Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Mayoritas Parpol Tak Ingin Ambang Batas Parlemen Diturunkan
Tanggal 05 Maret 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Pemilihan Umum
AKD - Komisi II
Isi Artikel

Setidaknya lima dari sembilan fraksi di DPR ingin ambang batas parlemen 4 persen dipertahankan, bahkan diperbesar.

JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk menurunkan ambang batas parlemen sulit terwujud. Mayoritas fraksi partai politik yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat justru memandang ambang batas parlemen semestinya dipertahankan, bahkan ditingkatkan, untuk memperkuat sistem presidensial.

Setidaknya lima dari sembilan fraksi partai politik yang ada di DPR bersikap senada ihwal wacana perubahan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Kelima parpol dimaksud Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Wacana perubahan ambang batas itu muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) meminta ambang batas 4 persen direvisi karena tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, putusan MK terhadap perkara uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi momentum untuk mengubah Undang-Undang Pemilu. Golkar memandang, terdapat sejumlah isu klasik dan kontemporer terkait pemilu yang perlu diubah, salah satunya mengenai ambang batas parlemen. Namun, alih-alih menurunkan ambang batas parlemen dari angka yang diterapkan saat ini, yaitu 4 persen dari total suara sah nasional, Golkar memandang angka tersebut justru perlu ditingkatkan.

”Dalam konteks penyederhanaan parpol, kami (Golkar) pernah mengusulkan (agar naik) menjadi 5 persen. Itu batas toleransi. Di luar negeri ada yang ambang batas parlemennya 7 persen, 10 persen,” kata Doli saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (5/3/2024).

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung

DOKUMENTASI PRIBADI

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung

Ia menambahkan, usulan untuk meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen disampaikan dalam rapat Komisi II DPR di awal masa jabatan DPR periode 2019-2024. Tak hanya angka, Golkar juga mengusulkan agar ambang batas berlaku di seluruh tingkatan lembaga legislatif secara berjenjang. ”Kami usulkan agar 5 persen untuk DPR RI, 4 persen untuk DPRD Provinsi, dan 3 persen untuk DPRD Kabupaten/Kota,” lanjut Doli, yang juga Ketua Komisi II DPR itu.

Kendati mengusulkan angka secara spesifik, Doli mengatakan, angka tersebut tidak didapatkan secara metodologis. Usulan tersebut hanya didasarkan pada prinsip nilai tengah dari masukan-masukan yang disampaikan fraksi parpol lain. ”Waktu itu kami moderat saja. Kan, kemarin (ambang batas parlemen dalam pemilu sebelumnya), mulai dari 2 persen naik ke 3,5 persen, kemudian naik ke 4 persen. Kemudian ada teman-teman yang mengusulkan 7 persen, 10 persen, nah kemudian kami (Golkar) ambil saja angka yang moderat, yaitu 5 persen,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Doli, Golkar akan mengkaji secara mendalam ihwal pertimbangan dan rumusan penentuan ambang batas parlemen. Salah satunya dengan menggunakan substansi uji materi terhadap UU Pemilu yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ke MK. Atas perkara uji materi itu pula, MK membuat putusan yang memerintahkan pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah, untuk mengubah ambang batas parlemen melalui revisi UU Pemilu.

Menurut dia, ambang batas parpol mencapai 5 persen dari total suara sah nasional penting karena Indonesia menerapkan sistem presidensial. Sistem presidensial dinilai akan kuat dan mampu berjalan efektif jika ditopang dengan sistem parlemen multipartai sederhana atau tidak terdiri dari teralu banyak parpol. ”Ini dalam rangka untuk memperkuat sistem presidensial kita. Makin sederhana sistem multipartai kita maka akan makin efektif penyelenggaraan pemerintahannya,” kata Doli.

Baca juga: 15,6 Juta Suara Bakal ”Terbuang”, Pemilih Terpaksa Berpaling ke Partai Lain

Meja yang ditempati hakim konstitusi Anwar Usman (kiri) kosong karena dia keluar meninggalkan sidang saat Mahkamah Konstitusi menggelar agenda sidang putusan di MK, Jakarta, Kamis (29/2/2024).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Meja yang ditempati hakim konstitusi Anwar Usman (kiri) kosong karena dia keluar meninggalkan sidang saat Mahkamah Konstitusi menggelar agenda sidang putusan di MK, Jakarta, Kamis (29/2/2024).

Dalam putusan yang dibacakan pada 29 Februari lalu, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem, salah satunya menilai bahwa ketentuan ambang batas tersebut menyebabkan hilangnya suara rakyat atau besarnya suara pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR.

Oleh karena itu, ambang batas itu perlu segera diubah dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain desain untuk digunakan secara berkelanjutan. Besaran angka harus diputuskan dengan tetap menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional. Selain itu, perubahan ambang batas juga harus ditempatkan dalam rangka penyederhanaan parpol.

Tak hanya itu, MK juga sepakat dengan Perludem bahwa tata cara penentuan ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas tidak berdasarkan pada metode dan argumen yang memadai.

Baca juga: MK Nilai Angka 4 Persen Inkonstitusional, Berapa Ambang Batas Parlemen Ideal?

