan politik. Korupsi menjadi fenomena kompleks yang telah mengakar dalam sejarah dan perkembangan bangsa.

Menuju pengujung tahun 2023, berbagai pemberitaan mengenai korupsi menyeruak ke ruang publik. Salah satu kasus korupsi yang masih hangat diperbincangkan ialah penetapan Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian RI, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Contoh kasus lainnya adalah penetapan eks Wali Kota Bandung Yana Mulyana sebagai tersangka penerima suap terkait Bandung Smart City. Ada pula kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara senilai Rp 16,8 triliun.

Berbagai kasus itu mempertegas kenyataan bahwa kebiasaan korupsi persisten terjadi di berbagai sektor, baik di tubuh pemerintahan maupun swasta, praktik yang lumrah atau dianggap wajar terjadi.

Korupsi merupakan manifestasi dari sifat rakus, ketidakjujuran, pelanggaran etika, dan martabat yang rendah. Hal itu juga menunjukkan hilangnya integritas dan profesionalitas pada diri seseorang.

Korupsi jelas merusak tatanan negara. Dampak dari korupsi adalah kerugian negara serta menurunnya kepercayaan publik. Instansi-instansi swasta pun menanggung kerugian.

Penegakan hukum dan budaya antikorupsi memegang peranan penting dalam upaya pemberantasan korupsi.

Merujuk pada tiga komponen penyusun sistem hukum, Lawrence M Friedman berpandangan, efektivitas penegakan hukum terhadap korupsi dapat dilakukan dari sisi substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).

Berbagai kasus itu mempertegas kenyataan bahwa kebiasaan korupsi persisten terjadi di berbagai sektor, baik di tubuh pemerintahan maupun swasta, praktik yang lumrah atau dianggap wajar terjadi.

Kekosongan hukum

Sisi substansi hukum tecemin pada peraturan mengenai korupsi di Indonesia. Kasus-kasus korupsi yang mencuat pada tahun 2023 mencerminkan permasalahan dalam substansi hukum di Indonesia.

Masih terdapat celah dan kekosongan hukum dalam undang-undang dan peraturan yang memungkinkan berkembangnya praktik korupsi. Sebagai contoh sederhana, hukum positif di Indonesia masih belum memberikan aturan yang jelas mengenai praktik korupsi di sektor swasta.

Padahal, secara internasional, hal tersebut telah diatur dalam Article 12 Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC). Konvensi ini menegaskan bahwa negara-negara perlu memastikan adanya sistem hukum yang mencegah berkembangnya korupsi di sektor swasta. Standar akuntansi dan audit di sektor swasta juga perlu ditingkatkan. Tak ketinggalan, diperlukan sanksi atas pelanggaran atau kegagalan untuk memenuhi standar yang ditetapkan.

Konvensi ini kemudian diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, tetapi tetap saja aturan mengenai korupsi sektor swasta di Indonesia masih sangat tidak jelas. Keadaan ini memberikan peluang kepada para pelanggar hukum untuk bermain di zona abu-abu tersebut.

Berikutnya, sisi struktur hukum dilihat dari kerangka hukum pada sebuah negara, antara lain keberadaan tatanan aturan perundang-undangan, lembaga-lembaga, dan perangkat hukum. Dalam konteks korupsi di Indonesia, struktur hukum mencakup lembaga negara independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Peradilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

https://cdn-assetd.kompas.id/LckGfOg4P6nhqHHrdP8L2VIE3NA=/1024x575/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F23%2F86bf9f35-1597-46cc-983e-6b5d156a5369_jpg.jpg

Problem independensi

Perlu diselisik lebih jauh status independensi KPK setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Terjadi perubahan definisi KPK dalam UU KPK tersebut. Awalnya hanya berbunyi ”lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh mana pun”.

Definisi ini kemudian diubah menjadi ”lembaga negara di dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun”.

Montesquieu memopulerkan teori Trias Politika yang kemudian menjadi rujukan lahirnya teori Separation of Power. Teori ini membagi kekuasaan menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial. Kekuasaan eksekutif merupakan salah satu dari tiga cabang kekuasaan yang menjalankan urusan negara, mengimplementasikan kebijakan publik, dan menjalankan keputusan.

