Judul | JASA GURU: Guru Belum Merdeka dalam Puisi Jokpin |
Tanggal | 26 Nopember 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi X |
Isi Artikel | Puisi-puisi Jokpin sejatinya sedang ”mengolok” guru. Satu pesan penting Jokpin: "kita tak akan bisa membayar jasa guru". Oleh:
ST KARTONO
Terkabar penyair Joko Pinurbo atau yang akrab disapa Jokpin tengah terbaring di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Kondisi Joko Pinurbo relatif stabil meski masih harus memakai alat bantu pernapasan (Kompas.id, 13/11/2023). Meskipun hanya dari balik kaca pembatas ruang perawatan intensif, penulis menyempatkan menengoknya di satu sore tempo hari. Dalam rangka Hari Guru Nasional pada 25 November tahun ini, penulis sebagai guru berkepentingan mengulik puisi-puisi Jokpin yang menyematkan kata ”guru”. Jokpin yang berlatar pendidikan keguruan di IKIP Sanata Dharma (kini Universitas Sanata Dharma), bahkan sempat menjadi pendidik untuk para calon guru di almamaternya itu, tentu fasih mengartikulasikan guru dengan segenap persoalannya. Puisi Jokpin, sebagai produk masyarakat, hanya dapat dimengerti kalau dikaitkan dengan masyarakatnya. Aristoteles menyebut bahwa sastra mencerminkan persoalan sosial yang ada dalam masyarakatnya. Pengarang yang memiliki taraf kepekaan tinggi, karya sastranya juga mencerminkan kritik sosial yang ada dalam masyarakatnya itu. Karya sastra merupakan hasil imajinasi seorang pengarang. Apa imajinasi Jokpin tentang guru dan keguruan, sebuah dunia yang digelutinya sebelum khusyuk menyair?
Baca Juga: Makna Padat dalam Puisi Singkat Joko Pinurbo Guru sejarahPersoalan guru macam apa yang dilihat Jokpin di masyarakatnya? Sepenggal bait pembuka puisi Jokpin ”Terkenang Celana Pak Guru” (1997) menyuratkan potret guru yang dia lihat. // Masih pagi sekali, Bapak guru sudah siap di kelas./ Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk,/ kemudian terkulai di atas meja./ Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk/ sambil mengucapkan, ”Selamat pagi, Pak Guru!”/ Bapak Guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya/ seakan mau mengatakan, ”Bapak sangat lelah.”// Tersurat dalam bait berikutnya, Jokpin menyebut pak guru dalam puisi tersebut adalah guru sejarah. Guru yang terkesan kelelahan, terkantuk-kantuk. Tersirat kritik akan pembelajaran yang dilakukan guru sejarah di kelas, yakni hafalkan nama dan peristiwa. Pembelajaran sejarah (barangkali hingga kini) yang tak kunjung mendatangkan daya tarik dan tidak pula menumbuhkan daya nalar para murid akan makna catatan masa lalu sebuah bangsa. Dalam kenangan Jokpin, guru sejarahnya begitu mudah hadir dalam imajinasinya untuk mewakili deskripsi sosok guru. // Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak Guru telah berjanji/ menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang/ di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya./ Kami baca di papan tulis: ”Baca halaman 10 dan seterusnya./ Hafalkan semua nama dan peristiwa.”//
