Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Biosensor Portabel untuk Deteksi Virus Dengue
Tanggal 13 Mei 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi VII
Isi Artikel

Periset dari Pusat Riset Elektronika BRIN mengembangkan biosensor portabel untuk deteksi virus dengue.

 
Oleh
DEONISIA ARLINTA
 

Demam berdarah dengue masih menjadi masalah di Indonesia. Dengan adanya dampak perubahan iklim, ancaman pada penularan dengue semakin meningkat. Puncak kasus demam berdarah dengue kini tidak lagi bisa diprediksi.

Demam berdarah umumnya terjadi pada saat musim hujan. Namun, kondisi iklim yang tidak menentu dengan pola musim hujan yang bisa terjadi sepanjang tahun membuat penyakit demam berdarah bisa muncul sepanjang tahun.

 

Hingga minggu ke-17 tahun 2024 ini, Kementerian Kesehatan telah melaporkan setidaknya sudah ada 88.593 kasus demam dengue di Indonesia dengan jumlah kematian mencapai 621 kematian. Jumlah itu jauh lebih besar dari tahun sebelumnya. Di periode yang sama, kasus demam dengue pada 2023 sebanyak 38.579 kasus dengan 209 kematian.

Tren kasus demam berdarah dengue yang terus meningkat perlu disikapi dengan antisipasi yang semakin kuat. Pemanfaatan inovasi dan teknologi pun mutlak dalam upaya penanggulangan dengue. Salah satunya untuk memperkuat upaya deteksi dini adanya penularan virus dengue pada pasien.

Deteksi dini diperlukan agar kasus penularan bisa segera diobati. Dengan begitu, kondisi perburukan yang dapat menyebabkan kematian akibat demam berdarah dengue bisa dicegah sejak awal.

Sayangnya, deteksi dini demam berdarah dengue masih belum optimal di masyarakat. Selain karena kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan yang kurang dalam deteksi dini, ketersediaan alat juga terbatas.

Biosensor

Hal tersebut yang akhirnya mendorong periset dari Kelompok Riset Bioelektronika dan Biosensing Pusat Riset Elektronika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan biosensor portabel untuk deteksi virus dengue. Dengan alat tersebut, upaya untuk deteksi dini penyakit demam dengue bisa lebih mudah serta dapat dibawa ke daerah yang lebih dekat dengan masyarakat, terutama di daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan.

Kepala Kelompok Riset Bioelektronika dan Biosensing Pusat Riset Elektronika BRIN Robeth Viktoria Manurung pada Jumat (10/5/2024) mengatakan, biosensor untuk deteksi dengue dirancang agar dapat digunakan oleh para petugas medis di lapangan, seperti tenaga medis puskesmas. Alat ini juga dapat dibawa ke daerah-daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan sehingga tidak hanya bisa digunakan di daerah perkotaan, tetapi juga perdesaan.

Baca juga: Perubahan Iklim Tingkatkan Risiko Penularan dan Kematian akibat DBD

”Bentuk portabel yang dikembangkan dalam sistem biosensor ini karena melihat kebutuhan sebuah perangkat deteksi penyakit secara dini yang dapat dibawa ke lapangan atau ke daerah-daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan sehingga bisa dimanfaatkan tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di perdesaan,” tuturnya.

Ia menjelaskan, pada umumnya biosensor atau sensor hayati merupakan perangkat analisis yang menggabungkan komponen hayati dengan pendeteksi fisikokimia untuk mendeteksi zat kimia tertentu. Sensor tersebut dapat menghasilkan luaran yang terukur, baik berupa besaran listrik, termal, maupun optik.

Biosensor untuk deteksi virus dengue digunakan dengan memanfaatkan logam transisi metal oksida dengan bahan Niken-Kobalt. Bahan tersebut dipilih untuk meningkatkan kinerja dari biosensor.

Adapun teknologi yang digunakan untuk mengembangkan biosensor ini, antara lain nanoteknologi, sensor elektrokimia, dan teknik fabrikasi mikro. Untuk nanoteknologi, itu menggunakan nanomaterial, seperti nanopartikel, kawat nano, dan tabung nano yang berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas dari biosensor.

Sementara teknologi sensor elektrokimia digunakan dengan amperometri, potensiometri, dan spektroskopi impedansi. Teknologi tersebut sudah banyak digunakan dalam biosensor untuk mendeteksi biomolekul. Selain itu, ada pula teknik fabrikasi mikro. Teknik tersebut seperti fotolitografi dan pencetakan kontak mikro yang digunakan untuk membuat perangkat biosensor dalam bentuk yang lebih kecil serta terintegrasi dengan internet of things (IoT).

