Judul | KPU Tetap Gunakan Sirekap |
Tanggal | 23 Februari 2024 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Pemilihan Umum,KPU |
AKD |
- Komisi II |
Isi Artikel | Dengan akses Sirekap, KPU nillai publik bisa melihat kebenaran proses rekapitulasi, tetapi ICW nilai KPU gagal terbuka. TANGKAPAN LAYAR Dugaan kecurangan dari pemantauan di tempat pemungutan suara (TPS). Terdapat perbedaan hasil C1 pemantauan dan hasil C1 di Sirekap. JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum atau KPU tetap akan menggunakan Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap meskipun mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak. KPU beralasan bahwa penggunaan Sirekap agar hasil pemungutan dan penghitungan suara menjadi transparan karena bisa diakses oleh siapa pun. Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, Sirekap bisa diakses untuk memantau informasi perkembangan hasil pleno di tempat pemungutan suara (TPS). Publik bisa mengunduh formulir C Hasil plano yang ada di TPS lalu menghitungnya sendiri. Baca Berita Seputar Pemilu 2024Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Adanya Sirekap ini supaya hasil pemungutan suara atau hasil penghitungan suara itu transparan. Siapa pun bisa akses,” kata Hasyim dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/2/2024).
Baca juga: KPU Diminta Tak Reaksioner, Penghentian Sementara Rekapitulasi Bukan Solusi Menurut Hasyim, dengan publik mengakses Sirekap, maka bisa menjadi bekal dalam rekapitulasi di tingkat kecamatan. Semua bisa bersama-sama membandingkan apakah proses rekapitulasi di tingkat kecamatan sudah benar atau belum. Sebab, proses rekapitulasi dilakukan dengan membuka kotak suara dari setisp TPS dan di setiap TPS terdapat formulir C hasil penghitungan suara, baik plano maupun salinan. Ia menjelaskan, ada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang belum merekapitulasi di tingkat kecamatan karena perlu menyinkronkan data yang diunggah dengan yang ditampilkan. Data yang belum sinkron perlu ditunda terlebih dulu dan dilanjutkan bagi yang sudah sinkron.
KOMPAS Ketua KPU Hasyim Asy’ari Hingga 23 Februari, dari 7.277 PPK kecamatan, untuk pemilu presiden yang sudah selesai rekapitulasi sebanyak 2.905 kecamatan, sedangkan yang masih dalam proses rekapitulasi sebanyak 2.660 kecamatan dan belum rekapitulasi sebanyak 1.712 kecamatan. Untuk pemilihan legislatif, sebanyak 2.781 kecamatan telah selesai rekapitulasi suara, sedangkan yang masih dalam proses rekapitulasi sebanyak 2.795 kecamatan dan yang belum rekapitulasi sebanyak 1.701 kecamatan. Hasyim mengatakan, penayangan hasil penghitungan konversi dari foto ke angka masih dikoreksi. Dalam proses penayangan selalu dikoreksi antara hasil penghitungan dan foto formulir C Hasil plano TPS. Ia menegaskan, biaya Sirekap menggunakan APBN untuk penyelenggaraan pemilu. KPU akan mempertanggungjawabkannya dalam bentuk laporan keuangan yang diaudit Badan Pemeriksa Keuangan. Pembiayaan Sirekap tidak hanya pada anggaran 2023, tetapi juga anggaran 2024 mulai dari pengembangan sampai pelaksanaan penggunaan Sirekap.
Jadi masukan KPUAnggota KPU, August Mellaz, menambahkan, rekapitulasi di tingkat kecamatan sudah berjalan di atas 72 persen. Hasil dari rekapitulasi tersebut akan diunggah dalam sistem Sirekap. Itu menjadi basis eviden bahwa sistem yang dibangun KPU bisa mengurasi dan memproteksi data autentik yang akan digunakan sebagai basis penghitungan yang ditentukan oleh undang-undang. August menegaskan, temuan masyarakat terkait pindah data dengan yang ada di Sirekap menjadi bahan masukan KPU. Ia menyampaikan, masyarakat yang sudah mengunggah temuan adanya kekeliruan ke media sosial agar memeriksa lagi apakah sudah dikoreksi atau belum. Apabila sudah dikoreksi, diharapkan agar unggahan itu tidak diturunkan, tetapi ditambahkan dengan hasil koreksi. KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari (kiri) bersama komisioner KPU, August Melaz, melakukan konferensi pers terkait persiapan jelang debat keempat Pemilihan Presiden 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (19/1/2024). KPU sangat terbantu dengan analisis dari beberapa ahli yang menggunakan sistem teknologi mutakhir sehingga menemukan data secara acak. ”Itu kami sangat berterima kasih sekali ternyata data yang ditemukan tidak berpretensi tertentu kepada pasangan calon tertentu,” kata August. Ia mengatakan, KPU memitigasi dan mengontrol sistem informasi yang dimiliki. Sirekap merupakan sistem yang mengurasi data otentik dan eviden berupa formulir C Hasil dan D Hasil yang berjenjang sampai ke tingkat kabupaten, kota, dan provinsi untuk menjadi basis data.
