Judul | MAHKAMAH KONSTITUSI : Ujung dari Putusan Nomor 90, Hakim Konstitusi Dilaporkan Dugaan Suap di KPK |
Tanggal | 15 Nopember 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi III |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mulai memproses pemeriksaan dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh hakim konstitusi terkait putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang uji materi syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden. Sementara itu, sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) juga melaporkan dugaan suap dalam putusan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Sidang pemeriksaan gugatan perbuatan melawan hukum hakim konstitusi yang diajukan oleh Perhimpunan Korban Mafia Hukum dan Ketidakadilan (Perkomhan) digelar di PN Jakpus, Rabu (15/11/2023). Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Dulhusin dan hakim anggota Kadarisman serta Susanti. Namun, karena pihak tergugat, yaitu sembilan hakim konstitusi, tidak hadir dalam persidangan tersebut, sidang akhirnya ditunda untuk memanggil ulang para tergugat. Yang hadir dalam sidang itu hanya penggugat dan Komisi Pemilihan Umum selaku pihak terkait. ”Karena semua pihak belum hadir, jadi kami akan panggil lagi satu minggu lagi. Tanggal 22 November hari Rabu para tergugat akan kami panggil lagi,” kata Hakim Ketua Dulhusin.
DIAN DEWI PURNAMASARI Ketua Umum Perhimpunan Pejuang Pembela Korban Mafia Hukum dan Ketidakadilan (Perkomhan) Priyanto seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (15/11/2023). Tak dilaksanakanSementara itu, Ketua Umum Perkomhan Priyanto mengatakan, mereka menggugat sembilan hakim konstitusi, antara lain Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P Foekh. Priyanto mengatakan, dalam gugatannya, Perkomhan memang tidak meminta membatalkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90. Sebab, mereka menyadari bahwa putusan itu bersifat final dan mengikat. Perkomhan hanya meminta putusan itu tidak dilaksanakan oleh KPU (non executable) karena dilahirkan dari pelanggaran etik dan konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang dimaksud adalah posisi Anwar Usman selaku paman Gibran Rakabuming Raka setelah menikah dengan Idayati, adik Presiden Joko Widodo.
”Karena ada konflik kepentingan, kami menilai putusan itu non executable atau tidak bisa dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum,” ujar Priyanto. Ketua Umum Perkomhan itu meyakini, tanpa adanya Anwar Usman selaku paman Gibran yang saat itu masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, perkara Nomor 90 itu tidak akan dikabulkan. Seharusnya, jika memang Anwar Usman mengetahui bahwa ada konflik kepentingan dalam memeriksa dan mengadili perkara itu, sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dia harus mundur. Anwar tidak bisa menyidangkan perkara, baik sebagai ketua maupun anggota. ”Ketua MK Anwar Usman saat itu memiliki konflik kepentingan sehingga seharusnya mundur. Putusan itu secara hukum cacat dan tidak bisa dilaksanakan secara hukum,” kata Priyanto. Karena putusan itu dinilai cacat, Priyanto berpandangan bahwa seharusnya peraturan yang diberlakukan adalah norma lama. Meskipun demikian, pada Selasa (14/11/2024), KPU sudah menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dan mengundi nomor urut para pasangan calon tersebut. Dia berharap putusan itu memperkuat argumennya bahwa putusan itu memang cacat hukum. ”Kami berharap ini bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat. Jika ada hakim yang salah dalam menerapkan hukum, yang memiliki konflik kepentingan masyarakat juga berhak menggugat,” kata Priyanto. Sementara itu, sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan hakim konstitusi tersebut terkait dugaan suap Rp 10 miliar kepada hakim Mahkamah Konstitusi terkait dengan Putusan Nomor 90. Mereka juga melaporkan dugaan nepotisme yang dilakukan Ketua MK Anwar Usman terkait putusan yang sama. Mereka menilai, Anwar Usman telah melanggar sejumlah ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 Ayat 5 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, juncto Pasal 71 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. DIAN DEWI PURNAMASARI Sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) juga melaporkan dugaan suap yang diterima hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang uji materi syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa (14/11/2023). Dugaan suapKoordinator TPDI Petrus Selestinus menuturkan, pihaknya sudah bertemu dengan tim dari KPK untuk melaporkan dugaan suap dan nepotisme dalam perkara itu. Salah satu bukti yang dibawa adalah rekaman siniar atau podcast Bocor Alus Politik dari Tempo. Di dalam siniar itu disebutkan bahwa ada dugaan aliran dana yang masuk ke hakim konstitusi sebelum perkara itu diputus. Dugaan itu disampaikan secara terbuka dan sudah ditayangkan di kanal Youtube sehingga Petrus menilai wartawan mendapatkan informasi yang akurat dari narasumber. ”Tayangan itu sudah menjadi konsumsi publik mengenai dugaan aliran dana yang masuk ke hakim konstitusi. Kami berharap penyidik KPK menindaklanjutinya dengan melakukan penyelidikan,” kata Petrus.
Terkait dengan dugaan nepotisme, selama ini KPK memang lebih banyak berfokus menangani kasus suap, gratifikasi, dan pencucian uang. Perkara nepotisme yang kerap masuk dalam rumpun korupsi politik jarang disentuh dan diterapkan. Namun, Petrus menilai bahwa dalam Putusan Nomor 90, dugaan nepotisme itu terbukti dengan jelas sehingga dia meminta KPK menindaklanjutinya. Nepotisme yang dimaksud adalah hubungan keluarga antara Anwar Usman dan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka ketika menyidangkan perkara yang menguntungkan dirinya secara politik. Gibran yang awalnya tidak memenuhi syarat usia minimal cawapres akhirnya bisa maju kontestasi karena putusan Nomor 90 yang diperiksa dan diadili oleh pamannya. ”Kami minta sembilan hakim konstitusi dipanggil dulu sebagai saksi fakta. Selain itu, juga Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yaitu Prof Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams. Sebab, mereka inilah yang juga memeriksa sembilan hakim konstitusi yang mengatakan bahwa ada pelanggaran etik berat dan pelanggaran kolektif,” ujar Petrus. Ia juga menyebut respons dari KPK terhadap laporan itu cukup responsif meskipun selama ini kasus nepotisme masih jarang ditangani. TPDI menilai, kali ini KPK harus memberi prioritas pada kasus itu karena hal itu sudah menjadi perbincangan luas dari masyarakat karena dianggap merusak demokrasi. ”Sudah ada kesamaan bahwa nepotisme bisa diproses karena dilakukan oleh penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan keluarga atau kroninya. Unsur nepotisme itu terpenuhi karena Anwar Usman menyidangkan perkara yang berkaitan dengan keluarganya yang merugikan kepentingan masyarakat dan negara,” kata Petrus. Editor:
SUHARTONO
|
Kembali ke sebelumnya |