Judul | UJI KONSTITUSIONALITAS : Cegah Ketidakpastian Hukum Pilpres 2024 |
Tanggal | 20 Nopember 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 1 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi II - Komisi III |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi kembali diminta memutus perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Ulang Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Pemilu terkait syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam sidang Senin (20/11/2023) ini. Meski kali ini baru sidang kedua, hakim konstitusi dinilai sudah mendengar substansi yang dipersoalkan serta keterangan dari para pihak, seperti pemerintah dan DPR, saat memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan segera penting dihasilkan untuk mencegah ketidakpastian hukum, konflik di masyarakat, dan menjaga demokrasi. ”Kita sedang menghadapi ketidakpastian hukum dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Ini (keputusan terkait perkara 141) penting untuk demokrasi Indonesia,” kata pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, Minggu (19/11). Ia menyebutkan, ada urgensi cukup tinggi untuk memutuskan perkara 141 menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Apabila perkara 141 tak segera diputuskan, Pilpres 2024 tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Hal ini bisa menimbulkan masalah dan konflik di kemudian hari. ”Apa yang dikhawatirkan adalah Pilpres 2024 diwarnai dengan banyaknya kasus hukum perdata, konflik di masyarakat, dan jalannya pemerintahan yang tidak stabil,” lanjutnya. KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO Bivitri Susanti, Rabu (28/8/2019). Menurut Bivitri, putusan terkait perkara 141 dapat segera dihasilkan karena—mengacu Pasal 54 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi—MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. ”Di pasal itu ada kata ’dapat’. Prinsip yang diperiksa adalah norma, apakah konstitusional atau tidak. Jadi, dimungkinkan, begitu pendahuluan langsung putusan, tidak perlu mendengar keterangan,” tambahnya. Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan perkara dengan cepat, misalnya perkara Nomor 102/PUU-VII/2009. Perkara tersebut membahas penggunaan hak pilih dengan KTP atau paspor yang dapat dilakukan pada satu jam sebelum selesainya pemungutan suara di tempat pemungutan suara. Kala itu, permohonan diajukan pada 16 Juni 2009, diterima dan terdaftar di Kepaniteraan MK pada 24 Juni 2009, dan perkara sudah diputuskan pada 6 Juli 2009. ”Setelah sidang pembukaan, langsung diputuskan. Ini dimungkinkan karena ada urgensinya,” ujar Bivitri. Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari juga menilai perkara 141 bisa segera diputus karena hakim telah mendengar substansi yang dipersoalkan dan keterangan para pihak. ”Seharusnya MK bisa langsung menjatuhkan putusan,” tambahnya. KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI Feri Amsari Hal itu bisa dilakukan karena salah satu asas persidangan ialah harus cepat. ”Meskipun undang-undang tidak mengatur jumlah hari untuk memutuskan suatu perkara, kalau hakim sudah mempunyai keyakinan untuk memutuskan, tidak perlu menunggu lama,” ujar Feri. Di samping itu, putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres dan cawapres yang diajukan Almas Tsaqibbirru dinilainya bermasalah. Agar kebijakan hukum terbuka (open legal policy) konsisten dalam penentuan syarat usia capres-cawapres, seharusnya hakim konstitusi mengabaikan putusan perkara 90 dan menggunakan perkara 141 untuk memperbaikinya. Ia melihat, putusan perkara 90 salah fatal karena pengambilan putusan yang membuka jalan bagi putra Presiden Joko Widodo maju di Pilpres 2024 itu melibatkan keluarga Istana, tepatnya adik ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman. Majelis Kehormatan MK telah menjatuhkan sanksi berat terhadap Anwar Usman berupa pencopotan dari jabatan ketua MK. Anwar dinilai terbukti memiliki benturan kepentingan saat menangani perkara 90. KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menyampaikan keterangan pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). Perbaikan permohonanBerdasarkan surat panggilan sidang yang dikirimkan oleh Kepaniteraan MK, perkara 141 yang kembali disidangkan hari ini beragendakan perbaikan permohonan. Surat panggilan sidang ditandatangani panitera MK, Muhidin. Kuasa hukum perkara 141, Viktor Santoso Tandiasa, membenarkan agenda sidang tersebut. Senada dengan Feri dan Bivitri, ia memandang MK bisa langsung menjatuhkan putusan, tanpa perlu lagi mendengarkan keterangan dari para pihak. ”Kami akan memberi penekanan supaya (perkara) segera diputus. Permohonan juga sudah kami rombak,” ucap Viktor. Ia sudah meminta agar MK memeriksa perkara 141 dengan hukum acara cepat. Semula, ia berharap MK menjatuhkan putusan setelah sidang pertama dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN Calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, berpidato di Indonesia Arena, Jakarta, Rabu (25/10/2023). Putusan cepat dinilai penting untuk kepastian hukum menyusul menguatnya polemik di tengah masyarakat terkait legitimasi pemilu karena pencalonan Gibran didasarkan pada putusan 90. Majelis Kehormatan MK pun telah menyatakan ada pelanggaran etik dalam penanganan perkara tersebut. Namun, dalam sidang perdana, majelis panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo mengungkapkan, perkara itu akan dijalankan secara normal. Ia menyerahkan kepada pemohon jika ingin memperbaiki naskah permohonan dengan cepat, tetapi MK tidak akan terdikte dengan hal tersebut. Pengujian yang diajukan Brahma Aryana ini mempersoalkan Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Pemilu yang sudah diberi makna baru oleh putusan 90. Pasal itu sekarang bermakna ”syarat capres dan cawapres adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah”. Pemohon perkara 141 meminta pasal dengan makna baru tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai ”melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi”. Pemohon mendalilkan pemaknaan Pasal 169 Huruf q UU Pemilu yang baru dalam putusan 90 inkonstitusional. Alasannya, putusan hanya didasarkan pada suara tiga hakim konstitusi dari lima hakim yang dibutuhkan. Selain permohonan Brahma Aryana, MK juga menerima delapan permohonan pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu lainnya. Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO
|
Kembali ke sebelumnya |