Judul | Pelanggaran Etik Berulang, KPU Diminta Lebih Cermat |
Tanggal | 06 Februari 2024 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Pemilihan Umum,Komisi Pemilihan Umum |
AKD |
- Komisi II |
Isi Artikel | Para komisioner KPU kembali melanggar kode etik. Kepatuhan pada kode etik jadi salah satu parameter pemilu demokratis.JAKARTA,KOMPAS - Komisioner Komisi Pemilihan Umum diingatkan lebih cermat dalam menyelenggarakan pemilu. Undang-Undang Pemilu ataupun kode etik penyelenggara pemilu harus dipatuhi. Pelanggaran terus-menerus berpotensi menggerus kepercayaan publik pada penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu yang berujung pada tak dipercayanya hasil pemilu. Pada Senin (5/2/2024), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan ketua dan enam anggota KPU melanggar etik terkait tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Ketua KPU Hasyim Asy’ari dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir, sedangkan enam anggota KPU dijatuhi sanksi peringatan keras, yakni M Afifuddin, Parsadaan Harahap, Betty Epsilon Idroos, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz. Putusan dibacakan bergantian oleh Ketua Majelis DKPP Heddy Lugito serta J Kristiadi dan I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi selaku anggota majelis. Ini bukan pelanggaran etik pertama oleh para komisioner. Akhir Oktober 2023, Hasyim juga pernah dijatuhi sanksi peringatan keras dan enam komisioner lain dijatuhi sanksi peringatan karena melanggar etik dalam penyusunan regulasi terkait bakal calon anggota legislatif perempuan.
Kemudian awal April 2023, Hasyim juga pernah dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir karena melanggar prinsip profesional dan mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu dalam relasinya dengan Ketua Partai Republik Satu Hasnaeni. Baca juga: DKPP Nyatakan Ketua dan Anggota KPU Langgar Etik dalam Aduan Terkait Pendaftaran Gibran KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Suasana saat mendengarkan saksi ahli ketika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang etik terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) di ruang sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jakarta, Senin (15/1/2024). Meski Hasyim sudah pernah dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir, Heddy Lugito mengatakan, sanksi lebih berat tidak bisa dijatuhkan karena putusan DKPP tak bersifat akumulatif dan berbeda di setiap perkara. Guru Besar Perbandingan Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, saat dihubungi mengingatkan, parameter utama untuk mewujudkan pemilu demokratis adalah menyelenggarakan pemilu dengan sepenuhnya berbasiskan UU Pemilu dan kode etik penyelenggara pemilu. Jika tidak, legitimasi penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu bisa diragukan. Ujungnya, hasil pemilu bisa saja dinyatakan sah, tetapi kurang dipercaya oleh masyarakat. ”Efektivitas pemerintahan akan terganggu jika legitimasi dipertanyakan,” kata Ramlan. Karena itu, komisioner KPU seharusnya lebih cermat. Tak hanya itu, DKPP seharusnya menjatuhkan sanksi yang bisa menciptakan efek jera. Pelanggaran berulang oleh komisioner KPU menunjukkan sanksi DKPP tak bisa membuat jera. Baca juga: Debat Pamungkas, Capres Lebih Hati-hati KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Ramlan Surbakti Pelanggaran administrasiDalam pertimbangannya, majelis DKPP menyampaikan, tindakan para komisioner KPU menindaklanjuti putusan MK terkait syarat pencalonan presiden/wakil presiden sudah sesuai konstitusi. Putusan dimaksud, Nomor 90/PUU-XXI/2023, memutuskan, seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi pernah atau sedang menjabat kepala daerah, bisa maju sebagai capres/cawapres. Berbekal putusan ini, putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, bisa mendaftar sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto. Meski demikian, majelis menilai pelaksanaan dari putusan MK yang dibacakan pada 16 Oktober lalu dinilai tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu. Pasalnya, para komisioner KPU menindaklanjutinya dengan menerbitkan surat yang ditujukan kepada pimpinan partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024. Inti isi surat tanggal 17 Oktober itu meminta parpol memedomani putusan MK. Pada tanggal yang sama, para komisioner KPU juga menerbitkan Keputusan KPU Nomor 1378 Tahun 2023 yang intinya penyesuaian syarat pencalonan presiden/wakil presiden dengan putusan MK. Iklan
Padahal, seharusnya KPU menindaklanjuti putusan MK dengan merevisi terlebih dulu Peraturan KPU (PKPU) No 19/ 2023 tentang Pencalonan Pilpres. Hal ini seperti diatur dalam Pasal 10 PKPU No 1/2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan di Lingkungan KPU. Sebagai bagian dari penyusunan rancangan PKPU itu, para komisioner KPU juga seharusnya berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah seperti diatur dalam Pasal 75 Ayat (4) UU Pemilu.
