Judul | MAHKAMAH KONSTITUSI Pascaputusan MK, Laporan Pelanggaran Etik Bermunculan |
Tanggal | 19 Oktober 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 2 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi III |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS- Laporan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bermunculan sehari setelah mahkamah memutus uji materi syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Putusan itu dinilai sarat konflik kepentingan karena diduga dikeluarkan untuk memuluskan kerabat Anwar yang akan mengikuti pemilihan presiden. Selain itu, dalam pernyataan pendapat berbeda atau dissenting opinion putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, dua hakim konstitusi menyebut ada keanehan dan keganjilan dalam putusan tersebut. Mahkamah berubah sikap dalam hitungan hari setelah Anwar masuk dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Enam hakim yang awalnya menolak permohonan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk mengubah syarat usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi 35 tahun karena alasan open legal policy berkurang menjadi empat. Laporan dugaan pelanggaran etik oleh Anwar salah satunya disampaikan Pergerakan Advokat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) pada Rabu (18/10/2023). TPDI melaporkan Anwar telah melanggar etik dalam penanganan perkara 29-51-55-90-91-92/PUU-XXI/ 2023 ke Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Anwar diduga telah melanggar Pasal 17 Ayat (3), (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal tersebut intinya mengatur seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai. Selain itu, seorang hakim juga wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan pihak yang beperkara. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Para hakim Mahkamah Konstitusi meninggalkan ruangan sidang saat skorsing sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023). Petrus Selestinus dari TPDI dalam laporannya mengungkapkan, perkara 90 memiliki kepentingan untuk memperjuangkan Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan capres-cawapres 2024. Gibran yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Surakarta merupakan kemenakan dari istri Anwar. Sementara itu, untuk perkara 29 pihak pemohon pengujian pasal syarat usia minimal capres dan cawapres adalah PSI yang saat ini dipimpin Kaesang Pangarep, adik bungsu Gibran. ”Sehingga mau tidak mau dan suka tidak suka, hakim terlapor Anwar Usman dari sejak awal persidangan harus men-declare mundur dari seluruh persidangan perkara-perkara uji materi Pasal 169 Huruf q UU No 7/2017 tentang Pemilu, karena hakim terlapor berkepentingan,” kata Petrus. Sejumlah pakar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) juga berencana mengadukan Anwar Usman ke MKMK. Beberapa anggota CALS yang dihubungi menyatakan laporan tersebut hingga saat ini masih digodok. MK juga sebelumnya sudah menerima sejumlah laporan dugaan pelanggaran etik serupa, salah satunya diajukan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana Pembentukan MKMKHingga saat ini, MK belum juga membentuk MKMK. Karena itulah sejumlah warga negara, yakni Brahma Aryana, Rajab Ahirullah, dan Muhammad Khidmah Al Abrori, mengajukan keberatan kepada MK atas tidak dibentuknya MKMK. Melalui surat yang dikirimkan, Rabu kemarin, mereka mendesak agar MKMK segera dibentuk untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik berupa konflik kepentingan Ketua MK dalam perkara Nomor 90/2023.
