Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Jeratan ”Happy” Si Minyak Bumi
Tanggal 13 Februari 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman 9
Kata Kunci
AKD - Komisi VII
Isi Artikel

he Economist pada Jumat (2/2/2024) melaporkan per-olehan laba Chevron dan Exxon Mobil, dua peru-sahaan raksasa migas Amerika Serikat, untuk kinerjatahun 2023. Dalam artikel berjudul ”Perky Petroleum Pro-fits” tersebut, masing-masing perusahaan membukukan laba21,4 miliar dollar AS dan 36 miliar dollar AS. Capaian itu”hanya” sepertiga dari apa yang mereka peroleh sebelumnyapada 2022, tetapi merupakan yang terbesar kedua dalamsatu dekade terakhir.Dalam artikel itu ditulis pula bahwa capaian kinerja keduaperusahaan tersebut membuat para investor ”happy”. Se-mentara Aramco, perusahaan migas milik Arab Saudi, mem-bukukan laba 161,1 miliar dollar AS untuk kinerja tahun2022. Apa yang didapat Aramco jelas lebih besar dari ga-bungan Chevron dan Exxon Mobil sekaligus. Sulit mencarikata yang lebih tinggi dari happy untuk menggambarkanperasaan investor Aramco atas capaian itu.Untuk di dalam negeri, PT Pertamina (Persero) sebagaisatu-satunya perusahaan migas milik negara dilaporkanmembukukan laba untuk kinerja 2022 sebesar 3,81 miliardollar AS. Meski ketika dirupiahkan menjadi Rp 56,6 triliun,perolehan itu serasa ”tidak ada apa-apanya” dibandingkandengan yang didapat Chevron ataupun Exxon Mobil. Ter-lebih lagi Aramco.Dengan menggunakan kurs Jisdor Bank Indonesia pada 7Februari 2024, dengan 1 dollar AS adalah Rp 15.685, makaChevron mengumpulkan laba Rp 335,65 triliun dan ExxonMobil meraih Rp 564,66 triliun. Sudah siap dengan per-olehan Aramco di 2022? Fantastis, perolehannya setara Rp2.526,85 triliun. Beda tipis dengan penerimaan negara iniyang sebanyak Rp 2.635,8 triliun untuk tahun anggaran2022.Tentu saja, penerimaan negara tersebut bukan hanya dariminyak, melainkan juga ditopang utamanya dari penerimaanpajak Rp 2.034,5 triliun dan penerimaan negara bukan pajak(PNBP) Rp 595,6 triliun. Selebihnya adalah penerimaanlain-lain.Apabila dibedah lebih dalam, penerimaan dari komoditasminyak (dan gas bumi) di Indonesia masih terbilang pentingdan ”lumayan”. Pada 2022, misalnya, PNBP dari migasmenyumbang Rp 148,7 triliun atau setara 25 persen daritotal PNBP pada 2022. Perolehan PNBP dari migas pada2022 tersebut melonjak signifikan dibandingkan denganperolehan pada 2021 yang sebanyak Rp 96,6 triliun.PNBP dari migas mulai turun pada 2023 sebanyak Rp 117triliun. Dua faktor utama yang memengaruhinya adalahharga minyak mentah dunia dan capaian produksi siap jual(lifting) minyak dalam negeri. Adapun pada 2024 ini, Ke-menterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) me-nargetkan perolehan PNBP migas Rp 110,2 triliun.Transisi energiBarangkali itu yang membuat laju transisi energi di RItersendat-sendat. Transisi energi ini adalah mengurangi(lantaran belum bisa sama sekali meninggalkan) pemakaianenergi fosil, seperti minyak, gas bumi, dan batubara, denganberalih ke sumber energi terbarukan. Ragam energi ter-barukan di Indonesia adalah tenaga bayu, air, surya, panasbumi, dan biomassa.Target bauran energi terbarukan dalam bauran energinasional sebesar 23 persen pada 2025 diproyeksikan ”mus-tahil” tercapai. Realisasi untuk 2023 baru 13,1 persen. Bah-kan, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional berencanamerevisi target bauran energi terbarukan pada 2025 menjadi17-19 persen, bukan lagi 23 persen.Alasan mengubah target bauran energi terbarukan adalahangka pertumbuhan ekonomi yang tak sesuai dengan target23 persen. Saat target itu disusun dalam Peraturan Pe-merintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan EnergiNasional, proyeksi pertumbuhan ekonomi RI adalah 7-8persen. Nyatanya, dalam beberapa tahun terakhir pertum-buhannya sekitar 5 persen saja. Atas kondisi itulah targetbauran energi terbarukan hendak direvisi.Di samping itu, tak mudah memang mengurangi dankemudian beralih sama sekali dari energi fosil ke energiterbarukan. Selain faktor ”rupiah” yang diuraikan di bagianawal tulisan, ada banyak faktor lain yang menyebabkantransisi energi di Indonesia berjalan lamban. Mulai darimasalah payung hukum dan aturan turunannya, biaya atauinvestasi, sumber daya manusia, hingga persoalan pengu-asaan teknologi berikut industri manufakturnya. Belum lagimasalah intermitensi sumber energi terbarukan.Indonesia sudah terlampau lama dimanja dengan pasokanenergi fosil. Harga bahan bakar minyak murah (disubsidi)hingga tarif listrik dari hasil pembakaran batubara yang jugamurah membuat ada rasa enggan bergegas ke energi ter-barukan. Apalagi, cadangan batubara Indonesia melimpahruah. Sebagai catatan, bahan bakar batubara berperan 65persen dalam bauran energi primer pembangkit listrik diIndonesia.Namun, satu hal yang patut diingat bagi pengambil ke-bijakan, baik di eksekutif maupun legislatif, adalah sumberenergi fosil suatu saat nanti akan habis cadangannya. Har-ganya pun amat ”cair”, yakni bisa mahal sekali dan murahsekali. Lalu, ada tanggung jawab merawat bumi dan me-wariskannya kepada generasi selanjutnya.Pemakaian energi fosil terbukti menghasilkan emisi gasrumah kaca yang menimbulkan efek pemanasan global pe-micu perubahan iklim. Belum lagi praktik penambanganbatubara yang tak ramah lingkungan. Jadi, meski energi fosilmasih amat menggoda dengan triliunan cuan yang diha-silkan, kelestarian lingkungan dan bumi yang lebih baikberada di atas segala-galanya. Jangan sampai generasi ber-ikutnya tidak happy akibat gagalnya transisi energi di negeriini.

  Kembali ke sebelumnya