Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Pemerintahan Mendatang Jadi Momentum bagi Parpol Lain sebagai Oposisi
Tanggal 25 Februari 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi II
Isi Artikel

Presiden terpilih diharapkan bisa membentuk kabinet profesional, tidak semata mengakomodasi kekuasaan dan unsur parpol.

JAKARTA, KOMPAS — Meskipun sejalan dengan keinginan calon presiden, Prabowo Subianto, bahwa semua unsur akan dirangkul, Partai Golkar juga mengingatkan agar parpol yang akan ikut bergabung dalam koalisi tak memaksakan jumlah dan posisi menteri tertentu di kabinet Prabowo-Gibran. Kabinet mendatang juga dinilai menjadi momentum bagi parpol lain untuk menjadi oposisi agar pemerintahan lebih sehat.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Firman Soebagyo saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (24/2/2024), mengatakan, dengan semakin banyak unsur yang bergabung di koalisi pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Koalisi Indonesia Maju (KIM), artinya semua pihak harus menyadari ada keterbatasan posisi di dalam kabinet nanti.

 

Sejak didaftarkan sebagai kandidat Pilpres 2024, Prabowo-Gibran didukung oleh sembilan parpol di KIM, yakni Partai Gerindra, Demokrat, Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Prima.

Baca juga: Golkar Minta Parpol yang Ingin Gabung Koalisi Prabowo-Gibran Paham Posisi Menteri Terbatas

Namun, beberapa hari setelah pemungutan suara Pemilu 2024 usai, Presiden Joko Widodo, yang juga ayah Gibran, memanggil Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh untuk menemuinya di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam kontestasi pilpres, Nasdem merupakan partai pendukung capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Sehari setelah pertemuan itu, Presiden mengungkap bahwa pertemuannya dengan Paloh sebagai pertemuan politik. Presiden pun tak menampik saat ditanya apakah ia menjembatani hubungan Partai Nasdem dengan Prabowo (Kompas.id, 19/2/2024).

Baru-baru ini, Ketua Dewan Pakar PAN Drajad Wibowo pun mengakui, untuk memperkuat koalisi parpol pendukung pemerintahan ke depan, ada upaya melobi dari pihak Prabowo-Gibran ke parpol pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD agar masuk dalam barisan koalisi (Kompas, 23/2).

 Firman Soebagyo

ARSIP DPR

Firman Soebagyo

Membutuhkan kritik

Firman menekankan, pembagian ”kue” kekuasaan tidak selalu di kementerian. Mereka bisa berpartisipasi melalui legislatif, dunia usaha, atau bahkan di sektor yudikatif.

Firman juga tak sepakat jika kekritisan parpol di parlemen nanti justru menjadi berkurang karena bergabung dalam koalisi parpol pendukung pemerintah. Walaupun berada di pemerintahan, parpol juga boleh mengkritik kebijakan pemerintahan selama isinya obyektif, konstruktif, dan proporsional.

Bagi partai yang bakal menjadi oposisi, kata Firman, tidak baik pula jika kemudian mereka ingin menjatuhkan kekuasaan atau pemerintahan. Namun, mereka cukup memberikan peringatan. ”Jangan berlebihan. Jangan dikit-dikit hak angket. Indonesia ini negara yang sangat besar, dengan kemajuan yang sedemikian rupa dan besar. Itu yang harus kita jaga. Jangan semua dibesar-besarkan karena perbedaan pendapat,” tegas Firman.

Pembagian ’kue’ kekuasaan tidak selalu di kementerian. Mereka bisa berpartisipasi melalui legislatif, dunia usaha, atau bahkan di sektor yudikatif. (Firman Soebagyo)

Hak angket yang disinggung Firman terkait dengan wacana membawa dugaan kecurangan Pemilu 2024 ke sidang hak angket DPR. Untuk itu, setiap ketua umum parpol yang ada di parlemen sangat berpengaruh terhadap wacana itu.

Sementara itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Afriansyah Noor, mengatakan, sampai saat ini, sepengetahuannya, belum ada tim yang dibentuk oleh Prabowo-Gibran untuk menggodok kabinet pemerintahan selanjutnya. ”Sepengetahuan saya sebagai Wakil Ketua TKN, belum ada tim yang dibentuk Prabowo-Gibran, masalah tim transisi, tim bayangan atau tim apa pun,” ujarnya.

Sampai sekarang, katanya, antarelite parpol pengusung dan TKN bersama Prabowo-Gibran masih menunggu 20 Maret 2024 ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi mengumumkan hasil perolehan Pemilihan Legislatif dan Pilpres 2024.

Bendera partai politik dipasang di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023). Penyusunan rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Sosialisasi yang akan mengatur seputar sosialisasi bakal calon peserta Pemilu 2024 sebelum masa kampanye pemilu ditargetkan sudah tuntas akhir Januari.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Bendera partai politik dipasang di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023). Penyusunan rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Sosialisasi yang akan mengatur seputar sosialisasi bakal calon peserta Pemilu 2024 sebelum masa kampanye pemilu ditargetkan sudah tuntas akhir Januari.

Momentum bagi parpol

Guru Besar Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Wahyudi Kumorotomo memandang, inilah saatnya bagi pimpinan parpol, yang capres-cawapresnya tak menang di Pilpres 2024, menjadi oposisi. Dengan demikian, pemerintahan bisa lebih sehat dan kabinet tidak diisi orang yang hanya ingin mendapat kekuasaan.

Menurut Wahyudi, jika merangkul semua pihak tersebut diartikan akan merangkul semua parpol kubu lawan, itu akan berbahaya. ”Kabinet akan sangat gemuk. Risikonya, selain memboroskan keuangan negara, koordinasi jadi sulit. Kabinet tidak akan fokus,” ujarnya.

Baca juga: Kubu Prabowo Berupaya Perkuat Koalisi, Lobi lewat Lapis Kedua Partai

Menurut dia, selain perlu mengembalikan kabinet ke sistem presidensial, penting pula mengedepankan kabinet zaken, yakni kabinet yang diisi oleh orang-orang profesional. ”Bisa dibayangkan, kalau Menteri Keuangan, Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang semestinya (diisi) profesional itu nanti diberikan ke unsur parpol, ya, sudah pasti kabinet tidak mengedepankan profesionalisme,” katanya.

Wahyudi berharap, presiden terpilih bisa membentuk kabinet profesional, tidak semata-mata mengakomodasi kekuasaan dan unsur parpol. Tidak seperti akhir masa pemerintahan Jokowi, para menteri lebih banyak berfungsi sebagai wakil parpol. ”Kabinet jangan jadi sarana untuk bagi-bagi kekuasaan,” katanya.

  Kembali ke sebelumnya