Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul PERGURUAN TINGGI: Norma Kaum Terpelajar
Tanggal 25 Nopember 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman 6
Kata Kunci Perguruan Tinggi
AKD - Komisi X
Isi Artikel

Fakta menunjukkan keterpelajaran dan jabatan tinggi cenderung mengubah perilaku pemiliknya dan mengubah sikap moralnya.

 
 
Oleh:
ALBINER SIAGIAN
 

Ilustrasi

KOMPAS/HERYUNANTO

Ilustrasi

Belum lama ini, kalangan ilmuwan Indonesia dikejutkan oleh berita pencabutan jabatan akademik (bukan gelar) profesor seorang peneliti dan akademisi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Lebih kurang setahun sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menganugerahi peneliti tersebut jabatan profesor karena klaim capaiannya dinilai layak disetarakan dengan profesor atau guru besar.

Akan tetapi, dia hanya menyandang jabatan kebanggaan para akademisi itu selama satu tahun. Kemendikbudristek akhirnya mencabutnya. Alasannya, ia melakukan kecurangan (fraud).

Kasus kecurangan ini makin menambah panjang daftar perilaku tak terpuji oknum ilmuwan di Indonesia. Pada 2017, hal senada mencuat ke permukaan. Waktu itu, pelaku kecurangannya adalah seorang mahasiswa tingkat doktoral di salah satu universitas ternama di dunia, yaitu Technische Universiteit (TU) Delft, Belanda.

Yang menarik, sebelumnya khalayak telanjur memujinya sebagai salah seorang ilmuwan muda Indonesia yang hebat karena klaim prestasi akademiknya yang amat membanggakan. Bahkan, ada yang menjulukinya sebagai BJ Habibie masa depan. Konon, dia berhasil merancang wahana peluncur satelit (satellite launch vehicle) yang memenangi Kompetisi Agensi Antar-Luar Angkasa.

Klaim atas prestasi tersebut adalah bohong belaka. Dia melakukan pembohongan publik. Dia juga membohongi kalangan ilmuwan dan dunia ilmu pengetahuan.

Dia juga mengaku telah memiliki paten (suatu pengakuan atas temuan ilmiah) untuk teknologi pesawat angkasa luar. Amat mengagumkan! Karena sederet prestasinya itu, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda memberikan penghargaan kepadanya.

Akan tetapi, rupanya, semua itu hanyalah isapan jempol. Klaim atas prestasi tersebut adalah bohong belaka. Dia melakukan pembohongan publik. Dia juga membohongi kalangan ilmuwan dan dunia ilmu pengetahuan.

Setelah semua terkuak, dia akhirnya mengakui kebohongannya. KBRI di Belanda pun mencabut penghargaan yang sudah telanjur diberikan kepadanya.

Tak lama setelah kasus pencabutan jabatan profesor itu, seorang guru besar bidang hukum juga menjadi tersangka kasus perbuatan melawan hukum. Selain sebagai guru besar di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, dia juga seorang pejabat tinggi yang mengurusi hukum. Dia disangka menerima hadiah tak tulus (gratifikasi).

Tak berhenti di situ, baru-baru ini, seorang guru besar kehormatan diduga juga tersangkut paut dengan perbuatan tak terhormat. Masalahnya masih seputar korupsi. Setali tiga uang, keempat oknum di atas sudah telanjur dipuja- puji oleh masyarakat karena klaim prestasinya yang dinilai membanggakan.

Walaupun Kemendikbudristek tidak menjelaskan lebih jauh kecurangan yang dilakukan oknum tersebut, pencabutan jabatan akademik profesor itu adalah aib besar bagi seorang akademisi atau peneliti. Padahal, seperti halnya mahasiswa doktoral dan mahaguru yang penulis sebutkan di atas, dia sudah telanjur mendapat pengakuan dan pujian di Indonesia. Beberapa perguruan tinggi mendaulatnya sebagai pembicara atau pembantu profesor (adjunct professor).

https://cdn-assetd.kompas.id/S3m1IbO1A5fUnKDbEuIblvTq2K8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F16%2F603a4ac6-a911-4db0-9bd4-bc2455cff74e_jpg.jpg

Penodaan norma

Kasus kebohongan dan kecurangan di atas adalah bentuk penodaan terhadap norma kaum terpelajar. Keduanya makin menambah panjang daftar pelanggaran terhadap norma kaum terpelajar, setelah sederet kasus lain, mulai dari kasus perguruan tinggi bodong, ijazah bodong, obral gelar akademik, hingga penyalahgunaan wewenang.

Pertanyaannya adalah mengapa hal ini sering terjadi dan terulang kembali?

