Judul | TAJUK RENCANA : Berharap kepada MK |
Tanggal | 11 Nopember 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 6 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi II - Komisi III |
Isi Artikel | Berbagai harapan disematkan kepada Mahkamah Konstitusi yang mulai Senin (13/11/2023) akan dipimpin Suhartoyo. Pada hari itu juga calon presiden-calon wakil presiden ditetapkan. Salah satu harapan untuk Mahkamah Konstitusi (MK) pada saat ini adalah memutus secara cepat perkara Nomor 141 Tahun 2023 terkait syarat batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Putusan itu penting untuk memberikan kepastian hukum karena ada banyak pendapat terkait majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto. Gibran yang kini berusia 36 tahun dan menjabat Wali Kota Surakarta itu maju sebagai bakal cawapres berdasarkan putusan MK No 90/2023. Lewat putusan itu, syarat capres dan cawapres menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pilkada.
Namun, Majelis Kehormatan MK menyatakan, Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat dalam penanganan perkara No 90/2023. Akibatnya, dia diberhentikan dari posisi Ketua MK. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Majelis Kehormatan MK dalam sidang pengucapan putusan dugaan pelanggaran etik hakim MK di Jakarta, Selasa (7/11/2023). Ini bukan pertama kali solusi dari MK amat diharapkan untuk mengakhiri polemik terkait pemilu. Pada 6 Juli 2009, MK memutus bahwa KTP dan paspor (untuk pemilih di luar negeri) dapat digunakan pada pilpres, 8 Juli 2009. Putusan yang dijatuhkan beberapa jam setelah sidang pemeriksaan pendahuluan ini menjadi solusi dari polemik terkait adanya calon pemilih yang tak terdaftar di daftar pemilih tetap. Sejarah juga mencatat, putusan MK mengakhiri polemik tentang hasil Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Pada saat yang sama juga ada harapan Suhartoyo memimpin pembenahan yang lebih holistik di MK. Pasalnya, sebelum munculnya persoalan terkait putusan No 90/2023, pernah ada kasus lain yang cukup menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap lembaga itu. Pada 2011, Arsyad Sanusi mundur sebagai hakim konstitusi karena membiarkan anggota keluarganya berhubungan dengan pihak beperkara. Tahun 2013, Ketua MK saat itu, Akil Mochtar, ditangkap KPK. Awal 2017, hakim konstitusi Patrialis Akbar juga ditangkap KPK. Namun, pembenahan menyeluruh MK ini juga membutuhkan dukungan pihak lain. Terlebih kini pemerintah dan DPR sedang merevisi UU MK. Revisi itu mestinya menjadi momentum untuk memperkuat MK. Caranya, antara lain, dengan memperbaiki proses seleksi hakim konstitusi dan memperketat pengawasan di internal MK.
Akan tetapi, jangan sampai revisi UU MK itu semakin menyulitkan MK sebagai the guardian of constitution. Misalnya, dengan membuat batasan umur hakim konstitusi dengan tanpa argumen jelas, atau membuat hakim konstitusi bisa sewaktu-waktu dipanggil serta diberhentikan seperti yang dialami Aswanto beberapa waktu lalu. Harapan dan dukungan pada pembenahan di MK pun akhirnya menjadi salah satu ukuran penting komitmen kita terhadap demokrasi. Editor:
MARCELLUS HERNOWO
|
Kembali ke sebelumnya |