Sementara komisioner KPU, menurut majelis, baru mengirimkan surat permohonan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023 atau tujuh hari setelah putusan MK diucapkan. ”Tindakan para teradu (komisioner KPU) tidak dapat dibenarkan,” kata majelis. Baca juga: Sanksi Peringatan Keras Terakhir untuk Ketua KPU Hasyim Asy'ari KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito saat memimpin sidang etik terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) di ruang sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jakarta, Senin (15/1/2024). Selain itu, majelis menyatakan, tindakan para teradu yang menerbitkan berita acara penerimaan pendaftaran pasangan bakal capres-cawapres pada 27 Oktober 2023 juga tak lazim karena tidak berkesesuaian dengan prinsip hukum administrasi. Seharusnya, berita acara diterbitkan sesuai dengan hari dan tanggal pendaftaran yang dilakukan oleh setiap pasangan bakal capres-cawapres. ”Ke depan, para teradu agar lebih cermat melaksanakan tugas dan kewenangannya sehingga tidak menimbulkan spekulasi dan kegaduhan di masyarakat,” kata majelis. Ketua KPU Hasyim Asy’ari enggan mengomentari putusan tersebut karena merupakan kewenangan penuh DKPP. Meski demikian, dalam setiap persidangan perkara itu, ia dan enam unsur pimpinan KPU lainnya selalu mengikuti persidangan serta memberikan argumentasi jawaban, keterangan, dan alat bukti terkait. Sementara kuasa hukum pengadu, Sunan Diantoro, mengatakan, putusan DKPP kembali menunjukkan adanya problem etik dalam pencalonan Gibran. ”Terbukti dan jelas Gibran mengakibatkan beberapa lembaga negara rusak dan orang-orang di dalamnya melanggar etik. Kita tentu ingat MK dan hakimnya melanggar etik berat, dan sekarang KPU melanggar etik, meski kami kecewa, harusnya komisioner dinyatakan diberhentikan secara tidak hormat,” katanya. Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka bersama dengan istrinya Selvi Ananda berkeliling kota dengan sepeda motor atau biasa disebut “Sunmori” (sunday morning ride) dari depan mal Senayan City menuju Kemang, Minggu (4/2/2024). Pencalonan GibranHeddy Lugito menyampaikan, putusan DKPP tidak berdampak pada pencalonan Gibran. Sebab, kasus yang diadukan merupakan dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu dan tidak terkait dengan proses pemilu. ”Putusan ini murni putusan etik, tidak ada kaitannya dengan pencalonan Gibran,” ujarnya. Gibran saat dimintai tanggapan terkait putusan DKPP mengatakan akan melihat terlebih dulu putusannya. Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Habiburokhman, mengatakan, meski putusan DKPP tak berimbas pada pencalonan Gibran, pihaknya mengantisipasi kemungkinan putusan DKPP dijadikan serangan politik bagi Prabowo-Gibran. ”Pasti, kan, ada kaset rusak yang diputar berulang-ulang oleh mereka yang takut kalah, bawa soal etika dan sebagainya,” katanya. Baca juga: Tak Punya KTP Elektronik, Pemilih Pemula Tetap Bisa Mencoblos KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka saat memasuki ruangan tempat digelarnya debat terakhir di Pemilihan Presiden 2024, di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (4/2/2023). Sementara itu, calon wakil presiden nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, menilai putusan DKPP menjadi pertanyaan bagi semua pihak. ”Kita harus melanjutkan perbincangan dan berupaya agar KPU tetap bisa melaksanakan pemilihan umum. Tetapi, di sisi lain, keadilan itu benar-benar terwujud,” kata Muhaimin. Di Yogyakarta, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai putusan DKPP terlambat. ”Sudah tidak mungkin lagi ada efek diskualifikasi, kan,” ujar Zainal. Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai putusan DKPP sebagai kejujuran sejarah. ”Artinya, dengan keputusan itu, ada problem etik yang semakin memuncak,” kata Busyro. (BOW/SYA/PDS/WER/NIA/TIO/MTK/ENG/NCA) |
Kembali ke sebelumnya |