Salah satu jawabannya adalah banyak pihak yang mengaku ilmuwan, tetapi tidak memahami (menjiwai) prinsip keilmuan, dan oleh karena itu tidak menjunjung tinggi norma kaum terpelajar yang di dalamnya mereka bernaung.

Para ilmuwan (scientist) atau akademisi haruslah berperilaku ilmiah. Mereka tunduk pada kaidah atau prosedur ilmiah. Klaim atas temuan ilmiah haruslah melalui metode ilmiah (scientific method) yang oleh karena itu klaimnya juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Di pihak lain, dan ini yang amat penting, ilmuwan dan akademisi juga harus taat pada etika dan norma kaum terpelajar atau kaum ilmuwan. Kalau hal itu soal profesi, mereka harus tunduk pada etika atau norma profesinya.

Norma kaum terpelajar (norma komunitas ilmiah) adalah seperangkat norma dan nilai profesional yang harus diinternalisasi oleh ilmuwan atau akademisi ketika melakoni profesinya: mengajar, membimbing, atau meneliti.

Kasus kebohongan dan kecurangan di atas adalah bentuk penodaan terhadap norma kaum terpelajar.

Norma Merton

Menurut Prof Robert K Merton, sosiolog dari Universitas Columbia, Amerika Serikat, sebagai ilmuwan atau peneliti, mereka paling tidak harus mematuhi lima norma komunitas ilmiah, yaitu universalism, skepticism, disinterestedness, communalism, dan honesty.

Norma-norma ini, mengambil nama penggagasnya, disebut sebagai The Mertonian Norms of Scientific Community.

Universalisme bermakna bahwa dasar penilaian atas hasil penelitian haruslah semata-mata atas sumbangannya pada kemajuan ilmu pengetahuan, bukan atas siapa yang melakukan dan di mana penelitian itu dilakukan. Memang, pengalaman (track record) peneliti amatlah menentukan kualitas penelitiannya. Akan tetapi, hal itu bukanlah dasar utama bagi penilaian atas temuan penelitian.

Universalisme juga bermakna bebas prasangka dan ”kepentingan”. Kalaulah hasil penelitian, misalnya, membuktikan bahwa konsumsi daging merah berkorelasi positif dengan risiko penyakit kanker, temuan itu harus diterima sebagai temuan ilmiah walau itu akan merugikan peternak sapi potong.

Selain itu, ilmuwan juga harus berciri skeptis, tidak gampang percaya begitu saja. Wujudnya adalah ilmuwan harus kritis. Membiarkan kecurangan ilmiah berlaku adalah penyangkalan atas norma komunitas ilmiah.

Kemudian, ilmuwan harus bersikap netral atau tak berpihak (disinterestedness). Tak boleh melayani penelitian pesanan, misalnya, yang hasilnya sudah ditentukan sebelum penelitian dilakukan. Jika dilakukan, itu pengkhianatan terhadap norma kaum terpelajar.

Ciri berikutnya adalah komunalisme. Publik berhak mengetahui hasil penelitian. Oleh karena itu, hasil penelitian harus diberitahukan kepada publik atau ke komunitas ilmiah, apabila hal itu berkaitan dengan kepentingan publik. Temuan yang mengungkapkan, misalnya, bahwa konsumsi makanan berpewarna sintetik meningkatkan risiko kanker usus harus diinformasikan kepada publik, tidak boleh ditutup-tutupi.

https://cdn-assetd.kompas.id/TUrjq33rGmEJSgHtyKtlLcFuqIM=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F25%2F12747820-3b72-495f-bb43-b13703277144_jpg.jpg

Yang terakhir adalah kejujuran (honesty). Ini adalah soal integritas ilmiah (scientific integrity). Pelaku bohong, curang, atau menipu dapat dijuluki sebagai pelacur ilmiah atau pelacur akademik. Kalau ilmuwan berbohong, berlaku curang, atau menipu, itu dosa besar dalam komunitas kaum terpelajar. Integritas akademik dan ilmiahnya rapuh. Itu malapetaka dalam dunia ilmu pengetahuan.

Pada dasarnya, kaum terpelajar, baik yang amat terpelajar maupun yang amat sangat terpelajar, dan pejabat tinggi, sudahlah terhormat karena keterpelajaran dan jabatannya.

Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa keterpelajaran dan jabatan yang tinggi cenderung mengubah perilaku pemiliknya. Kehormatannya justru mengubah moralnya (honores mutant mores). Tamengnya adalah gila hormat dan ketamakan.

Albiner Siagian Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Rektor Institut Agama Kristen Negeri Tarutung

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
 
  Kembali ke sebelumnya