Judul | UJI KONSTITUSIONALITAS : MK Jadwalkan Sidang Perkara 141, Pengujian Kembali Usia Capres-Cawapres |
Tanggal | 18 Nopember 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi II - Komisi III |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi akhirnya menjadwalkan persidangan kedua untuk pengujian kembali Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana, atau yang dikenal dengan perkara 141/PUU-XXI/2023. Pemohon berharap, pascasidang kedua tersebut, MK langsung menjatuhkan putusan. Berdasarkan surat panggilan sidang yang dikirimkan oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK), perkara Nomor 141 akan kembali disidangkan pada Senin (20/11/2023) dengan agenda perbaikan permohonan. Surat panggilan sidang tersebut ditandatangani oleh Panitera MK Muhidin.
Kuasa hukum perkara 141, Viktor Santoso Tandiasa, saat dikonfirmasi, Sabtu (18/11/2023), membenarkan adanya agenda sidang tersebut. Ia berharap, MK langsung menjatuhkan putusan setelah sidang tersebut. MK dinilai tak perlu lagi mendengarkan keterangan dari para pihak seperti pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. ”Kami akan memberi penekanan supaya (perkara) segera diputus. Permohonan juga sudah kami rombak,” kata Viktor. KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA Pemohon gugatan UU Pemilu, Brahma Aryana (kanan), berjabat tangan dengan kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa, sebelum sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (8/11/2023). MK kembali menggelar sidang gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diajukan mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana. Sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut beragendakan pemeriksaan pendahuluan. Sebelumnya, ia sudah meminta agar MK memeriksa pengujian kembali Pasal 169 huruf q UU Pemilu pascaputusan nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan hukum acara cepat. Semula, ia berharap MK langsung menjatuhkan putusan setelah sidang pertama dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Di hadapan majelis panel yang memeriksa perkara 141, Viktor meminta pemeriksaan secara cepat. Hal itu penting untuk mendapatkan kepastian hukum karena ada polemik di tengah masyarakat terkait legitimasi pemilu mengingat pencalonan salah satu calon wakil presiden didasarkan pada Putusan 90. Terkait dengan putusan perkara Nomor 90 itu, Majelis Kehormatan MK menyatakan ada pelanggaran etik dalam proses penanganan perkara tersebut. Sanksi berat Majelis Kehormatan MK menjatuhkan sanksi berat terhadap salah satu hakim konstitusi, Anwar Usman, berupa pencopotan jabatannya dari Ketua MK dan menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif terhadap para hakim konstitusi. Anwar terbukti memiliki benturan kepentingan saat menangani perkara Nomor 90 dan telah memberi jalan pada pencalonan sebagai wakil presiden bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, yang juga masih kemenakannya. Dalam sidang perdana, majelis panel yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo mengungkapkan, perkara tersebut akan dijalankan secara normal. Suhartoyo menyerahkan kepada pemohon jika ingin memperbaiki naskah permohonan secara cepat, tetapi MK tidak akan terdikte dengan hal itu. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam sidang pengucapan putusan dugaan pelanggaran etik hakim MK di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/11/2023). Dalam sidang itu, Jimly didampingi dua anggota MKMK lainnya, yakni Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih. Pengujian yang diajukan oleh Brahma Aryana mempersoalkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sudah diberi makna baru oleh putusan perkara Nomor 90. Pasal itu saat ini bermakna ”syarat capres dan cawapres adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Pemohon perkara Nomor 141 meminta pasal dengan makna baru tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai ”melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi”. Pemohon mendalilkan pemaknaan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang baru dalam Putusan 90 inkonstitusional. Sebab, putusan itu hanya didasarkan pada suara tiga hakim konstitusi dari lima hakim yang dibutuhkan.
Selain itu, Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang baru juga membuat warga negara yang berusia 21 tahun sepanjang sedang menjabat anggota DPR, DPD, DPRD provinsi/kabupaten/kota dapat mencalonkan diri menjadi capres/cawapres. Demikian pula seseorang berusia 25 tahun yang tengah menjabat sebagai wali kota atau bupati dan seseorang berusia 30 tahun yang tengah menjadi gubernur atau wakil gubernur. Kondisi demikian, kata Viktor, mempertaruhkan nasib keberlangsungan negara Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar dan beragam suku, golongan, ras, agama. Di samping itu, negeri ini memiliki kekayaan alam yang melimpah. Dengan demikian, dibutuhkan seorang pemimpin yang berpengalaman dengan kemapanan mental dan kedewasaan dalam memimpin. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di Ruang Sidang Utama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, mendaftar Pemilihan Presiden 2024, Rabu (25/10/2023). Viktor menilai, MK tidak perlu lagi memanggil pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tentang pandangan mereka terhadap norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Sebab, selain kedua pembentuk undang-undang tersebut sudah memberi keterangan dalam perkara yang sama sebelumnya, pihaknya juga lebih menekankan pada pelanggaran etik yang terjadi pada penanganan perkara 90. Dengan demikian, keterangan dari kedua lembaga tersebut tidak diperlukan. Selain permohonan Brahma Aryana, MK juga menerima delapan permohonan pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu lainnya. Perkara tersebut diajukan oleh sejumlah warga negara termasuk di antaranya Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, keduanya pakar hukum tata negara. Editor:
MADINA NUSRAT
|
Kembali ke sebelumnya |