Judul | CATATAN POLITIK DAN HUKUM : Demokrasi Makin Mendung |
Tanggal | 04 Nopember 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 2 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi III |
Isi Artikel | Rabu, 1 November 2023, Kompas memasang foto utama Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman duduk menghadap Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqie bersama Bintan Saragih dan Wahiduddin Adams. Kompas memberi judul ”Majelis Kehormatan Temukan Masalah”. Melihat dan membaca berita itu, perasaan saya campur aduk. Saya mengikuti perkembangan sejarah sampai perdebatan lahirnya MK hingga terbentuknya MK, lembaga yang didesain sebagai the guardian of constitution. Rasanya tak sampai hati melihat MK terpuruk di tahun terakhir pemerintahan Presiden Jokowi. Demokrasi Indonesia mendung. Media Jerman menulis, ”Abschied von der Demokratie”, Selamat Tinggal Demokrasi. Bagaimana tidak miris melihat Anwar, seorang ”negarawan yang menguasai konstitusi”, bersama dengan hakim konstitusi lain harus diperiksa atas dugaan pelanggaran etik. Tak ada jabatan di negeri ini yang ditempatkan begitu agung sebagai ”negarawan yang menguasai konstitusi” selain MK. Sebenarnya bukan kali ini prahara menerpa Mahkamah. Pada tahun 2013, prahara di Mahkamah terjadi saat Ketua MK Akil Mochtar ditangkap KPK karena memperdagangkan putusan pilkada. Prahara itu saya rekam dalam buku Akal Akal Akil yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (2013). Kini prahara kembali terjadi saat hakim konstitusi dilaporkan melanggar etik dalam penanganan perkara uji materi syarat menjadi capres. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat memenuhi panggilan sidang etik dengan agenda pemeriksaan dirinya sebagai terlapor oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023). Tiga anggota MKMK, yaitu Jimly Asshiddiqie (pemimpin sidang), Wahiduddin Adams, dan Bintan R Saragih, memanggil Anwar Usman untuk diperiksa terkait sejumlah pelaporan dugaan pelanggaran etik. Anwar paling banyak dilaporkan atas dugaan benturan kepentingan. Ia tidak mundur sebagai hakim konstitusi saat menyidangkan perkara uji materi syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Padahal, patut diduga ada potensi benturan kepentingan saat MK memeriksa norma tersebut. Ada asas nemo judex idoneus in propria causa (seorang hakim tidak dapat menjadi hakim untuk perkaranya sendiri). Ada kepentingan keluarga di balik pemeriksaan norma tersebut. Awalnya, UU Pemilu menetapkan syarat jadi capres adalah minimal 40 tahun. Namun, uji materi diajukan untuk menurunkan usia menjadi 35 tahun atau menambahkan frasa baru, berpengalaman sebagai kepala daerah. Uji materi diterima sebagian oleh MK. MK menambahkan norma, ”pernah atau sedang menjabat kepala daerah atau jabatan yang dipilih melalui pemilu”. Pengambilan keputusannya pun bermasalah karena empat hakim, yakni Saldi Isra, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Arief Hidayat, menolak uji materi itu. Dua hakim, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic, mensyaratkan kepala daerah selevel gubernur yang bisa mencalonkan diri sebagai capres. Tiga hakim, Anwar Usman, Guntur Hamzah, dan Manahan Sitompul, menerima uji materi dengan tambahan, ”pernah atau sedang menjabat kepala daerah yang dipilih melalui pemilu”. Norma inilah yang membuka jalan kepala daerah berusia di bawah 40 tahun bisa jadi capres atau cawapres. Dan, peluang itu dimanfaatkan Golkar yang mengusulkan Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal cawapres dari Golkar. Adanya laporan benturan kepentingan atas diri Anwar Usman. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut ada prahara di Mahkamah. Bahkan, Arief punya pikiran me-reshuffle sembilan hakim konstitusi untuk memperbaiki marwah Mahkamah. Arief pernah diberi teguran oleh Majelis Kehormatan untuk kasus lain beberapa waktu lalu. Anwar membantah adanya konflik kepentingan. Ia mendalilkan yang diperiksa adalah norma. Anwar menolak mundur dari jabatan karena jabatan itu berasal dari Tuhan. Melacak jejak karier, Anwar diusulkan sebagai hakim konstitusi oleh MA pada 6 April 2011. Kemudian dipilih sebagai Ketua MK. Menang bersaing dengan Arief. Jabatan Anwar di MK bukanlah ujuk-ujuk. MA mengusulkannya. MELATI MEWANGI UNTUK KOMPAS Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie melihat apa yang terjadi di MK sebagai masalah serius. Baru pertama kalinya dalam sejarah sembilan hakim konstitusi dilaporkan melanggar etik. Ada laporan benturan kepentingan, ada hakim yang membeberkan masalah internal di persidangan dalam dissenting opinion. Dalam perkembangan lainnya, ada juga yang melaporkan Jimly ke Badan Kehormatan DPD karena Jimly masih tercatat sebagai anggota DPD Jakarta. Pada Pemilu 2024, Jimly tak maju. Dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Anwar cukup terang. Meskipun Anwar berdalih yang diuji adalah norma, norma itu terkait dengan nasib keponakannya, Gibran Rakabuming. Selayaknya, Anwar tidak ikut memeriksa perkara karena ada potensi benturan kepentingan. Dalam Kode Etik Hakim Konstitusi ditulis, ”Hakim konstitusi—kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan—harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan di bawah ini: a. Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata punya prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya punya kepentingan langsung terhadap putusan.” Hasil eksaminasi sejumlah ahli hukum menyimpulkan telah terjadi strong abusive judicial review. Semestinya MK tidak terlibat jauh sehingga menjadikannya sebagai bagian dari strategi politik yang menguntungkan pihak tertentu. Prinsip untuk membatasi diri ini dikenal dengan ”the Purcell principle” untuk membatasi pengadilan terlibat secara aktif mengganggu proses pemilu yang tengah berlangsung. Namun, kewenangan publik terbatas. Wewenang itu ada pada MKMK. MKMK punya peluang menyelamatkan demokrasi yang makin mendung agar tidak jadi hujan lebat atau malah banjir bandang. Jika merujuk pada UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan dalam Pasal 17 Ayat 5, ”Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia punya kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.” Pasal (6) dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana. Perkara diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim berbeda. Kompleksitas persoalan terbayang. Putusan MK adalah final dan mengikat. Susunan majelis mana yang akan menyidangkan kembali ketika sembilan hakim konstitusi dilaporkan melanggar etik. Putusan MKMK akan menentukan legitimasi legal dan moral pencalonan capres dan cawapres. Putusan MKMK juga akan menentukan apakah marwah MK akan pulih dan bisa dipercaya dan bukan malah dicemooh publik. Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, dikutip Kompas.com, 17 Oktober 2023, menilai putusan MK soal batas usia capres-cawapres mengandung cacat hukum serius. Lalu bagaimana? Butuh kedewasaan dan kearifan politik tinggi untuk menyelesaikan constitutional dispute, seandainya MKMK menyatakan ada pelanggaran etik, sementara putusan MK final dan mengikat. Jalan yang bisa ditempuh adalah melanjutkan proses dengan legitimasi yang compang-camping atau memanfaatkan jadwal penggantian calon yang disediakan KPU sejauh peluang masih ada. Semoga mendung bisa berubah terang. |
Kembali ke sebelumnya |