Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul UJI KONSTITUSIONALITAS : Belum Tuntas, Musyawarah Hakim MK Bahas Usia Capres-Cawapres
Tanggal 04 Oktober 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi II
- Komisi III
Isi Artikel

JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan uji konstitusionalitas batas usia calon presiden dan calon wakil presiden oleh Mahkamah Konstitusi belum tuntas. MK masih harus menggelar rapat permusyawaratan hakim untuk menyelesaikan pembahasan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tersebut.

Hal tersebut terungkap ketika Hakim Konstitusi Suhartoyo memimpin sidang panel perbaikan permohonan perkara 100/PUU-XXI/2023 tentang pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu yang diajukan Rudy Hartono, warga Malang, Jawa Timur, Rabu (4/10/2023). Suhartoyo didampingi oleh hakim konstitusi Guntur Hamzah dan Daniel Yusmic P Foekh.

Dalam kesempatan tersebut, Rudy Hartono menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan terkait batas usia maksimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Ia meminta MK untuk membuat norma baru dengan menafsirkan syarat usia capres dalam Pasal 169 Huruf 1 UU Pemilu dengan memasukkan ketentuan usia maksimal 70 tahun. Salah satu alasan yang dikemukakan Rudy, usia 70 tahun mengacu pada data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dapat dikategorikan sebagai manula.

”Jika calon presiden dan wakil presiden yang termasuk dalam kategori manula, dalam memimpin sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan kurang efektif. Sebab, usia tersebut rentan gangguan kesehatan dan kurangnya efektivitas dalam menentukan suatu kebijakan,” kata Rudy.

Hakim Konstitusi Saldi Isra (kanan) dan Suhartoyo berbincang di sela-sela mengikuti sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (8/8/2023).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Hakim Konstitusi Saldi Isra (kanan) dan Suhartoyo berbincang di sela-sela mengikuti sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (8/8/2023).

Hal ini, menurut dia, membuat haknya sebagai warga negara Indonesia untuk dipimpin oleh kepala negara yang sehat jasmani dan rohani berpotensi tidak terwujud.

Pada saat itu, Guntur Hamzah dan Suhartoyo mempertanyakan apakah petitum yang dimohonkan bersifat kumulatif atau alternatif. Keduanya bertanya apakah akan merenvoi berkas permohonan yang sudah diperbaiki oleh Rudy.

”Ini akan kami laporkan kepada rapat hakim. Bisa jadi besok pagi sudah dijadwalkan. Kapan Bapak mau serahkan (renvoi) itu. Atau hari ini juga kalau mau direnvoi, bisa di-declare di Bapak, nanti terekam di risalah (sidang). Besok pagi harus dilaporkan ke… bisa jadi sudah dijadwalkan ke RPH sembilan hakim,” kata Suhartoyo.

Perkara Rudy Hartono hanyalah satu dari sekitar 10 perkara pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Sebelumnya, MK sudah selesai menyidangkan tiga perkara pengujian pasal yang sama yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah. MK bahkan juga sudah mengabulkan satu permohonan penarikan pengujian pasal batas usia tersebut dan mengeluarkan ketetapan terkait hal itu.

Ini, kan, perkaranya banyak, ada yang sudah mencabut, ada yang masih berjalan.

Hingga kini, MK belum menjadwalkan kapan putusan pengujian konstitusionalitas usia capres dan cawapres akan dibacakan. Ketua MK Anwar Usman juga enggan memberikan informasi. Saat ditanya kapan putusan dijatuhkan mengingat pendaftaran capres dan cawapres segera dibuka tanggal 19 Oktober mendatang, Anwar mengatakan, ”Mudah-mudahan, ya, dalam waktu dekat.”

Ditanya apakah sembilan hakim MK sudah menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) pengambilan keputusan, Anwar enggan menjawab. Menurut dia, RPH bersifat rahasia. ”Jadi tunggu saja,” ujar Anwar.

Saat ini, tambah adik ipar Presiden Joko Widodo tersebut, MK tengah menyidangkan sejumlah perkara pengujian Pasal 159 Huruf q UU Pemilu. ”Ini, kan, perkaranya banyak, ada yang sudah mencabut, ada yang masih berjalan,” kata Anwar saat ditanya apa yang membuat perkara pengujian batas usia capres dan cawapres belum juga diputus.

