Judul | Rasionalitas Pemilih Pemula |
Tanggal | 23 Januari 2024 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Pemilihan Umum |
AKD |
- Komisi II |
Isi Artikel | Pilihan politik pemilih pemula banyak dipengaruhi orangtua. Ini jadi cerminan masyarakat yang dipenuhi pemilih emosional Pemilih pemula, yang sebagian besar termasuk generasi Z, sering dicap ahistoris dan suka gimik. Pilihan mereka dianggap tidak mencerminkan rasionalitas pemilih. Nyatanya, sebagian besar pilihan mereka justru dipengaruhi orangtua dan orang di sekitarnya. Sementara pilihan politik sebagian besar orang Indonesia masih didorong oleh emosi. Proses transisi demografi yang ditandai makin menurunnya persentase penduduk muda dan bertambahnya penduduk tua turut memengaruhi porsi pemilih pemula dalam pemilu. Semasa Pemilu 2004, diperkirakan ada 16,4 persen pemilih pemula dan turun menjadi 13,2 persen pada 2023. Namun, karena jumlah potensi pemilih terus naik, jumlahnya masih sedikit membesar. Peneliti demografi dan Kepala Institute of Advanced Studies in Economics and Business Universitas Indonesia (UI), Turro S Wongkaren, dalam diskusi bulanan Lembaga Demografi (LD) UI, Selasa (16/1/2024), mengatakan, pendekatan demografi dalam politik di Indonesia memang masih sangat terbatas, umumnya hanya tentang usia atau jenis kelamin. Baca juga: Antusiasme dan Kehati-hatian Pemilih Pemula Tentukan Jagoan ”Jumlah pemilih pemula memang tidak terlalu besar. Karena itu, jika sumber daya terbatas, maka perlu benar-benar memperhatikan nilai dan manfaatnya jika ingin menyasar mereka,” katanya. Pemilih pemula adalah orang yang baru pertama kali memilih, baik karena baru menginjak umur 17-22 tahun maupun sudah menikah. Namun, data pemilih Pemilu 2024 yang dipublikasikan Komisi Pemilihan Umum mengelompokkannya berdasar generasi. Meski ramai digunakan di Indonesia, pengelompokan generasi ini disusun berdasar sejarah politik Amerika Serikat yang berbeda dengan Indonesia. Dalam Pemilu 2024, jumlah generasi Z mencapai 22,85 persen atau sekitar 46,8 juta orang. Generasi ini lahir antara 1997 dan 2012 atau saat ini berumur 11-26 tahun. Karena itu, sebagian gen Z sudah memiliki hak pilih pada Pemilu 2019, bahkan bisa jadi pada Pemilu 2014 karena menikah dini. Untuk itu, definisi pemilih pemula dibatasi hanya yang berumur 17-22 tahun saja. Dalam psikologi, umur pemilih pemula masuk dalam tahap perkembangan remaja akhir (17-18 tahun) dan beranjak dewasa atau emerging adult (19-22 tahun). Dalam pengelompokan lama, usia 19-25 tahun sering disebut sebagai dewasa muda. Namun, perkembangan zaman membuat usia ini sekarang belum dianggap dewasa, tetapi juga bukan remaja sehingga disebut beranjak dewasa. Di tahap ini, seorang anak muda, apa pun generasinya, umumnya sedang dalam tahapan hidup untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, mulai bekerja, ada yang dipecat dari pekerjaan, hingga membangun hubungan romantis sampai menikah dan punya anak. Di masa ini, mereka juga akan melakukan banyak eksperimen untuk menemukan identitas mereka. Pada tahap perkembangan ini, anak muda juga gemar melakukan eksperimen dengan mencoba berbagai cara dan banyak hal yang bisa jadi berbeda dengan karakternya sebelumnya. Mereka juga banyak dikritik atau dipandang sebelah mata oleh generasi sebelumnya, mengalami konflik dengan orang sekitar, dan mencoba mengatasi berbagai tantangan hidup yang bisa jadi berhasil atau gagal.