Secara keorganisasian, kekuasaan eksekutif mencakup presiden sebagai pemimpin, wakil presiden, menteri-menteri. Dalam arti luas juga mencakup pegawai negeri sipil dan militer. Secara sederhana, kekuasaan eksekutif dapat disebut sebagai pemerintah.

Bagaimana mungkin KPK dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara yang independen, sementara lembaga ini berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dipimpin presiden?

Kehadiran Dewan Pengawas di dalam tubuh KPK juga dapat memengaruhi hak independen dari KPK. Faktanya, di dalam UU KPK itu terdapat pasal-pasal yang memperpanjang alur birokrasi perizinan dalam upaya penanganan tindak pidana korupsi.

Pengawasan internal memang diperlukan untuk menjaga integritas suatu lembaga. Selain itu, juga untuk mengurangi pengawasan dari pihak eksternal yang dapat mengintervensi independensi KPK.

Bagaimana mungkin KPK dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara yang independen, sementara lembaga ini berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dipimpin presiden?

Akan tetapi, bagaimana jika pengawas internal yang dibentuk itu berasal dari luar tubuh KPK sendiri, apalagi pengawas itu diangkat oleh presiden yang merupakan pemimpin dari cabang kekuasaan eksekutif?

Independensi KPK harus terlepas dari cabang kekuasaan mana pun sebagai lembaga independen di negara dengan sistem separation of power. Sistem yang menerapkan mekanisme check and balance.

Di sisi lain, budaya hukum juga berperan penting untuk mengupayakan masyarakat dan lembaga-lembaga publik maupun privat menghormati hukum, integritas, dan etika. Kasus korupsi yang banyak terjadi seolah mengungkapkan bahwa perspektif budaya di Indonesia menerima dan memaklumi korupsi.

Kondisi ini perlu diperbaiki untuk memberantas praktik korupsi yang merugikan masyarakat. Edukasi tentang bahaya korupsi dapat dimulai dari lingkungan pendidikan terkecil, seperti keluarga.

Pendidikan formal juga harus mulai memberikan edukasi tentang sikap antikorupsi, menanamkan stigma negatif terhadap korupsi, dan pendalaman karakter antikorupsi yang didambakan bangsa Indonesia.

Saat ini kurikulum pendidikan masih hanya memfokuskan pembelajaran pada ilmu-ilmu akademik. Pendidikan akhlak dan etika yang seharusnya sangat penting dalam pergaulan di masyarakat masih kurang mendapatkan perhatian dari pihak-pihak penyelenggara pendidikan formal di Indonesia.

Selain itu, tanpa disadari, sering kali praktik korupsi terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh kecil yang kerap terjadi adalah budaya suap pada masa pemilu dan kampanye.

https://cdn-assetd.kompas.id/T80nBysXKXCAyVWcVyKjanWE12s=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F20%2F660d20b0-0d9b-4bca-9e27-abf46924c4d8_jpg.jpg

Ilustrasi

Masyarakat kecil jadi target yang sangat mudah digapai oleh oknum-oknum yang ingin mendapatkan suara lebih dengan janji-janji imajiner. Oleh karena itu, efektivitas sosialisasi antikorupsi di masyarakat juga perlu ditingkatkan untuk menciptakan kesadaran publik dan kepedulian masyarakat demi melawan salah satu musuh besar bangsa ini: korupsi.

Upaya pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan untuk memperkuat fondasi hukum negara. Pemberantasan korupsi tersebut harus mencakup ketiga komponen hukum yang menjadi landasan sistem hukum negara.

Semua lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah hingga warga biasa, diharapkan ikut serta memberantas budaya korupsi yang sedang berkembang. Penting untuk memahami bahwa korupsi bukanlah bagian dari budaya Indonesia, melainkan bentuk perilaku yang merusak moral dan integritas negara dan individu.

Visi Indonesia Emas 2045, menuju Indonesia sebagai negara maju, modern, dan setara dengan negara-negara lain di dunia, perlu dicapai dengan perbaikan moral masyarakat. Untuk itu, perlu diperkuat sumber daya manusia yang memiliki integritas dan kompetensi untuk melanjutkan perjuangan bangsa ini.

Frans Hendra Winarta Guru Besar Universitas Pelita Harapan

 
 
Editor:
NUR HIDAYATI, YOHANES KRISNAWAN
  Kembali ke sebelumnya