Mereka menduga ada pelanggaran terhadap Deklarasi Hakim Konstitusi RI tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama), khususnya Prinsip Keberpihakan pada poin penerapan kelima. Disebutkan dalam poin tersebut bahwa hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan. ”Meminta kepada Yang Mulia Ketua Mahkamah untuk melakukan tindakan administratif berupa menerbitkan peraturan MK dan membentuk Mahkamah Kehormatan MK secara permanen,” demikian isi surat tersebut. Sementara itu, advokat Zico Leonardo Djagardo Simanjuntak mengajukan uji materi terhadap Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK yang mengatur mengenai pembentukan MKMK. Zico pun mendesak MK segera membentuk MKMK permanen selambat-lambatnya 7 x 24 jam setelah perkara 90 diputus. Perintah undang-undangMantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna saat dihubungi mengungkapkan secara tegas bahwa pembentukan MKMK secara permanen merupakan perintah Undang-Undang MK. Keberadaannya dalam waktu dekat dibutuhkan, setidaknya untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa hakim MK yang ada saat ini memang sesuai dan memenuhi syarat yang diatur di konstitusi. ANTARA FOTO/RIVAN AWAL LINGGA Kawat berduri terpasang di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (11/6/2019). Mahkamah Konstitusi akan mulai menggelar sidang pendahuluan sengketa hasil pilpres pada tanggal 14 Juni 2019 sedangkan jadwal sidang putusan akan digelar pada 28 Juni 2019. ”Kasus itu seharusnya menjadi pelajaran, dalam arti, kasus tersebut sebagai pengingat tentang perlunya secepatnya mendirikan MKMK. Masyarakat akan mendapatkan jaminan, setidak-tidaknya secara normatif karena perintah Pasal 24C Ayat 5 UUD 1945 menyebutkan hakim konstitusi adalah pribadi yang punya integritas tidak tercela, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,” kata Palguna. Ia menilai ada problem cacat akuntabilitas peradilan atau judicial accountability dalam perkara Nomor 90/2023. Padahal, independensi peradilan selalu menuntut adanya akuntabilitas. Tanpa adanya independensi, peradilan cenderung mudah disalahgunakan. Selain itu, menurut Palguna, masyarakat sama sekali tak mendapatkan gambaran mengapa MK tiba-tiba mengubah pendirian dari menolak menjadi mengabulkan permohonan uji materi syarat minimal usia capres dan cawapres. ”Hal yang paling mencengangkan buat saya itu adalah bagaimana MK mengubah pendirian yang menganggap usia itu open legal policy tiba-tiba menjadi bagian yang bisa dinilai konstitusionalitasnya dan menambahkan syarat pula. Conditionally unconstitutional,” kata dia. KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna MK, lanjutnya, memang bisa mengubah pendirian dan bahkan hal tersebut merupakan sesuatu yang biasa. Hanya saja ada kewajiban untuk menjelaskan mengapa pendirian berubah. Palguna mencontohkan Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat saat mengubah pendiriannya mengenai kasus pemisahan sekolah atas dasar warna kulit. Pada tahun 1894, MA Amerika Serikat menilai pemisahan sekolah berdasarkan warna kulit itu konstitusional sepanjang mendapat perlakuan yang sama. Namun, tahun 1954, pendirian MA Amerika Serikat berbalik 180 derajat. ”Apa yang membedakannya dengan MK. Kalau MA Amerika Serikat berbaliknya dalam waktu yang cukup lama, perlu waktu puluhan tahun yang artinya ada perubahan sosial yang luar biasa dalam kurun waktu tersebut. MA Amerika Serikat dengan gamblang menjelaskan ratio decidendi-nya dalam pertimbangan hukum mengapa mengubah pandangan hukumnya. Itu dijelaskan. Lah, ini (putusan 90) tidak,” ujarnya. Dalam dissenting opinion hakim konstitusi Saldi Isra, ada perubahan 180 derajat dalam putusan pengujian usia capres dari perkara 29-51-55/PUU- XXI/2023 ke perkara 90. Ia menyebutnya perubahan terjadi secara sekelebat. Menurut Palguna, MKMK bisa menguak lebih jauh apa yang terjadi dalam RPH dengan memanfaatkan dissenting opinion yang diajukan dua hakim konstitusi, Saldi Isra dan Arief Hidayat. Sebab, RPH bersifat rahasia dan hanya MKMK yang bisa membuka isi RPH tersebut. ”Tapi MKMK-nya belum ada,” keluhnya. KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM) Hakim konstitusi Eny Nurbaningsih (kiri) berbincang dengan hakim konstitusi Suhartono saat persidangan pembacaan keputusan terkait uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/5/2021). Juru bicara MK Enny Nurbaningsih saat dikonfirmasi mengungkapkan, masyarakat dapat menyampaikan laporan tersebut kepada MKMK. ”Karena adanya laporan itu akan mendorong segera dibentuk (MKMK),” ujarnya. Ia juga mengatakan bahwa MK sebenarnya sudah merencanakan untuk membentuk Majelis Kehormatan tersebut secara permanen. Berdasarkan informasi yang diterima Kompas, para hakim konstitusi sebenarnya sudah sepakat membentuk MKMK. Para hakim konstitusi juga telah sepakat menunjuk mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie dan Bintan R Saragih, yang pernah menjadi anggota Dewan Etik MK periode 2017-2020 sebagai ketua dan anggota permanen MKMK. Keputusan tersebut merupakan hasil rapat permusyawaratan hakim beberapa waktu lalu. Editor:
ANITA YOSSIHARA
|
Kembali ke sebelumnya |