Hal yang membedakan generasi Z dan generasi sebelumnya pada masa remaja akhir dan beranjak dewasa adalah gen Z hidup dalam era dengan penggunaan internet tinggi. Hidup mereka lebih banyak dihabiskan secara daring daripada luring, terutama lewat media sosial. Di dunia maya itu, mereka bisa menemukan apa pun, mulai dari pendidikan, hiburan, pertemanan, kelompok seminat, hingga hal-hal negatif mulai dari hoaks, perundungan, judi, sampai pornografi. Mudah terpengaruhProses pencarian jati diri semasa remaja akhir dan beranjak dewasa itu, menurut peneliti adjunct LD UI yang juga dosen Fakultas Psikologi UI, Alfindra Primaldhi, akan membentuk nilai, identitas, sikap, dan kepribadian mereka yang pada ujungnya akan memengaruhi perilaku politiknya, termasuk dalam memilih capres-cawapres. Namun, pemilih pemula tidak hidup di ruang kosong yang terbebas dari perilaku kolektif masyarakat sekitarnya. Identitas mereka akan terbangun dari kedekatan dan interaksinya dengan kelompok masyarakat di sekelilingnya. ”Mereka memang baru akan memilih dalam pemilu sekarang, tetapi bukan berarti mereka tidak memiliki pengalaman politik sebelumnya,” katanya. KOMPAS/RADITYA HELABUMI Proses perekaman data untuk pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) di SMA Strada Santo Thomas Aquino, Kota Tangerang, Banten, Senin (13/11/2023). Pembuatan KTP-el untuk pemilih pemula oleh Dinas Dukcapil Kota Tangerang tersebut merupakan rangkaian sosialisasi dan Kirab Pemilu 2024 yang diselenggarakan KPU Kota Tangerang ke sejumlah sekolah. Meski baru akan memilih dalam pemilu 14 Februari nanti, pemilih pemula sejatinya telah memiliki pengetahuan politik dan respons afeksi atau perasaannya. Mereka umumnya sudah memiliki sikap politik terhadap seseorang, partai, kebijakan pemerintah, pandangan politik, hingga demokratisasi dan penyelenggaraan pemilu. Terlebih, usia remaja dan beranjak dewasa adalah periode di mana seseorang sangat mudah dipengaruhi, khususnya terkait politik. Karena itu, di usia inilah berbagai ideologi dan pandangan politik mudah ditanamkan kepada anak muda, mulai dari konservatisme, liberalisme, hingga ekstremisme dan radikalisme. Tak hanya itu, studi di Inggris selama 40 tahun terakhir juga konsisten menunjukkan bahwa perilaku politik anak muda sangat dipengaruhi oleh orangtua atau latar belakang keluarga mereka. ”Status sosio-ekonomi dan keterlibatan politik orangtua memberi pengaruh kuat terhadap keterlibatan politik anak mereka,” ujar Alfindra. Baca juga: Pemilih Muda, Penentu Masa Depan Pemilu 2024? Pemilih muda yang berasal dari keluarga menengah atas lebih tertarik terhadap isu politik dibandingkan mereka yang berasal kelompok ekonomi di bawahnya. Status ekonomi orangtua tidak hanya menentukan capaian pendidikan anak, tetapi juga memengaruhi pilihan sekolahnya, lingkup pertemanan mereka, hingga preferensinya terhadap segala hal. Iklan
”Jika pemilih muda berasal dari keluarga yang memiliki minat terhadap isu-isu politik, minat pemilih pemula ini terhadap politik semakin kuat pula,” tambahnya.
Studi mandiri yang dilakukan Alfindra pada September 2023 juga membuktikan hal itu. Survei yang dilakukan menunjukkan pilihan gen Z terhadap capres-cawapres tertentu sebanyak 27 persen dipengaruhi pilihan bapaknya dan 20 persen oleh pilihan ibu. KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN Siswa memegang surat suara calon ketua OSIS di SMA 1 Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (27/9/2023). Komisi Pemilihan Umum (KPU) Karanganyar bekerja sama dengan sejumlah sekolah di Karanganyar menggelar program Milkoi (Milih Ketua OSIS) 2023. Program ini merupakan upaya KPU mengenalkan tata cara pemilihan umum kepada siswa, khususnya pemilih pemula. Pengaruh pilihan sahabat, senior, hingga teman satu hobi secara berurutan menyumbang peran 13 persen, 6 persen, dan 6 persen. Pilihan istri atau suami memengaruhi sebesar 9 persen dan kakak 4 persen. Pandangan teman satu kerja hingga arahan RT/RW atau lurah sama-sama memengaruhi sebesar 4 persen. Selain itu, meski internet tidak bisa dipisahkan dari kehidupan gen Z, nyatanya isu-isu yang menjadi perhatian mereka dan perlu menjadi prioritas pemerintah sama saja dengan yang diinginkan generasi baby boomer yang kini berumur lebih dari 60 tahun. Aspirasi pemilih pemula dan pemilih yang sangat berpengalaman nyatanya hampir sama. Lima hal besar yang menjadi perhatian gen Z adalah soal kesehatan, lapangan kerja, kebutuhan pokok, sumber daya manusia, dan teknologi. Sementara pada kakek-nenek mereka yang menjadi generasi baby boomer, lima hal yang menjadi perhatian adalah isu kebutuhan pokok, teknologi, lapangan kerja, kesehatan, dan subsidi. Baca juga: Membaca Perilaku Pemilih Muda ”Tidak ada