Judul | Aparatur Negara di Jabar yang Terlibat Pelanggaran Netralitas Kian Meningkat |
Tanggal | 07 Februari 2024 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Pemilihan Umum,Bawaslu |
AKD |
- Komisi II |
Isi Artikel | Menjelang Pemilu 2024, aparatur negara di Jawa Barat yang terlibat pelanggaran netralitas terus bertambah. BANDUNG, KOMPAS — Aparatur negara yang terbukti melakukan pelanggaran netralitas dalam Pemilu 2024 di Jawa Barat terus meningkat. Kasus terakhir adalah lima aparatur sipil negara di Kota Bekasi terbukti melanggar netralitas karena memihak salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat, terdapat 20 laporan dugaan pelanggaraan netralitas yang diterima selama tahapan Pemilu 2024. Dari hasil kajian Bawaslu Jabar, terdapat delapan laporan yang dinyatakan terbukti adanya pelanggaran netralitas oleh aparatur negara. Delapan kasus itu tersebar di sejumlah daerah di Jabar, misalnya Bekasi, Bogor, Ciamis, Garut, Karawang, Sukabumi, Kuningan, dan Tasikmalaya. Kasus-kasus ini melibatkan camat, kepala sekolah, guru, anggota satuan polisi pamong praja (satpol PP), dan pegawai negeri sipil.
Kasus pelanggaran netralitas yang terkini adalah adanya lima aparatur sipil negara (ASN) yang membentangkan baju olahraga dengan nomor punggung 2 dalam kegiatan pertandingan sepak bola di Stadion Patriot Chandrabraga, Kota Bekasi, pada 12 Desember 2023. Aksi itu kemudian dilaporkan ke Bawaslu. KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA Koordinator Divisi Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Bawaslu Jawa Barat Muamarullah saat ditemui di Bandung, Senin (18/12/2023). ”Laporan tersebut memenuhi syarat keberpihakan lima ASN di Bekasi untuk kepentingan politik. Kami telah merekomendasikan hasil temuan pelanggaran ke lembaga yang berwenang, seperti Badan Kepegawaian Negara, untuk memberikan saksi,” ungkap Koordinator Divisi Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Bawaslu Jabar Muamarullah, saat dihubungi pada Rabu (7/2/2024). Muamarullah menuturkan, terdapat dua faktor kemungkinan pemicu maraknya pelanggaran netralitas oleh aparatur negara. Pertama, tidak memahami regulasi tentang netralitas aparatur negara dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Adapun faktor kedua adalah adanya indikasi disuruh pihak tertentu. Baca juga: Pelanggaran Netralitas di Jabar oleh Camat, Kepala Sekolah, Guru, dan Satpol PP Iklan
Pasal 280 UU No 7 Tahun 2017 menyatakan, setiap ASN, anggota TNI dan Polri, kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa dilarang terlibat sebagai pelaksana atau tim kampanye. Pihak yang terlibat dapat dipidana dengan kurungan paling lama satu tahun dan denda maksimal Rp 12 juta sesuai Pasal 494 UU Pemilu.
”Tren kasus pelanggaran netralitas oleh aparatur negara di Jawa Barat terus meningkat. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menjadikan Jawa Barat peringkat ketiga kerawanan pelanggaran dalam Pemilu 2024,” ungkap Muamarullah. KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA Pengamat politik dari Universitas Katolik Parahyangan, Pius Sugeng Prasetyo Pengamat politik dari Universitas Katolik Parahyangan, Pius Sugeng Prasetyo, berpendapat, penggunaan aparatur negara untuk kepentingan politik mengulang kembali fenomena yang sama pada era Orde Baru. Saat itu terjadi pengerahan ASN hingga aparatur desa untuk memenangkan partai politik tertentu saat pemilu. Pius juga menilai, pelanggaran netralitas terjadi secara meluas di wilayah Indonesia. Hal ini dipicu kegiatan birokrasi yang ditentukan pandangan politik, misalnya dalam penentuan mutasi jabatan di sebuah instansi atau lembaga negara. Baca juga: Pentingnya Menjaga Janji Netralitas dalam Pesta Demokrasi di Jabar ”Setiap aktor politik akan memanfaatkan segala sumber daya demi kepentingannya. Salah satunya menggunakan pihak-pihak yang masuk dalam sebuah sistem kekuasaan,” papar Pius. Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati mengatakan, krisis moralitas dan etika telah mencoreng wajah demokrasi Indonesia dalam Pemilu 2024. Hal ini terlihat dari terjadinya pelanggaran yang begitu masif, terutama dalam masa kampanye di seluruh Indonesia. KOMPAS/IQBAL BASYARI Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership Indonesia Neni Nur Hayati (tengah) memberikan paparan saat diskusi bertajuk "Menelisik Kendala dan Solusi Pemutakhiran Data Pemilih Pemilu 2024" di Jakarta, Rabu (1/3/2023). Menurut Neni, maraknya pelanggaran oleh aparatur negara marak sebenarnya sudah bisa diprediksi setelah pembubaran Komisi ASN pada Oktober 2023. Pembubaran itu berpotensi makin menegasikan kekuatan negara dalam mengontrol jalannya proses penyelenggaraan pemilu. ”Sejak pembubaran lembaga tersebut, problematika di ASN berkaitan dengan dugaan pelanggaran etik, promosi jual jabatan, dan politisasi, diprediksi semakin marak. Sanksi juga tidak ada yang serius, apalagi sampai ada efek jera,” ucap Neni.
|
Kembali ke sebelumnya |