Jika dalam puisi ”Terkenang Celana Pak Guru” tergambar guru sejarah yang terpuruk secara profesional, miskin dalam model pembelajaran, dan tidak diperhitungkan murid-muridnya, dalam puisi ”Dengan Kata Lain” (2004) ini tergambar guru sejarah yang terpuruk secara ekonomi. Guru sejarah dengan sambilan mengojek alias sebagai tukang ojek menunjukkan kebutuhan rupiah demi rupiah yang harus segera didapat saban hari. Setelah berselang tujuh tahun kemunculan antara dua puisi tersebut, terjawab penyebab kelelahan guru sejarah di kelas pagi hari, yakni sang guru mempunyai sambilan menarik ojek. // Tiba di stasiun kereta, aku langsung cari ojek./ Entah nasib baik, entah nasib buruk, aku mendapat/ tukang ojek yang, astaga, adalah guru Sejarah-ku dulu.// ... Nyaman sekali rasanya diantar pulang Pak Guru/ sampai tak terasa ojek sudah berhenti di depan rumah./ Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan./ Dasar sial. Belum sempat kubuka dompet, beliau/ sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja.// ... Tak ada angin tak ada hujan, Ayah tiba-tiba bangkit berdiri dan berseru padaku, ” Dengan kata lain,/ kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu!”// Murid-murid yang tergambar sukses secara hartawi dikontraskan dengan gurunya dalam perjumpaan mudik. Saat musim mudik, stasiun menjadi arena berburu rupiah bagi tukang ojek sesungguhnya ataupun tukang ojek sambilan yang dijalani para guru. Sampai-sampai sang murid pun ingin memberikan kejutan berupa bayaran yang lebih banyak. Dalam puisi ”Mudik” (2001), sang guru bekerja sambilan sebagai sopir taksi. // Mei tahun ini kusempatkan singgah ke rumah. / Seperti pesan Ayah, “Nenek rindu kamu. Pulanglah!”/... Begitu simpel dan sederhana sampai aku tak tahu/ butiran waktu sedang meleleh dari mataku./ ”Almarhum nenekmu kemarin masih sempat menumpang taksi ini,” ujar pak sopir yang pendiam itu, yang ternyata bekas guruku.// Guru bahasa IndonesiaSekitar 20 tahun setelah puisi ”Terkenang Celana Pak Guru” (1997) yang menarasikan guru sejarah, Jokpin memunculkan guru Bahasa Indonesia sebagai sosok untuk ”diledek”. Sejatinya Jokpin dididik di Jurusan Keguruan Bahasa Indonesia, bahkan istrinya pun aparatur sipil negara guru Bahasa Indonesia, dahulu adik kelasnya semasa kuliah. Kedekatan dan kelekatan dengan yang serba bahasa Indonesia inilah yang dimainkan oleh Jokpin. Frasa ”baik dan benar” lazim disematkan kepada praktik berbahasa Indonesia. Dalam pengelolaan kelas pun, para (calon) guru bahasa Indonesia diwanti-wanti ”berbahasa Indonesia dengan baik dan benar—bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan oleh guru bahasa Indonesia saat mengajarkan bahasa Indonesia”. Berbahasa Indonesia yang baik berarti sesuai konteks pemakaiannya, sedangkan berbahasa dengan benar merujuk pada ketaatan akan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Jokpin secara lincah menggeser imajinasi ”baik dan benar” hingga tersemat pada guru. Dalam puisi ”Keluarga Puisi” (2016), tanpa menyebut pelajarannya, pembaca akan mengasosiasi yang disemati sebagai baik dan benar kiranya guru bahasa Indonesia. //Aku mendapat tugas mengarang dengan tema/ keluarga bahagia. Semoga guruku yang baik/ dan benar dapat mengagumi karanganku.// Guru bahasa Indonesia pun masih harus berjuang agar mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar, masih harus belajar menulis walau mengajarkan mengarang, sehingga tidak mudah mengagumi karangan muridnya. Jamak dilakukan, para guru bahasa Indonesia ribet dengan urusan kesalahan ejaan dan tata-tulis, sampai melupakan memberikan perhatian pada unsur kreativitas dan imajinasi murid-muridnya. Baca Juga: Menatap Masa Depan Guru Guru bahasa Indonesia sejatinya berjasa membangun peradaban damai, tak membiarkan umpatan dengan nama binatang ketika bisa menggantikan dengan kata yang lain. Puisi berjudul ”M” (2016) menyuratkan itu, ... //”Cangkemmu adalah surgaku,” kata harimau./ Dan kata guru bahasamu, di dalam kata asem/ ada asu yang ditangkal tangan yang kalem.