Penyederhanaan parpol

Wakil Sekretaris Jenderal PKB Syaiful Huda juga mengatakan, parpolnya tidak setuju dengan revisi ambang batas 4 persen. Sebab, ide untuk merevisi itu malah bisa berdampak menurunkan besaran ambang batas. Menurut dia, penurunan angka tersebut bisa menimbulkan masalah baru di tengah semangat penyederhanaan parpol.

Syaiful Huda (kanan)

ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Syaiful Huda (kanan)

”Penyederhanaan parpol ini penting supaya partisipasi dan pilihan publik kita tidak tersebar dan berserak. Kita ingin pemilu ke depan semakin berorientasi pada agenda-agenda yang sifatnya strategis dan ideologis. Kalau begini terus, tidak ada penyederhanaan partai, masih multipartai, ya, pragmatisme politik itu akan terus membayangi setiap kali kita pemilu,” ujar Huda.

Menurut Huda, tidak ada yang sia-sia selama ambang batas 4 persen diberlakukan. Seluruh parpol terakomodasi. Parpol-parpol dengan suara yang kecil pun tetap bisa menyuarakan aspirasi rakyat melalui DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Ia menilai, putusan MK juga menunjukkan sikap Mahkamah yang tidak konsisten. Sebab, ketika ambang batas pencalonan presiden dibatasi, MK memerintahkan untuk mengubah ambang batas parlemen agar bisa diberlakukan pada Pemilu 2029. ”Kalau ingin kita menguatkan sistem presidensial, harus ada parliamentary threshold itu. Begitu parliamentary threshold ini dilanggar, artinya kita melemahkan sistem presidensial kita. Sistem presidensial kita itu kalau mau kuat harus ada pembatasan parliamentary threshold,” tutur Huda.

Senada, Wakil Ketua Majelis Syura PKS Hidayat Nurwahid mengatakan, jika ambang batas parlemen diturunkan dari 4 persen lalu dibuat sangat longgar, itu tidak akan berjalan efektif dalam memperkuat parlemen dan parpol. Menurut dia, besaran ambang batas harus ditentukan dengan kajian ilmiah dan argumentasi yang tidak hanya rasional, tetapi juga demokratis.

https://cdn-assetd.kompas.id/bo20eDEK4KtcPBlypFuKDq0CzqU=/1024x1238/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F29%2F2356ae00-042c-4035-acdd-32c5815ff1ab_png.png

Meski demikian, ia juga mengusulkan, jika besaran ambang batas dinaikkan, hendaknya mengacu pada pengalaman yang pernah diterapkan pada Pemilu 1999. Saat itu diberlakukan mekanisme penggabungan suara sehingga suara parpol yang tak masuk ke parlemen tidak serta-merta hangus karena bisa digabung dengan suara parpol yang lolos ke parlemen. Dengan demikian, suara pemilih tidak hilang karena ada pihak yang bisa tetap menjadi anggota DPR dengan persyaratan tertentu, yakni tidak membuat fraksi, tetapi bergabung dengan fraksi lain.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, ambang batas parlemen harus dilihat secara komprehensif antara sistem pemerintahan presidensial, sistem demokrasi, dan konsolidasi demokrasi. Semestinya konsolidasi demokrasi dilakukan secara berlanjut dengan menaikkan ambang batas parlemen secara bertahap hingga penyederhanaan parpol secara demokratis pun bisa mencapai jumlah ideal.

Baca juga: Ihwal Ambang Batas Parlemen, PDI-P Ingatkan Pentingnya Efektivitas Sistem Presidensial

Ketua DPP Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, sistem pemerintahan presidensial harus disetarakan dengan sistem parlemen yang sederhana. Untuk mewujudkan itu, ambang batas parlemen masih dibutuhkan untuk menyederhanakan parpol. Besaran ambang batas yang ideal juga perlu dipikirkan karena menunjukkan representasi masyarakat di parlemen serta terkait dengan efektivitas negosiasi di parlemen.

Kualitas partai

Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan, penerapan ambang batas parpol perlu dilihat sebagai upaya memaksa untuk bekerja di tengah masyarakat. Jika ambang batas terlalu rendah, kualitas partai menjadi taruhan. Sebab, tidak hanya partai berkualitas tinggi yang bisa lolos ke parlemen, tetapi juga yang sekadar mengikuti pemilu.

Firman Noor

KOMPAS

Firman Noor

Menurut Firman, hal itu penting karena juga akan berdampak pada kinerja parlemen. Parpol yang mendapatkan jumlah kursi yang tak signifikan dibandingkan jumlah alat kelengkapan dewan bisa jadi bekerja tidak optimal.

Kendati demikian, Firman juga tidak setuju jika besaran ambang batas parlemen dinaikkan hingga angka yang terlalu tinggi. Itu akan menjadi gambaran riil tereduksinya aspirasi masyarakat. Sebab, belum tentu partai yang ada bisa benar-benar mewakili kepentingan banyak orang.

”(Ambang batas 4 persen) itu sudah cukup. Kalau boleh disebut sebagai ideologi partai, itu sudah cukup mewakili aliran-aliran yang ada di Indonesia. Dan, di level lokal pun sudah cukup mewakili 8-9 partai itu,” ujarnya.

  Kembali ke sebelumnya