Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Dinilai Sarat Kepentingan Pemilu 2024, Revisi UU MK Diminta Dihentikan
Tanggal 27 Nopember 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman 3
Kata Kunci
AKD - Komisi III
Isi Artikel

JAKARTA, KOMPAS — Seruan agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan pembahasan revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi datang dari beberapa pihak. Pasalnya, revisi tersebut dinilai sarat dengan kepentingan politik jelang Pemilu 2024 ketika MK akan bertindak sebagai pemutus akhir perselisihan hasil pemilu.

Upaya revisi dinilai sebagai upaya untuk mengatur ulang komposisi hakim konstitusi agar sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Hal ini sangat berbahaya, tidak hanya untuk MK secara kelembagaan, tetapi juga untuk pemilu dan hasilnya yang akan tersandera.

Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan hal tersebut saat dihubungi, Senin (27/11/2023).

Seperti diketahui, Panitia Kerja Revisi UU MK Komisi III DPR dan pemerintah sedianya melanjutkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) pada Senin pagi, dilanjutkan rapat tim perumus/tim sinkronisasi RUU dengan tim pemerintah pada Senin siang. Namun, rapat pembahasan tersebut ditunda.

Zainal Arifin Mochtar

HTTP://KAGAMA.CO

Zainal Arifin Mochtar

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Supriansa, mengatakan, ada pemberitahuan dari pimpinan bahwa rapat pembahasan RUU MK ditunda. Saat ditanya mengenai alasan penundaan, Supriansa enggan menyampaikannya.

Ada sejumlah isu yang dibahas dalam revisi UU MK, yakni terkait masa jabatan hakim, usia hakim, dan penambahan wakil ketua MK.

Zainal mempertanyakan permainan politik yang tengah dimainkan oleh pemerintah dan DPR melalui revisi UU MK kali ini. Revisi tersebut dinilainya tidak pernah dilakukan untuk memperbaiki konstruksi kekuasaan kehakiman mengingat yang diubah selalu berkaitan dengan masa jabatan, usia minimal hakim MK, ataupun usia pensiun.

”Makanya, kami bertanya, what lies beneath? Kebohongan apa lagi yang ditawarkan pemerintah dan DPR dengan mengotak-atik begini. Apa, sih, yang mereka sembunyikan atau mereka mainkan?” tanya Zainal.

Hakim Konstitusi Suhartoyo (kiri) menandatangani surat keputusan saat dilantik menjadi Ketua Mahakamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028 di Gedung MK, Jakarta, Senin (13/11/2023). Suhartoyo menggantikan Anwar Usman menjadi Ketua MK.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Hakim Konstitusi Suhartoyo (kiri) menandatangani surat keputusan saat dilantik menjadi Ketua Mahakamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028 di Gedung MK, Jakarta, Senin (13/11/2023). Suhartoyo menggantikan Anwar Usman menjadi Ketua MK.

Ia menduga revisi keempat UU MK kali ini untuk mengatur kembali komposisi hakim MK demi kepentingan Pemilu 2024. Seperti diketahui, MK menjadi penentu akhir perselisihan hasil pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. ”Sepanjang selalu terkait kepentingan politik yang ada, proses seleksi dan konfirmasi-konfirmasi itu menjadi ajang kepentingan politik saja. Bukan ke soal fit and proper-nya orang itu,” kata Zainal yang meminta pemerintah dan DPR jujur dengan konfigurasi yang ingin mereka lakukan.

Dalam kaitannya dengan itu, lebih jauh Zainal menduga, revisi ini akan berdampak pada hakim-hakim MK. Hakim yang akan dipertahankan adalah hakim yang secara politik diterima elite-elite politik. Sebaliknya, hakim yang tidak dipertahankan adalah hakim yang memang ditolak secara politik. ”Artinya, penerimaan atau penolakan itu akan berbasis pada pola dukungan. Atau keinginan untuk menguasai para hakim itu di kontestasi 2024,” tuturnya.

Dalam kondisi ini, ia merasa bahwa revisi UU MK tersebut sangat berbahaya bagi pemilu dan hasilnya ke depan. Tak saja berbahaya untuk MK secara kelembagaan, tetapi juga pemilu dan hasilnya menjadi tersandera.

Revisi UU MK terakhir dilakukan pada 2020. Saat itu, DPR dan pemerintah menyepakati untuk mengubah masa jabatan hakim konstitusi yang semula diatur berdasarkan periodisasi lima tahunan menjadi pensiun pada usia 70 tahun atau maksimal menjabat selama 15 tahun. DPR dan pemerintah juga mengubah usia minimal hakim konstitusi dari semula 47 tahun menjadi 55 tahun. Semua hakim konstitusi yang menjabat saat itu dianggap memenuhi syarat dan akan mengakhiri masa jabatannya di usia 70 tahun.

Para jurnalis menanti dimulainya sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para jurnalis menanti dimulainya sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Pasal itu sempat diuji ke MK dan pada putusannya MK menyatakan hal itu perlu ada konfirmasi berupa pemberitahuan kepada lembaga pengusul. Saat MK menyurati DPR terkait konfirmasi/pemberitahuan itu, DPR kemudian memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah.

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Bali, Jimmy Z Usfunan, juga melontarkan kritik yang serupa dengan Zainal. Menurut dia, tidak ada urgensi UU MK direvisi di masa-masa ini. Apalagi, revisi UU MK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2023.

Pihaknya bisa memahami apabila materi revisi berkenaan dengan hukum acara MK, pengaturan konflik kepentingan untuk hakim MK, mekanisme pemberhentian hakim konstitusi yang terlibat konflik kepentingan, dan sejenisnya.

Ia meminta pemerintah dan DPR menunda revisi hingga pascapemilu. Jadi, revisi tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur oleh UU Peraturan Perundang-undangan baru yang mensyaratkan partisipasi publik yang bermakna.

Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/7/2019).

KOMPAS/INGKI RINALDI

Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/7/2019).

Revisi Undang-Undang MK menjadi salah satu yang dibahas Tim Percepatan Reformasi Hukum, khususnya Pokja Reformasi Pengadilan dan Penegakan Hukum. Dalam salah satu subbahasan terkait independensi peradilan, tim mengungkap bahwa independensi itu terkait dengan anggaran dan kepastian masa jabatan.

Tim juga menyinggung tentang revisi UU MK yang akan mengatur periodisasi hakim konstitusi, yakni hanya menjabat lima tahun dan dapat dipilih kembali jika lolos evaluasi serta gagasan meningkatkan batas usia minimum dari 55 tahun menjadi 60 tahun. Menurut Tim Percepatan Reformasi Hukum, hal itu akan memperlemah independensi hakim konstitusi.

”Usulan tersebut, utamanya pengaturan batas usia yang bersifat retroaktif, jelas bertentangan dengan Butir 20-21 Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region,” demikian kajian dan rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum.

 
Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO
  Kembali ke sebelumnya