Judul | Reorientasi Kebijakan Pengendalian Iklim |
Tanggal | 12 Januari 2024 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 7 |
Kata Kunci | Perubahan Iklim |
AKD |
- Komisi VII |
Isi Artikel | Pemerintahan pasca-Pemilu 2024 perlu meneruskan, juga meningkatkan, keberhasilan mitigasi dan adaptasi di sektor lahan. Oleh DANIEL MURDIYARSO Konferensi Perubahan Iklim Ke-28 atau 28th Conference of the Parties yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab, di pengujung tahun 2023, menyisakan banyak ketidakpastian, terutama yang terkait dengan phasing out energi berbasis bahan bakar fosil. Karbon sudah menjadi komoditas atau barang dagangan yang erat hubungannya dengan gaya hidup dan rentan politisasi. Jadi, tidak heran kalau pertemuan semacam Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) menjadi ajang tawar-menawar bak dagang sapi dan hanya pedagang besar yang memiliki posisi tawar yang baik. Bagi kebanyakan anggota COP, cara paling jitu untuk meningkatkan posisi tawar adalah meningkatkan kualitas karbon. Artinya, kredit karbon memiliki kredibilitas yang tinggi, baik secara teknis maupun sosial, sehingga mereka memiliki peluang untuk memasang banderol atau harga jual tinggi. Di samping itu, sudah saatnya kita membaca perilaku pasar, termasuk posisi setiap pihak di COP. Solusi berbasis alamDi antara sederet solusi mitigasi perubahan iklim dikenal solusi yang berbasis alam. Artinya, alam dan sumber daya yang terdapat di dalamnya diusahakan agar tidak menjadi sumber (sources) emisi gas rumah kaca (GRK), bahkan menjadi rosot (sinks) GRK yang konsentrasinya di atmosfer semakin meningkat. Ciri-ciri kredit karbon berbasis alam berkualitas tinggi adalah ketika proyek dapat membuktikan bahwa ”kebocoran” dapat diatasi. Hal ini ditunjukkan secara jelas dan transparan melalui kerangka transparansi (enhanced transparency framework) yang akan diberlakukan secara global. Proyek juga harus dirancang dan dilaksanakan secara transparan dan didukung oleh masyarakat—agar tak melanggar hak asasi mereka—dan menjaga biodiversitas andalan masyarakat lokal. Yang disebut terakhir itu sebenarnya bukan urusan Konvensi Perubahan Iklim, melainkan memang demikian kenyataan di pasar sukarela (voluntary markets). Implementasi mekanisme pasar sukarela sudah banyak dilakukan di negara berkembang. Sektor lahan membuka banyak kesempatan bagi pengembang dan investor untuk bekerja sama dengan pemilik (host), baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat sipil. Nilai atau harga karbon per satuan massa biasanya sangat rendah, yakni tidak lebih dari 5 dollar AS per ton CO2. Praktik ini harus disudahi, termasuk oleh Indonesia yang sudah banyak belajar dan memiliki kapasitas yang cukup untuk menghasilkan karbon berkualitas tinggi. Indonesia harus menjual mahal di pasar bebas untuk mereka yang ingin menurunkan emisinya sebagai kewajiban (compliance markets). Mekanisme dan infrastruktur pasar karbon (carbon exchange) yang sudah dibangun harus segera dimanfaatkan di tengah hiruk-pikuk pemilu. Karbon berbasis alam sangat rentan dari kebocoran (leakage) atau ”kerusakan”, tetapi dapat memberikan keuntungan sampingan (co-benefit) yang besar. Menghasilkan kredit karbon dari sektor lahan, apalagi berkualitas tinggi, bukan urusan yang gampang dan murah. Karena itu, harga jual karbon berbasis alam juga harus mahal. Sains memberi cukup alasan untuk memasang banderol 25-30 dollar AS per ton CO2. Sektor energiJalan buntu dan hambatan besar menuju target emisi nol (zero emission target) yang dialami dalam COP28 Dubai adalah sektor energi yang merupakan kontributor utama. Negara-negara industri dan produsen energi berbasis bahan bakar fosil (BBF), termasuk tuan rumah, masih berusaha mengulur-ulur waktu. Dengan alasan tersebut, negara berkembang yang sudah siap sebenarnya bisa ”jual mahal” dan piawai dalam memanfaatkan kesempatan yang berharga ini. Apalagi Amerika Serikat (AS) yang belum siap menurunkan emisi dari sektor energi sedang mengganjal Uni Eropa dengan membeli waktu (buying the time). AS sedang mempromosikan pasar sukarela, khususnya untuk kredit karbon berbasis alam, dan ini yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia. Mengingat ketergantungan subsektor-transportasi dan pembangkit listrik pada BBF, khususnya batubara, yang masih sangat tinggi, Indonesia harus bekerja ekstra keras di sektor energi. Pelaku pasar karbon domestik, seperti PLN, Pertamina, dan kalangan swasta, dapat membangun kemitraan di pasar primer sebelum Indonesia melangkah ke luar dan bersaing dalam memperdagangkan kredit karbon di pasar sekunder yang nilainya lebih tinggi. Kebijakan energi yang terpadu dengan pengendalian iklim memerlukan infrastruktur baru agar penurunan emisi yang dirumuskan dalam ketentuan kontribusi nasional (nationally determined contribution, NDC) tidak mengorbankan pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), termasuk pertumbuhan ekonomi 5-6 persen. PeralihanPenyelenggara negara pasca-Pemilu 2024 perlu meneruskan, bahkan meningkatkan, keberhasilan mitigasi dan adaptasi di sektor lahan. Sektor energi yang masih tertinggal memerlukan penguatan melalui pengembangan kerangka peraturan dan kelembagaan yang langsung menangani isu perubahan iklim yang terkait dengan kebijakan energi nasional. Keduanya perlu ditangani secara terpadu dalam infrastruktur kabinet yang baru. Kementerian yang menangani kehutanan dapat berkonsentrasi dan kembali mengurus hutan produksi dan rantai pasok industri hasil hutan serta perhutanan sosial yang menjadi bagian integral untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Konflik kepentingan pembangunan untuk merebut kembali kejayaan industri dari hasil hutan dan konservasi kawasan esensial yang sensitif terhadap perubahan dapat dihindarkan. Dengan demikian, kita tak akan mendengar lagi istilah alih fungsi lahan yang selama ini secara legal sudah menghabiskan puluhan atau belasan juta hektar kawasan hutan. Sementara itu, kementerian yang menangani isu iklim dan energi akan menjadi wali (custodian) yang menjaga sektor lahan yang masuk dalam kategori kawasan konservasi yang memiliki cadangan karbon dan biodiversitas berkualitas tinggi, termasuk gambut dan mangrove. Kebijakan dan praktik penurunan emisi melalui sektor ini dapat diteruskan dan ditingkatkan. Sementara itu, infrastruktur baru ini harus diberi mandat untuk meningkatkan porsi energi baru dan energi terbarukan dalam bauran energi yang masih didominasi BBF. Indonesia Emas di tahun 2045 akan memiliki industri yang menghasilkan devisa (revenue) tinggi dan energi bersih yang tidak membebani pertumbuhan ekonomi karena semuanya berbasis sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Sumber daya alam yang terjaga menjadi aset lestari untuk diwariskan kepada generasi mendatang karena tidak dijadikan basis pembangunan lagi. |
Kembali ke sebelumnya |