Dalam penggunaannya, spesifikasi teknis biosensor dikembangkan dengan menggunakan sampel jenis serum darah atau air liur dari pasien. Perangkat yang dikembangkan pun diupayakan agar bisa terhubung ke telepon pintar (smartphone).

”Harapannya, perangkat ini dapat digunakan sebagai perangkat portabel yang mampu terkoneksi dengan smartphone. Selain itu, karena sistem biosensor ini sifatnya portabel, maka diharapkan minim alat penunjang sehingga memiliki fleksibilitas yang tinggi,” kata Robeth.

Inovasi ini memiliki sejumlah keunggulan yang ditawarkan. Itu, antara lain, ialah proses analisis yang cepat dan akurat serta minim kebutuhan perangkat pendukung. Karena itu, inovasi ini sesuai untuk digunakan sebagai upaya deteksi dini.

Baca juga: Alat Deteksi Cepat Infeksi Dengue

Karena sifatnya yang mudah dibawa ke mana-mana atau portabel, inovasi ini didesain dengan konsumsi daya listrik yang efisien. Pengoperasiannya juga mudah sehingga tidak memerlukan pelatihan yang spesifik bagi petugas kesehatan yang akan menggunakannya. Inovasi ini pun dapat terhubung dengan jaringan IoT melalui integrasi dengan telepon pintar.

Pengembangan

Ia mengatakan, biosensor dengue telah dikembangkan sejak 2022. Pengembangan ini dilakukan secara kolaborasi antara BRIN dan Institut Teknologi Bandung melalui Pusat Kolaborasi Riset Biosensor dan Biodivais. Kolaborasi juga dilakukan bersama dengan perusahaan perintis Nicslab dalam pengembangan rangkaian elektronika instrumentasi.

Saat ini, biosensor dengue masih dalam proses pengembangan pada tahap uji kinerja di laboratorium. Setelah itu, pengembangan akan dilanjutkan pada tahap uji klinis sehingga kemudian bisa mendapatkan izin edar sebelum akhirnya dikomersialisasi.

Robeth mengungkapkan, pengembangan selanjutnya masih akan dilakukan. Biosensor dengue ini, menurut rencana, akan dikembangkan agar bisa terintegrasi dengan pembelajaran mesin (machine learning) dan kecerdasan buatan sehingga analisis yang dihasilkan bisa lebih akurat. Hasil yang akurat ini amat penting untuk membantu tenaga medis dalam menentukan tata laksana yang tepat bagi pasien.

”Selain itu, dari sisi perangkat biosensor juga akan dikembangkan alternatif lain yang lebih efisien dengan biosensor berbasis warna atau colorimetry,” katanya.

Namun, Robeth mengatakan, sejumlah tantangan masih dihadapi dalam proses pengembangan biosensor dengue. Salah satu tantangannya untuk mencapai sensitivitas dan selektivitas yang tinggi dengan tetap menjaga stabilitas dan reproduktivitas dari penggunaan biosensor. Faktor-faktor seperti noise, intervensi dari senyawa lain, serta efisiensi transduksi sinyal dapat memengaruhi sensitivitas biosensor.

Baca juga: Ilmu Bioteknologi Indonesia Tertinggal, Peneliti Muda Ditantang Berinovasi

Pada aspek selektivitas, sampel biologis yang kompleks pun bisa mengganggu proses analisis dari biosensor. Tidak hanya itu, tantangan lain yang dihadapi ialah pada aspek reproduksibilitas. Biosensor yang dikembangkan harus dipastikan dapat memberikan hasil yang konsisten sehingga sekalipun diproduksi pada batch atau sampel yang berbeda tetap bisa memberikan hasil yang optimal.

”Pada aspek nonteknis, tantangan lain terkait pada ketersediaan bahan baku yang masih banyak didapatkan secara impor sehingga berujung pada mahalnya biaya untuk melakukan penelitian dan pengembangan,” ujar Robeth.

Karena itu, ia berharap agar pemangku kebijakan terkait bisa mendukung melalui kebijakan biaya impor dan waktu pengadaan bahan baku yang lebih memudahkan pengembangan inovasi. Dukungan anggaran penelitian yang berkelanjutan dan terarah pun amat penting untuk memastikan proses pengembangan terus berjalan sampai pada tahap hilirisasi riset.

Sebelumnya, Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) Budi Prawara menyampaikan, riset mengenai sistem biosensor dan divais mikro/nano elektronika untuk mitigasi penyebaran penyakit tropis menular merupakan salah satu riset kolaborasi yang menjadi fokus pengembangan dari BRIN. Dalam riset biosensor secara keseluruhan, kolaborasi telah dilakukan secara nasional dan internasional, antara lain dengan ITB, Universitas Padjadjaran, Monash University, National Institute for Materials Science, dan The University of Queensland.

 
  Kembali ke sebelumnya