perbedaan spektakuler antara harapan pemilih muda dan pemilih berpengalaman,” kata Alfindra. Meski lebih banyak hidup di internet, aspirasi politik gen Z masih soal kebutuhan hidup dasar manusia, hal-hal yang cenderung konservatif dan melanjutkan aspirasi generasi sebelumnya. Perhatian gen Z tidak melompat tiba-tiba menjadi wacana yang menjadi perhatian anak muda, seperti isu lingkungan, kecerdasan artifisial, jender, dan pernikahan. Dominasi emosiBesarnya akses internet yang dimiliki anak muda zaman sekarang membuat gen Z menjadi lebih mudah dan lebih cepat pintar. Informasi apa pun bisa mereka dapatkan hanya dari ujung jarinya. Karena hidup di internet, pemikiran dan pilihan politik mereka akan sangat bergantung pada algoritma media sosial. Proses ini membuat mereka mudah lupa dengan isu-isu yang menurut mereka tidak penting. Walau dalam kehidupan bernegara, isu tersebut menjadi penting. Mereka pun menjadi kurang peduli dengan rekam jejak capres-cawapres meski sebagian rekam jejak itu mereka alami atau rasakan sendiri dampaknya saat menginjak remaja. Namun, apa pun pilihan capres-cawapres mereka, pilihan anak muda sering dituding tidak rasional. Padahal, nyatanya, pilihan politik mereka hanya meniru apa yang dilakukan masyarakat sekitarnya, bukan sepenuhnya salah gen Z. Pilihan politik seseorang, lanjut Alfindra, selain dipengaruhi oleh nilai, sikap, identitas, dan kepribadian, juga dipengaruhi oleh kognisi alias proses berpikir dan emosi seseorang. Meski kognisi dan emosi seolah-olah saling bertentangan, kedua hal itu ada pada setiap pemilih. Emosi dan kognisi saling berinteraksi, bukan soal rasional atau tidak rasional. Dari berbagai faktor yang memengaruhi pilihan politik seseorang, emosi akan merangkum atau melingkupi semuanya. Meski manusia dilatih untuk menggunakan proses kognitifnya dalam menilai dan melakukan semua hal, termasuk menentukan pilihan politik, nyatanya manusia tidak bisa lepas dari pengaruh emosi. Alfindra mengibaratkan besarnya pengaruh emosi itu sebagai kuah sup buah. Identitas, nilai, sikap, kepribadian, dan kognisi merupakan komponen buah-buahan dalam sup buah, dan semuanya dilingkupi atau dibanjiri oleh emosi. ”Meski kita dilatih untuk selalu mengutamakan proses kognitif, kita tidak bisa lepas dari pengaruh emosi dalam pengambilan keputusan. Emosilah yang mengarahkan pilihan politik kita walau ada kognisi,” katanya.
Sebagian pemilih muda suka dengan capres-cawapres yang berjoget-joget dan gemoy. Ada pula yang suka dengan calon yang terlihat merangkul anak muda atau berintegritas. Selain itu, juga ada pemilih yang suka dengan calon yang suka berpikir kritis dan akademis. Namun, apa pun pertimbangan pilihan itu, semua kesukaan itu sejatinya didorong oleh emosi. Secara terpisah, peneliti Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi UI, Rizka Halida, mengatakan sebagian besar pemilih pemilu di Indonesia adalah pemilih emosional yang menentukan pilihan capres-cawapresnya berdasarkan kesukaan atau ketidaksukaan semata. Menjadi pemilih rasional itu berat, butuh usaha besar, motivasi kuat untuk melakukan, dan kemampuan membandingkan gagasan dari setiap capres-cawapres. Untuk itu, pemilih rasional harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber secara adil dan netral sebelum akhirnya memutuskan. MEDIA SOSIAL HARIAN KOMPAS/ANTONIUS SULISTYO PRABOWO Tim Media Sosial Harian Kompas meluncurkan program #MudaMemilih sebagai upaya edukasi politik kepada generasi muda di Jakarta, Rabu (8/11/2023). Namun, serasional apa pun usaha yang kita lakukan, di satu titik, pemilih tidak bisa terlalu rasional. Saat mereka mulai memasukkan nilai atau keyakinan tertentu untuk membuat perbandingan, seperti tidak boleh korupsi, tidak terkait pelanggaran hak asasi manusia, atau tidak mendorong politik identitas, perbandingan yang dilakukan menjadi tidak setara karena ada pembobotan tertentu. ”Rasionalitas manusia itu dibatasi atau bounded rationality,” katanya. Repotnya, emosi ini bersifat otomatis. Rasa suka atau tidak suka terhadap capres-cawapres atau partai politik tertentu bisa muncul dengan alasan apa saja, termasuk hal-hal yang bersifat personal atau hal-hal trivial (remeh). Orang bisa suka atau tidak suka dengan capres-cawapres tertentu hanya karena melihat wajahnya, rambutnya, ekspresinya, atau gestur tubuhnya. Karena itu, mendidik pemilih agar semakin mengutamakan rasional harus terus dilakukan. Ideologi dan keterikatan pemilih dengan partai politik juga harus diperkuat sehingga faktor emosional dan personal dalam politik bisa ditekan. Bagaimanapun, demokrasi yang berkualitas tidak mungkin dibangun sepanjang kita masih menomorsatukan emosi dalam mengatur kehidupan kita. |
Kembali ke sebelumnya |