Judul | PEMBERANTASAN KORUPSI : Menjaga Integritas Pimpinan KPK |
Tanggal | 02 Desember 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 17 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi III |
Isi Artikel | U na sola mentira destruye toda una reputacion de integridad (Satu kebohongan menghancurkan seluruh reputasi dalam integritas). Begitulah yang dituliskan Baltasar Gracian, filsuf sekaligus rohaniwan Katolik, dalam novelnya, El Criticon (1651-1657). Memulihkan integritas dan kepercayaan publik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menjadi tugas berat di pundak Nawawi Pomolango. Nawawi telah resmi menjabat sebagai ketua sementara KPK setelah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo dan telah mengucapkan sumpah jabatan pada Senin (27/11/2023). Nawawi menjadi pengganti sementara Firli Bahuri yang tersandung kasus dugaan pemerasan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Harapan terhadap pulihnya citra KPK menjadi wajar karena sejarah merekam bagaimana lembaga ini selalu mendapat dukungan dan perhatian publik. Apalagi, jauh sebelum Undang-Undang KPK direvisi, langkah lembaga antirasuah ini dalam memberantas korupsi membuat decak kagum publik. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari perjalanan KPK sejak berdiri pada 2002 hingga kini. Jumlah penindakan tindak pidana korupsi (TPK) mengalami tren peningkatan dari segi jumlah tindakan. Sementara untuk operasi tangkap tangan (OTT) sempat naik drastis, lalu perlahan menurun jumlahnya. Pada periode awal KPK yang dipimpin Taufiequrachman Ruki sepanjang 2003-2007, jumlah kasus korupsi yang diungkap mencapai 72 kasus dengan empat kali OTT. Pada periode awal ini sejumlah kasus besar dapat diungkap, seperti kasus korupsi pengadaan helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemerintah Provinsi Aceh pada 2004 hingga kasus penyuapan hakim MA. Kepemimpinan KPK kemudian berlanjut di era Antasari Azhar yang memimpin lembaga ini lebih kurang dua tahun (18 Desember 2007 hingga 11 Oktober 2009). Antasari diberhentikan dari posisinya karena menjadi terdakwa kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen dan kemudian divonis hukuman penjara selama 18 tahun pada Januari 2010. Pada periode Antasari inilah muncul kasus ”Cicak Vs Buaya” yang melahirkan ketegangan antara KPK dan Polri. Hal ini bermula dari isi penyadapan KPK terhadap Kabareskrim Polri kala itu, Komisaris Jenderal Susno Duadji, yang diduga terlibat pencairan dana Budi Sampoerna dalam kasus Bank Century. Susno yang pertama kali mencetuskan istilah ”cicak buaya” dalam sebuah wawancara di media. Ilustrasi yang diberikan Susno tersebut lalu menyulut reaksi keras publik terhadap Polri. Selepas Antasari, KPK dipimpin Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai ketua sementara KPK hingga 20 Desember 2010. Pada periode ini, KPK berhasil mengungkap 124 kasus TPK dan melakukan tujuh kali OTT. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan (kiri) dan mantan Ketua KPK Abraham Samad (kanan) turut hadir bersama mantan pimpinan, penyidik, dan pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute, bersama Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, dalam aksi damai di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023). Mereka menyikapi penetapan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan. Salah satu kasus besar yang diungkap adalah kasus penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar pada 2003 dan menjerat Aulia Pohan selaku bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia. Periode kepemimpinan KPK selanjutnya dijabat oleh Abraham Samad pada 16 Desember 2011 hingga 18 Februari 2015. Pada periode ini kembali lahir ketegangan antara Polri dan KPK. Antara lain terkait dengan penetapan tersangka terhadap Kepala Korps Lalu Lintas