Isi Artikel |
APBN
Kemampuan Bayar Utang Melemah
JAKARTA, KOMPAS — Beban utang pemerintah semakin berat. Pada satu sisi, jumlahnya terus membengkak sejalan dengan kebijakan fiskal yang ekspansif. Persoalannya, kemampuan riil pemerintah dalam membayar utang terus melemah sejak tahun 2009 hingga saat ini.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono di Jakarta, Selasa (13/9), menyatakan, dari sisi rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), profil utang pemerintah masih tergolong aman. Namun, profil utang itu perlu juga dibandingkan dengan tolok ukur lainnya agar ada gambaran yang lebih komprehensif mengenai profil utang pemerintah.
”Tak bisa hanya bertumpu pada satu kriteria atau rasio tertentu, misalnya jumlah utang terhadap PDB saja. Kita sudah harus mewaspadai profil utang kita, yakni membandingkannya dengan kemampuan bayarnya,” ujar Tony.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, akumulasi utang pemerintah per 31 Juli 2016 adalah Rp 3.501 triliun atau 27,7 persen terhadap PDB. Rasio ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan rasio utang negara lain.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB di Amerika Serikat (AS) dan Jepang, misalnya, adalah 104,5 persen dan 243 persen, sementara Tiongkok sebesar 22,4 persen dan India sebesar 66,7 persen.
Namun, di sisi lain, kemampuan Pemerintah Indonesia untuk membayar utang melemah. Salah satu ukurannya adalah rasio utang yang ditarik pada tahun berjalan terhadap realisasi penerimaan pajak pada tahun berjalan. Pajak menjadi indikator obyektif karena menyumbang 70 persen dari total pendapatan negara. Selain itu, pajak adalah sumber penerimaan paling berkelanjutan dibandingkan dengan sumber pendapatan lain.
Kompas mencatat, selama periode 2009 hingga 2015, realisasi penerimaan pajak rata-rata tumbuh 12,47 persen per tahun. Pada periode yang sama, total utang yang ditarik pemerintah tumbuh hampir dua kali lipat, yakni rata-rata 22,79 persen per tahun. Akibatnya, rasio utang yang ditarik pada tahun berjalan terhadap realisasi pajak pada tahun berjalan terus membengkak.
Penerimaan negara
Pada 2009, rasio utang terhadap pajak sebesar 27,33 persen. Pada 2014, rasionya naik menjadi 43,6 persen. Pada 2015, rasionya naik lagi menjadi 47 persen. Tahun ini, dengan asumsi penerimaan pajak sekitar 80 persen dari target, rasionya melambung menjadi 56,35 persen.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, persoalan tekanan fiskal terutama disebabkan penerimaan negara yang tumbuh landai. Ini terutama menyangkut penerimaan pajak. ”Rasio pajak terhadap PDB selama ini hanya 11 persen terus. Kalau tren ini berlanjut, defisit keseimbangan primer akan cenderung melebar dan beban utang akan semakin besar,” kata Bambang.
Menurut Bambang, solusi untuk mengatasi hal itu adalah meningkatkan penerimaan negara, terutama pajak. Program pengampunan pajak diharapkan bisa memperluas basis pajak sehingga bisa meningkatkan penerimaan pajak mulai tahun 2017.
Sejalan dengan itu, efisiensi belanja negara juga harus dilakukan. Pada tahun-tahun sebelumnya, semua kementerian dan lembaga negara pasti mendapatkan tambahan alokasi anggaran belanja negara setiap tahun. Hanya saja, kenaikan alokasinya berbeda. Mulai tahun depan, Bambang menambahkan, tidak semua instansi mendapatkan tambahan anggaran belanja karena anggaran difokuskan untuk program prioritas.
Mengacu pada kebijakan itu, pagu anggaran belanja di 64 kementerian dan lembaga negara akan turun dibandingkan dengan tahun ini, sementara 23 kementerian dan lembaga negara lain mendapatkan tambahan anggaran sesuai dengan program prioritas pemerintah. (LAS)
|