Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul PEMBERANTASAN KORUPSI : Saat Pimpinan KPK Tak Lagi Dibela... Berbagai aksi dilakukan koalisi masyarakat sipil setelah Ketua KPK Firli Bahuri ditetapkan tersangka dugaan pemerasan.
Tanggal 24 Nopember 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman 3
Kata Kunci
AKD - Komisi III
Isi Artikel

Sejumlah orang berbondong-bondong datang dengan membawa gerobak nasi goreng ke pelataran Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (23/11/2023) siang. Pada kaca gerobak itu tertempel poster bertuliskan, "Bermula dengan nasi goreng, kita akhiri dengan nasi goreng".

Tidak berapa lama, seorang pria yang mengenakan topeng bergambar wajah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPKFirli Bahuri, terlihat melayani seorang pembeli. Sang pembeli yang juga seorang pria mengenakan topeng bergambar wajah bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

 

Tak jauh dari gerobak itu terpajang papan ucapan bertuliskan, "Turut Berduka Cita, Pemberantas Korupsi kok Tersangka Korupsi?". Pada bagian bawah papan ucapan tertulis nama pengirim, yakni IM57+ Institute.

IM57+ Institute merupakan organisasi gerakan antikorupsi yang didirikan dan beranggotakan sejumlah mantan pegawai KPK. Mereka diberhentikan dari KPK karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan yang digelar KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.

Mantan Ketua KPK Abraham Samad mencukur rambutnya saat bersama para para mantan pimpinan, penyidik, dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tergabung dalam IM57+ Institute bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menggelar aksi damai di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta,  Kamis (23/11/2023).

KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO

Mantan Ketua KPK Abraham Samad mencukur rambutnya saat bersama para para mantan pimpinan, penyidik, dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tergabung dalam IM57+ Institute bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menggelar aksi damai di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023).

Bersama dengan sejumlah aktivis antikorupsi lain seperti Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan praktisi hukum, sejumlah aktivis IM57+ mendatangi gedung Merah Putih KPK untuk memotong tumpeng bersama sebagai wujud rasa syukur. Tak hanya itu, mereka juga menggelar aksi menggundul rambut. Di antara mereka terdapat pula mantan pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta mantan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo.

Beberapa kali mereka berteriak agar Firli segera ditangkap sambil mengepalkan tangan dan poster. “Kami datang memberikan semangat kepada pegawai KPK karena mereka sudah terbebaskan dari Ketua KPK yang kemarin sudah ditetapkan menjadi tersangka,” kata Yudi.

Firli memang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi oleh Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya pada Selasa (22/11/2023). Ia disangka memeras serta menerima gratifikasi dari Syahrul Yasin Limpo. Dokumen penukaran valuta asing senilai Rp 7 miliar menjadi salah satu bukti yang disita penyidik Polda Metro Jaya.

Adapun Syahrul Yasin Limpo telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan dan penerimaan gratifikasi di Kementerian Pertanian. Bedanya, Syahrul ditetapkan tersangka oleh KPK yang dipimpin Firli.

Bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo setelah menjalani pemeriksaan lanjutan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (23/11/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo setelah menjalani pemeriksaan lanjutan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (23/11/2023).

Rupanya penetapan Firli sebagai tersangka sudah dinanti, terutama oleh masyarakat sipil yang datang ke KPK itu. Mereka menganggap Firli sebagai sumber permasalahan yang ada di KPK. Dengan penetapan Firli sebagai tersangka, persoalan di tubuh lembaga antirasuah itu dinilai sedikit teratasi.

Mereka menilai marwah KPK yang didirikan untuk melawan rasuah, semakin turun. Apalagi setelah komisioner KPK, termasuk Firli, berkali-kali tersandung kasus dugaan pelanggaran etik. Dari menumpang helikopter milik perusahaan swasta untuk pulang kampung, hingga dugaan membocorkan dokumen penyelidikan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Terakhir, Firli dilaporkan melanggar etik karena bertemu dengan Syahrul. Foto pertemuannya dengan Syahrul di sebuah lapangan badminton juga beredar luas seiring dengan penyelidikan kasus dugaan pemerasan oleh Polda Metro Jaya. Kasus inilah yang kemudian mengantarkan Firli menjadi tersangka.

Berbanding terbalik

Penetapan Firli sebagai tersangka mengingatkan publik dengan kasus hukum yang menjerat Antasari Azhar, Ketua KPK yang diberhentikan dari jabatannya pada Oktober 2009, karena disangka terlibat perkara pembunuhan. Kasus itu berlanjut dengan kriminalisasi para pimpinan KPK lain, utamanya Chandra M Hamzah dan Bibit Waluyo. Keduanya dituduh menyalahgunakan wewenang dan pemerasan terkait kasus Pemimpin PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dan ditangani polisi.

(Dahulu) yang kita bela orang benar, kita tidak khawatir. Kalau sekarang dari awal bermasalah

Perseteruan antara KPK dan Polri itu kemudian dikenal dengan polemik Cicak vs Buaya. Ketika kasus tersebut bergulir, gelombang dukungan dari berbagai elemen masyarakat terus mengalir untuk KPK. Sejumlah tokoh bangsa datang ke KPK untuk memberikan dukungan, salah satunya Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dukungan juga datang dari semua pimpinan ormas Islam, tokoh agama, para rektor, dan akademisi.

Gelombang unjuk rasa digelar, tak hanya di Jakarta tetapi juga di banyak daerah. Tujuannya sama, mendukung KPK yang diasosiasikan sebagai cicak.

Mantan penyidik KPK Novel Baswedan mengungkapkan, masyarakat mendukung KPK ketika bekerja dengan benar dalam memberantas korupsi. Sebaliknya, ketika pimpinan maupun pegawai KPK berbuat jahat, maka orang menjadi marah.

Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan (kiri) dan mantan Ketua KPK Abraham Samad (kanan) turut hadir  bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menggelar aksi damai di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan (kiri) dan mantan Ketua KPK Abraham Samad (kanan) turut hadir bersama Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menggelar aksi damai di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023).

“Jadi, ketika orang hari ini marah dengan praktik korupsi yang dilakukan oleh pimpinan KPK, ini sebagai bentuk gambaran bahwa orang masih berharap KPK bisa bekerja dengan benar memberantas korupsi dan menggunakan KPK untuk berbuat kejahatan adalah pengkhianatan kepada kepentingan pemberantasan korupsi,” jelas Novel.

Sekretaris TII Danang Widoyoko menuturkan, dalam kasus “Cicak versus Buaya” itu terjadi kriminalisasi dengan direkayasa kasusnya. Mereka yang dikriminalisasi berintegritas sehingga dibela masyarakat dengan penuh semangat. “(Dahulu) yang kita bela orang benar, kita tidak khawatir. Kalau sekarang dari awal bermasalah,” kata Danang.

Menurut Danang, KPK saat ini telah jeblok. Itu terlihat dari menurunnya kasus yang ditangani dan berkurangnya operasi tangkap tangan. Selain itu juga persoalan integritas seperti bertemu dengan orang yang berperkara.

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, yang juga ikut dalam aksi syukuran di KPK, melihat perbedaan KPK dahulu dengan sekarang. Menurutnya, publik menyadari KPK dahulu dengan berbagai kekurangannya sungguh-sungguh memberantas korupsi. Sedangkan KPK saat ini dianggap menjadi alat untuk mengorupsi para koruptor. Buktinya, pimpinan KPK disangka memeras pihak yang tengah menjalani pemeriksaan di lembaga antirasuah.

 
 
Editor:
ANITA YOSSIHARA
  Kembali ke sebelumnya