Polri kala itu, Inspektur Jenderal Djoko Susilo, pada 27 Juli 2012. Kasus ini kemudian dikenal sebagai ”Cicak Vs Buaya Jilid II”. Kasus ketegangan serupa terjadi pada 2015, yang kemudian dikenal sebagai ”Cicak Vs Buaya Jilid III”, yaitu terkait dengan penetapan tersangka oleh KPK terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang kemudian berimbas pada batalnya pencalonan Budi sebagai Kapolri kala itu. Kepemimpinan KPK kemudian berlanjut di era Agus Rahardjo (2015-2018). Periode ini dapat dikatakan sebagai fase menguatnya kinerja lembaga antirasuah dengan peningkatan jumlah kasus TPK dan OTT yang jauh lebih banyak dari sebelumnya. Terdapat 476 kasus TPK dan 71 kasus OTT yang dilakukan KPK dalam kurun waktu empat tahun. Era Firli Bahuri Pada akhir Desember 2019 tongkat estafet kepemimpinan KPK beralih kepada Firli Bahuri. Data terakhir mencatat, di era Firli ini jumlah pengungkapan TPK meningkat dari periode sebelumnya, tapi mengalami penurunan untuk kasus OTT. KPK berhasil mengungkap 551 kasus TPK, tetapi hanya melakukan 59 OTT. Jika dibandingkan dengan periode kepemimpinan KPK Agus Rahardjo, KPK rata-rata melakukan 18 OTT dalam kurun setahun. Di era Firli, KPK hanya melaksanakan rata-rata 11 OTT per tahun. Pada periode Firli ini, KPK kerap diterpa sorotan publik, seperti aksi Firli menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadi yang kemudian membuatnya mendapat teguran tertulis dari Dewan Pengawas KPK. Pada periode Firli pula salah satu unsur pimpinan KPK, Lili Pintauli Siregar, dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK karena diduga menerima gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Sebelum diperiksa Dewan Pengawas KPK, Lili mengundurkan diri dari KPK. Terakhir, saat ini Firli sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan yang dilaporkan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Firli melawan tudingan tersebut dan mengajukan gugatan praperadilan. Baca juga : Diperiksa 10 Jam, Firli Masih Belum Ditahan Integritas KPKDari perjalanan pimpinan KPK selama ini, kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi terasa ”diombang-ambingkan”. Ada masa ketika publik merasa bersimpati kepada pimpinan KPK yang tersandung kasus. Namun, adakalanya juga publik prihatin melihat Ketua KPK yang justru terjerat kasus dugaan pemerasan seperti yang dialami Firli. Kemerosotan KPK ini terjadi seiring dengan direvisinya Undang-Undang KPK dan dimasukkan dalam ranah eksekutif. Hal ini berlanjut dengan adanya kontroversi tes wawasan kebangsaan dan isu radikalisme yang menyingkirkan sejumlah pegawai KPK. Pada akhirnya, dihadapkan dengan persoalan nilai integritas, etika, dan moralitas, tugas Nawawi Pomolango tidaklah ringan. KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Firli Bahuri seusai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (1/12/2023). Firli diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Firli diperiksa selama sembilan jam. Mungkin saja, untuk saat ini, publik tidak dapat berharap muluk agar KPK kembali menunjukkan integritasnya. Penanganan kasus yang tidak berlarut atas Firli dapat menjadi langkah pertama untuk mengembalikan kepercayaan publik. Seperti yang dituliskan Baltasar Gracian, bahwa kebohongan akan menghancurkan seluruh reputasi dalam integritas, kini integritas KPK sedang dipertaruhkan. Janji Nawawi yang akan fokus memulihkan citra lembaga antirasuah ini di hadapan publik setelah dilantik Presiden tentu membawa harapan bagi publik. Membangun kembali reputasi KPK menjadi langkah awal agar lembaga ini mampu memulihkan kepercayaan publik yang terkoyak akibat melemahnya peran KPK belakangan ini. Tentu saja langkah awal membangun reputasi lembaga harus dimulai dengan memperkuat integritas pimpinan KPK. (LITBANG KOMPAS)
Editor:
YOHAN WAHYU
|
Kembali ke sebelumnya |