// Bahasa Indonesia yang baik dan benar telah menjadi mantra yang menakutkan. Guru yang ingin riang dan lucu pun tak kesampaian cita-citanya karena terkurung mantra harus taat asas. Puisi Jokpin ”Hari Pertama Sekolah” (2018) menyuratkan cita-cita guru bahasa Indonesia ketika berkelakar dengan murid-muridnya. //Hari pertama sekolah, aku langsung/ kelahi dengan teman sekelasku. Dia tanya/ apa cita-citaku. Aku jawab, ”Aku ingin jadi kenangan.” Dia bilang aku goblok sekali/ karena seharusnya cita-citaku jadi presiden./ Aku bilang, ”Kamu goblok dua kali.”/ Bu Guru yang baik dan benar tertawa tiga kali, lalu berseru, ”Aku ingin jadi/ bahasa Indonesia yang riang dan lucu.”// Jokpin mengidentifikasi guru sejarah sebagai sosok lelaki, bapak, atau pak, yang cocok sambilannya sebagai sopir taksi atau tukang ojek. Guru bahasa, guru yang baik dan benar, atau guru yang riang dan lucu adalah perempuan, ibu, atau bu. Memang senyatanya di kelas-kelas program studi pendidikan calon guru bahasa atau sekolah dasar yang penulis ampu berisi sepuluh lelaki dari lima puluhan total mahasiswa di setiap kelas. Guru masih terpurukMenemukan berbagai sosok ”guru” dalam puisi-puisi Jokpin tak bisa dilepaskan dari konteks waktu penciptaan puisi tersebut. Kenyataan yang dilahirkan oleh puisi adalah suatu kenyataan imajiner. Dalam melukiskan suatu kenyataan puisi, sang penyair mengambil bahannya dari realitas obyektif. Akibatnya, puisi tidak bisa dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari budaya atau peradaban yang telah menghasilkannya. Sapardi Djoko Damono menyarankan pentingnya menelaah puisi atau karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, budaya, atau peradaban yang menghasilkan. Atau, kenyataan sebuah puisi tak lain imitasi kenyataan masyarakatnya. Menjelang awal 2000-an, potret guru di negeri ini tidak mapan secara finansial, status sosial, dan posisi intelektualnya. Para guru masih tersaruk-saruk secara ekonomis. Wajarlah disebut Jokpin mengenai sosok guru sejarah atau guru-guru yang tidak mempunyai obyekan memberi les privat atau bimbingan belajar akan bekerja sambilan ngojek atau naksi. Meski demikian, seiring kehadiran pemberian tunjangan profesi kepada guru, meskipun belum merata, ternyata memunculkan potret guru yang tidak kunjung profesional dengan tugas-tugasnya di kelas. Baca Juga: Jalan Panjang Kesejahteraan Guru Mendikbudristek Nadiem Makarim di ujung 2019 menggelorakan kebijakan yang terkemas dalam Merdeka Belajar, salah satunya demi guru bebas berkreasi dalam mengoptimalkan potensi murid. Bagaimana para guru mesti membangun kemerdekaan belajar di kelas? Gurunya harus merdeka terlebih dahulu. Petuah Latin tersurat nemo dat quod non habet—tak seorang pun dapat memberi jika ia tidak mempunyai. Bagaimana mungkin guru mampu membangun antusiasme belajar murid, padahal sang guru selalu pesimistis dengan hidupnya; kapan guru akan merdeka, sementara dalam praktik kerjanya suka menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis? Jokpin lewat puisi-puisinya sejatinya sedang ”mengolok” guru apa pun dalam level mana pun meskipun meminjam guru sejarah dan guru bahasa Indonesia. Namun, masih ada hiburan kemuliaan dari Jokpin untuk para guru, ”kamu (siapa pun) tak akan pernah bisa membayar guru (mu)!” St Kartono, Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta Facebook: St Kartono DOKUMENTASI PRIBADI St Kartono Editor: YOVITA ARIKA
|
Kembali ke sebelumnya |