Judul | Mahfud MD: Perlu Diingatkan bahwa KPU Sudah Berkali-kali Melanggar Etika |
Tanggal | 06 Februari 2024 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Komisi Pemilihan Umum |
AKD |
- Komisi II |
Isi Artikel |
Cawapres nomor 3, Mahfud MD, menyatakan, kesalahan KPU perlu diingat karena sudah berkali-kali melanggar etika. DIAN DEWI PURNAMASARI Calon wakil presiden Mahfud MD (tengah) disambut warga yang ingin bertanya dalam acara Tabrak Prof! di Depok, Sleman, Yogyakarta, Senin (5/2/2024) malam. YOGYAKARTA, KOMPAS — Calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, mengatakan putusan etik terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari tidak berdampak pada tahapan pemilu karena sudah berjalan secara yuridis. Adapun Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menilai bahwa putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kompromistis karena tidak sesuai dengan jenis sanksi yang diatur di kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. ”Kesalahan KPU itu karena tidak konsultasi dulu dengan DPR, dan itu adalah pelanggaran etik yang berat. Biar DKPP-lah yang memutuskan lebih lanjut tentang hukuman terhadap orang-orang KPU,” kata Mahfud dalam acara Tabrak Prof! di Yogyakarta, Senin (5/2/2024) malam.
Sebelumnya, Mahfud mendapatkan pertanyaan dari Erlian, peserta Tabrak Prof! Yogyakarta. Perempuan yang mengaku berasal dari Kalimantan itu menanyakan bahwa pada hari ini DKPP memutuskan Ketua KPU Hasyim Asy'ari melanggar etik karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. ”Kini, KPU juga melakukan pelanggaran kode etik. Lalu, status pencalonan Gibran seperti apa?” tanya Erlian. Baca juga: Mahfud MD: Tunggu Putusan MKMK soal Pelanggaran Etik Hakim Konstitusi Mahfud menjelaskan, secara hukum prosedural, pencalonan Gibran sudah sah. Apa pun putusan DKPP, secara hukum tidak akan memengaruhi prosedur yang ditempuh oleh Gibran. Menurut Mahfud, hal itu lantaran DKPP mengadili pribadi anggota KPU, bukan keputusan KPU. Produk keputusan KPU yang menetapkan Gibran sebagai calon wakil presiden itu tidak dipermasalahkan. ”Ini yang bersalah adalah Hasyim Asy'ari. Yang lain juga bersalah dan supaya diingat KPU ini sudah berkali-kali melakukan pelanggaran,” ujar Mahfud.
DIAN DEWI PURNAMASARI Calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, tiba di lokasi acara Tabrak Prof! di Depok, Sleman, Yogyakarta, Senin (5/2/2024). Ia bersalaman dengan para pengunjung acara yang menyambutnya. Berharap ada perbaikanLebih jauh, Mahfud berharap ke depan ada perbaikan yang dilakukan KPU. Sebab, Hasyim sudah dua kali mendapat peringatan keras. Jika sekali lagi KPU melakukan kesalahan atau pelanggaran berat, dia harus diberhentikan dari KPU. Oleh sebab itu, KPU harus berhati-hati sejak dari sekarang. Sama dengan kasus di Mahkamah Konstitusi, pembuatan keputusan Nomor 90 yang menjadi dasar untuk pencalonan Gibran juga melanggar etika. Namun, putusan etik yang dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak membuat putusan itu dianulir. Putusan tetap jalan, tetapi yang dihukum adalah yang melanggar etik, yaitu Anwar Usman diberhentikan dari Ketua MK. Iklan
”Putusan MK itu sudah jelas melanggar etika berat dan sekarang Anwar Usman juga sedang mengadu ke PTUN agar pencopotannya dibatalkan,” ungkap Mahfud. Namun, menurut Mahfud, yang dilakukan Anwar Usman menggugat putusan MKMK ke PTUN itu salah. Sebab, putusan MKMK bukanlah keputusan tata usaha negara yang bersifat kongkret, individual, dan final. Putusan MKMK adalah keputusan profesional dewan etik. ”PTUN jangan main-main mencoba mengabulkan permohonan Uncle Usman,” ujar Mahfud.
DIAN DEWI PURNAMASARI Calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, menjawab pertanyaan warga di acara Tabrak Prof! di Depok, Sleman, Yogyakarta, Senin (5/2/2024) malam. Putusan kompromistisSementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia Muhammad Addi Fauzani berpandangan, perilaku Ketua KPU yang telah berulang kali melanggar etik dan mendapatkan sanksi peringatan keras telah nyata-nyata menafikan amanat konstitusi Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa penyelenggara pemilu harus memiliki sikap jujur dan adil. Pelanggaran etik yang dilakukan anggota KPU dalam melakukan penetapan calon presiden dan calon wakil presiden merupakan tindakan pengabaian terhadap amanat konstitusi dalam pelaksanaan pemilu yang berintegritas.
”Keputusan DKPP dalam memberikan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU terlihat sangat kompromistis dan mengabaikan prinsip keadilan pemilu karena tidak sesuai dengan ketentuan sanksi pada Pasal 22 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” kata Fauzani. Sesuai pasal tersebut, sanksi terhadap pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu hanya dapat dikenai sanksi tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap. Ketua KPU Hasyim Asy'ari telah dijatuhi paling tidak tiga kali sanksi peringatan keras sehingga seharusnya sanksinya bisa lebih tegas. KOMPAS/DEFRI WERDIONO Sidang pembacaan putusan perkara 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan 141-PKE-DKPP/XII/2023 dengan teradu ketua dan anggota KPU, Senin (5/2/2024).
Fauzani menegaskan, pelanggaran etik oleh Ketua KPU itu tidak dapat dibiarkan karena dapat menurunkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu 2024 dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Baca juga: Pelanggaran Etik Berulang, KPU Diminta Lebih Cermat Bagi publik, akan sulit menganggap pemilu akan berjalan dan dilaksanakan secara berintegritas oleh penyelenggara pemilu yang telah dijatuhi sanksi etik bahkan dalam tahapan awal pencalonan presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, PSHK Fakultas Hukum UII merekomendasikan Ketua KPU RI mundur demi mengembalikan kepercayaan masyarakat akan penyelenggara yang jujur dan adil. Kedua, seluruh anggota KPU agar berbenah dan fokus dalam menyelenggarakan pemilu yang berintegritas. Ketiga, DKPP agar dalam memutus setiap dugaan pelanggaran etik harus berlandaskan pada hukum formil yang telah ditetapkan oleh DKPP sehingga tidak melahirkan putusan yang kompromistis yang mengabaikan keadilan pemilu. |
Kembali ke sebelumnya |