Judul | PERGURUAN TINGGI: Matinya Peringkat Global Perguruan Tinggi |
Tanggal | 10 Januari 2024 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 7 |
Kata Kunci | Perguruan Tinggi |
AKD |
- Komisi X |
Isi Artikel | Ketimbang mengejar peringkat, PT lebih dituntut kembali ke tujuan utama adanya PT, yakni mencerdaskan masyarakat. Oleh:
BS KUSBIANTORO
KOMPAS/HERYUNANTO Ilustrasi Berita tentang peringkat perguruan tinggi tak pernah sepi. Misal, berita tentang perguruan tinggi terbaik Indonesia versi QS, THE, Webometrics, dan banyak lainnya. Di sisi lain, beberapa perguruan tinggi (PT) terkemuka di luar negeri justru mulai keluar dari lembaga pemeringkatan PT. Seperti terjadinya serangkaian peristiwa keluarnya PT terkemuka Amerika dari US News Ranking. Dimulai tahun 2022 oleh Yale Law School dan Harvard Law School, diikuti University of California Berkeley dan medical school dari Harvard, Stanford, Columbia, dan University of Pennsylvania. Bahkan, Reed College keluar sejak 1995. Kecenderungan serupa juga terjadi di China, seperti Renmin, Nanjing, dan Lanzhou University yang menarik diri dari lembaga pemeringkatan luar negeri (Chris Brink, 2023). Demikian juga di Belanda, misalnya Utrech University memilih untuk tak muncul di THE ranking (NL Times, 6/10/2023), PT riset terkemuka di Korsel juga memboikot QS (South Korea Global, 4/7/2023).
Rentan masalahKeluarnya berbagai PT terkemuka itu berdasarkan berbagai pertimbangan kritis, antara lain kritik secara akademik terhadap transparansi dan metodologi lembaga pemeringkatan PT yang dinilai subyektif. Kritik secara kelembagaan adalah masuknya lembaga pemeringkatan ke ranah wilayah otonomi PT, misal ”pemaksaan” terhadap sistem nilai tertentu. Kritik secara teknis adalah banyaknya waktu dan biaya untuk penyiapan kelengkapan data yang dibutuhkan lembaga pemeringkatan. Selama lebih dari 20 tahun, lembaga pemeringkatan PT tumbuh subur sebagai industri bisnis global. Lembaga ini menjadi penyusun sistem peringkat sekaligus sebagai penilai, konsultan, dan banyak lagi.
Selama waktu itu, dunia PT ikut terhanyut dalam ”euforia peringkat” bersama masyarakat umum lain. PT dengan peringkat tinggi ”tergoda” untuk memanfaatkan citra peringkat tinggi itu. Sebaliknya, PT dengan peringkat kurang baik ”enggan” melakukan kritik. Selama ini, dunia PT dalam dilema pertimbangan kritis dan pragmatis. Pertimbangan kritis selama ini ”kalah” oleh pertimbangan pragmatis, antara lain demi marketing terkait masyarakat yang masih melihat peringkat dalam memilih PT. Demikian juga hibah dan sejenisnya masih terkait dengan pertimbangan peringkat PT. Apakah keluarnya beberapa PT terkemuka itu merupakan akhir dari lembaga pemeringkatan, hal itu masih merupakan tanda tanya. Lepas dari masa depan lembaga pemeringkatan dunia, menjadikan peringkat sebagai tujuan utama rentan bermasalah. Sebagai contoh adanya Columbia Scandal, yakni terbongkarnya ”pembohongan” Columbia University selama bertahun-tahun merekayasa data demi peringkat (The Guardian Weekly, 16/9/2021). Contoh lain, demi peringkat, rektor Chicago University secara ”terencana” berupaya meningkatkan pendaftar dari 9.100 (2006) menjadi 34.600 (2020) dan rasio tingkat penerimaan mahasiswa baru (acceptance rate) melejit dari 40 persen menjadi 6 persen. Rekayasa itu memperoleh tanggapan negatif, terutama dari para ”sesepuh” penjaga nilai (old guard) universitas (Colin Diver, 2022). Demi peringkat, PT rentan melakukan rekayasa dan rekayasa itu rentan bertentangan dengan