August menyebut bahwa data anomali yang ditemukan nol koma sekian persen. Data yang ditemukan oleh sistem tersebut akan dikurasi. Sampai sekarang, KPU berkomitmen mengunggah data secara berjenjang. Ia berharap, semua fokus pada rekapitulasi di kecamatan untuk menghasilkan formulir D Hasil yang juga menjadi basis penghitungan. Sebelumnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) telah mengirimkan surat penolakan penggunaan Sirekap. Dalam surat disebutkan, Sirekap dinilai telah gagal menjadi alat bantu dalam proses rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di tingkat kecamatan. Masalah hasil penghitungan perolehan suara pada Sirekap bahkan diikuti perintah dari KPU RI kepada KPU kabupaten/kota untuk menunda proses rekapitulasi di tingkat kecamatan pada 18-19 Februari 2024 (Kompas, 22/2/2024). KPU gagal beri keterbukaanSecara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, melalui keterangan tertulis mengatakan, KPU gagal memberikan keterbukaan informasi penghitungan suara kepada publik. Menurut Egi, portal informasi Sirekap tidak layak diakses oleh publik. Padahal, anggaran yang berasal dari pajak yang dibayarkan oleh publik sebesar Rp 3,5 miliar telah dihabiskan untuk Sirekap.
KOMPAS/IQBAL BASYARI Peneliti ICW, Egi Primayoga (kiri), dan peneliti Kontras, Rozy Brilian Sodik, menunjukkan tanda terima penyerahan surat permohonan informasi di Kantor KPU, Jakarta, Kamis (22/2/2024). Dari pantauan ICW dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) terhadap seluruh TPS di Indonesia, terdapat selisih suara pemilihan presiden dalam jumlah besar yang disebabkan kerusakan dalam Sirekap. Jumlah suara dalam Formulir C1 yang diunggah melalui Sirekap berubah dan melonjak sehingga tidak mencerminkan perolehan suara yang asli.
Pemantauan sepanjang 14 Februari 2024-19 Februari 2024, ditemukan adanya selisih antara Sirekap dan formulir C1 pada 339 TPS sebanyak 230.286 suara. Tiga pasangan calon mendapatkan suara yang lebih besar setelah formulir C1 diunggah ke portal Sirekap. Menurut Egi, kegagalan Sirekap dalam menyediakan informasi yang akurat berujung pada kontroversi meluas dan dugaan kecurangan melalui portal tersebut. Penghitungan suara sempat dihentikan selama dua hari akibat kisruh Sirekap. Penundaan penghitungan suara menimbulkan pertanyaan besar, apalagi diputuskan melalui proses yang tidak patut, yakni hanya melalui instruksi lisan. Hal itu berpotensi membuka praktik kecurangan penghitungan suara. ICW dan Kontras mendorong agar seluruh platform keterbukaan informasi diaudit secara menyeluruh. Audit mencakup proses perencanaan hingga tahap impelementasinya. Proses perencanaan yang buruk dapat membawa permasalahan yang lebih besar di kemudian hari. Pemungutan suara ulangAnggota KPU, Idham Holik, menyampaikan, pemungutan suara ulang dilakukan di 686 TPS yang tersebar di 38 provinsi. Pemungutan suara ulang, pemungutan suara lanjutan, dan pemungutan suara susulan dilaksanakan mulai 15 Februari sampai dengan 24 Februari 2024. Baca juga: Bawaslu Sarankan KPU Hentikan Penayangan Informasi Sirekap KOMPAS/NIKSON SINAGA Pemilih menggunakan hak pilih pada pemungutan suara ulang di TPS 021 Kelurahan Sei Putih Tengah, Medan Petisah, Medan, Sumatera Utara, Rabu (21/2/2024). Pemungutan suara wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan pengawasan terbukti terdapat pembukaan kotak suara, berkas pemungutan, dan penghitungan suara tidak sesuai tata cara yang tepat. Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meminta pemilik suara memberikan tanda khusus, menandai, atau menuliskan nama/alamat pada surat suara yang disalahgunakan. Selain itu, petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilik suara sehingga surat tersebut menjadi tidak sah. |
Kembali ke sebelumnya |