Dua perkara tak jadi dicabut

Selasa (3/10/2023), MK menggelar sidang konfirmasi terhadap permohonan pencabutan pengujian batas minimal usia capres dan cawapres yang diajukan oleh kuasa hukum Arkaan Wahyu Re A (perkara 91/PUU-XXI/2023) dan Almas Tsaqibirru Re A (perkara 90/PUU-XXI/2023). Sidang tersebut digelar karena pada Jumat (29/9/2023) Kepaniteraan MK menerima surat permohonan pencabutan atau penarikan kembali kedua perkara tersebut.

Baca juga: Menyoal Batas Usia Capres-Cawapres

Mural bergambar wajah Presiden Republik Indonesia dari masa ke masa menghiasi tembok di kawasan Petukangan Selatan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2022).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Mural bergambar wajah Presiden Republik Indonesia dari masa ke masa menghiasi tembok di kawasan Petukangan Selatan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2022).

Sebelumnya, Arkaan dan Almas menguji Pasal 169 Huruf q UU Pemilu yang mengatur batas usia capres dan cawapres adalah 40 tahun. Keduanya meminta agar MK menyatakan pasal tersebut konstitusional bersyarat, artinya ketentuan itu konstitusional sepanjang dimaknai ”berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah”. Dalam permohonannya, kedua mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) tersebut mengajukan pengujian itu karena merasa ketentuan tersebut menghalangi sosok yang mereka kagumi, yakni Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri dalam pemilihan presiden 2024. Sebab, Gibran belum mencapai usia 40 tahun.

Wakil Ketua MK Saldi Isra yang memimpin sidang konfirmasi penarikan kembali perkara, didampingi oleh hakim konstitusi Arief Hidayat dan Guntur Hamzah, menanyakan kepada kuasa hukum Arkaan apakah benar mencabut permohonan. Namun, dalam persidangan tersebut terkuak bahwa surat pencabutan perkara yang dikirimkan pada Jumat lalu ternyata dibatalkan. Pemohon dan kuasa hukumnya mengirimkan surat kedua pada Sabtu (30/9/2023) malam yang intinya ingin melanjutkan perkara hingga pemeriksaan akhir.

Dwi Nurdiansyah Santoso saat dicecar, baik oleh Saldi maupun Arief, mengaku ada miskomunikasi di internal kuasa hukum, terutama antara kantor Surakarta, Jawa Tengah, dan kantor perwakilan Jakarta. Surat pencabutan berkas perkara pun dikirimkan tanpa sepengetahuan pemohon prinsipal, baik Arkaan maupun Almas. Pencabutan dilakukan karena malu terkait belum diterimanya berkas perbaikan permohonan oleh Kepaniteraan MK hingga waktu yang ditentukan.

”Kami ada miskomunikasi dengan kantor Jakarta terkait penyerahan (berkas) perbaikan itu, Yang Mulia. Sampai saat sidang, kami cari hard file-nya ke mana karena pihak panitera belum menerima. Kemudian kami cari, ternyata masih atau sedang dilakukan administrasi, terkait kopi 12 rangkap itu, kemudian baru diserahkan,” ujar Dwi yang mengikuti persidangan melalui telekonferensi dari Fakultas Hukum UNS.

Para pemohon mengikuti sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (1/8/2023).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Para pemohon mengikuti sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (1/8/2023).

Saldi pun mengonfirmasi kepada Arkaan apakah mengetahui pencabutan permohonan dan dijawab tidak tahu-menahu. Dirinya baru mengetahui hal tersebut setelah surat pencabutan perkara dikirimkan ke MK. Padahal, Arkaan mengaku sebenarnya ingin permohonannya diperiksa dan diputus oleh MK.

Peristiwa serupa terjadi untuk perkara 91/PUU-XXI/2023 yang memiliki kuasa hukum yang sama. Hanya saja, pemohonnya berbeda, yaitu Almas. Saat dikonfirmasi dalam sidang terpisah pun, jawaban yang disampaikan sama.

Sementara itu, pada Senin (2/10/2023), MK mengabulkan penarikan kembali perkara 100/PUU-XXI/2023 yang diajukan Hite Badengan Lumbantoruan dan Maron Lumbanbatu. Perkara yang diajukan ke MK pada 7 Agustus 2023 dan diregister 21 Agustus itu telah dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh majelis panel. Akan tetapi, sebelum sidang kedua dilaksanakan, pemohon uji materi mencabut permohonannya sehingga perkara dihentikan melalui ketetapan MK yang dibacakan pada awal pekan ini.

 
 
Editor:
ANITA YOSSIHARA
  Kembali ke sebelumnya