nilai luhur pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat. Kecenderungan peningkatan peringkat sebagai tujuan utama lembaga pendidikan juga rentan bermasalah bagi PT yang beragam. Misal, QS-2023 memakai enam kriteria dan QS-2024 menambah tiga kriteria. Dinamika ini memberikan dampak berbeda, bahkan bertentangan bagi PT yang beragam. Contoh, Indian Institute of Science yang peringkat pertama di India anjlok 70 peringkat dari 155 (QS-2023) menjadi 225 (QS-2024). Sebaliknya, Indian Institute of Technology Bombay, yang peringkat kedua PT di India, meloncat 23 peringkat dari 172 menjadi 149. Dinamika QS itu juga memberikan dampak berbeda bagi PT terkemuka 100 besar QS-2023. Misal, enam PT di Korsel dan enam PT di China, semua turun peringkat. PT di Korsel dari 29-99 menjadi 41-145 dan di China dari 12-94 menjadi 17-137. Sebaliknya, enam dari tujuh PT di Australia naik peringkat dari 33-90 ke 14-72. Dalam kurun waktu setahun, apakah dimungkinkan PT mendadak jadi lebih baik atau mendadak jadi lebih buruk? Demikian juga pertanyaan serupa terkait dampak yang berbeda bagi PT di negara yang berbeda. Berdasarkan pertanyaan ini dan contoh keluarnya beberapa PT terkemuka di atas, lepas dari apakah lembaga pemeringkatan masih berpengaruh atau tidak, menjadikan peringkat tujuan utama rentan bermasalah. Antara lain, apakah PT rentan kehilangan arah terseret dinamika sistem peringkat yang memberikan dampak yang berbeda dan bertentangan bagi PT yang beragam? Apakah PT rentan kehilangan jati dirinya dengan metodologi dan sistem nilai lembaga pemeringkatan yang bertentangan dengan sistem nilai PT? Apakah PT juga habis energi dan biaya dalam rangka penyiapan berbagai data yang dibutuhkan lembaga pemeringkatan dengan dinamikanya.
Tujuan PTBerdasarkan berbagai kerentanan masalah di atas, ketimbang mengejar peringkat, PT lebih dituntut kembali ke tujuan utama adanya PT, yakni mencerdaskan masyarakat, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, ”memanusiakan” masyarakat. Masyarakat Indonesia sangat beragam. Masalah dan potensi SDA-SDM dari Sabang sampai Merauke sangat beragam. Masalah dan potensi masyarakat itu juga sangat dinamis. Misal, masyarakat lokal 3T (tertinggal, terdepan, terluar) rentan terpinggirkan dengan adanya pembangunan baru di wilayah 3T dengan pekerja pendatang. Industri dan pekerja ”mapan” di wilayah tertentu juga rentan terdisrupsi di era industri 4.0. Di sisi lain, PT juga sangat beragam, mulai dari beragamnya visi-misi sampai beragamnya sumber daya pendukung yang dimiliki. Misal, ada PT yang ingin unggul di bidang teknologi, ada yang di bidang sosial-budaya; ada PT yang baru mampu berkontribusi di tingkat lokal, ada yang sudah mampu di tingkat nasional. Dengan berbagai keberagaman itu, apakah PT dituntut untuk menjadi jati dirinya sendiri serta untuk lebih bisa memanusiakan masyarakat yang sangat beragam dan dinamis? Apakah arah kebijakan pendidikan tinggi pasca-era Jokowi dituntut untuk menjadikan peringkat PT terbatas sebagai peta posisi Indonesia di tataran global, serta untuk lebih mendorong dan memfasilitasi PT yang sangat beragam menjadi jati dirinya sendiri dan bisa lebih baik dalam memanusiakan masyarakat? Untuk memanusiakan masyarakat yang sangat beragam dan dinamis? Semoga. Baca juga: Universitas Kelas Dunia Bukan Sekadar Peringkat BS Kusbiantoro, Ketua Pengurus Yayasan Universitas Parahiyangan (1998-2008; 2010-2021) Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
|
Kembali ke sebelumnya |