Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Menyelisik Status ”Hijau” dan Multidampak Kereta Cepat
Tanggal 19 Mei 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman 4
Kata Kunci
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Satu jalur kereta cepat perlu 10 juta perjalanan rute sekali jalan per tahun untuk mengompensasi emisi konstruksinya.

Oleh NELI TRIANA

 

Indonesia telah menjadi negara Asia Tenggara pertama yang memiliki kereta cepat. Hebat! Indonesia pun resmi masuk jajaran segelintir negara di dunia yang mengoperasikan moda angkutan umum massal berteknologi paling maju serta diklaim mampu mengurangi emisi karbon itu. Sedahsyat apa reduksi emisinya?

Keputusan membangun kereta berkecepatan tinggi (high speed rail/HSR) disebut langkah berani yang membawa penumpang dari Jakarta ke Bandung maupun sebaliknya hanya sekitar 30 menit. Dengan moda lain, untuk rute yang sama dibutuhkan sekitar 3 jam perjalanan.

 

Belum genap satu tahun kereta cepat Jakarta-Bandung beroperasi, pemerintah menjajaki pembangunan kereta cepat Jakarta-Surabaya. Melanjutkan proyek kereta berkecepatan 350 kilometer per jam tersebut ke ”Kota Pahlawan” disebut bakal membuat pembiayaan pembangunan maupun operasional moda ini lebih efektif dan efisien.

Seperti di negara lain, proyek kereta cepat memang tidak semata untuk memenuhi kebutuhan publik bertransportasi. Pemerintah Indonesia menyatakan kereta cepat dapat memangkas waktu tempuh dan mengurangi beban transportasi jalan, meningkatkan konektivitas antarkota, dan mengungkit penataan daerah yang ada maupun pengembangan kawasan baru.

Manfaat lainnya, sejak proyek mulai dikerjakan dan seterusnya, tercipta lapangan pekerjaan yang membantu menekan pengangguran. Di luar itu, yang menjadi unggulan dalam ”berjualan” HSR adalah klaim bahwa moda ini mampu mengurangi emisi karbon.

Terkait hal tersebut, simulasi emisi HSR pernah menjadi salah satu laporan di Medium. Laporan tersebut membandingkan emisi karbon kereta berkecepatan tinggi dengan pesawat udara.

Dijelaskan bahwa emisi karbon dihasilkan dari perkalian jarak perjalanan dengan faktor emisi.

Jarak perjalanan, yaitu total jarak yang ditempuh selama perjalanan, biasanya diukur dalam kilometer (km). Faktor emisi adalah koefisien yang mewakili rata-rata emisi per satuan jarak untuk moda transportasi tertentu, diukur dalam kilogram setara karbon dioksida per kilometer (kgCO2e/km).

Faktor emisi kereta berkecepatan tinggi adalah 0,0045 kgCO2e per kilometer, sedangkan pesawat terbang 0,18277 kgCO2e per kilometer.

Mengambil contoh perjalanan sejauh 1.200 kilometer, Medium memperoleh perhitungan emisi karbon untuk HSR adalah 5,4 kgCO2e, sedangkan pesawat mencapai 219,324 kgCO2e.

Dari sana diperoleh data bahwa satu kali perjalanan untuk jarak yang sama, emisi karbon HSR sangat kecil jika dibandingkan dengan emisi dari pesawat terbang.

Setara 10 juta perjalanan

Namun, Jonas Westin dan Per Kågeson dalam jurnalnya ”Can high speed rail offset its embedded emissions?” (Januari 2012) menyatakan, seperti halnya proyek konstruksi lainnya, publik perlu memahami bahwa emisi HSR dihasilkan sejak proses pembangunannya dimulai.

Dalam risetnya, Westin dan Kågeson memperoleh angka estimasi bahwa sebuah jalur kereta cepat memerlukan rata-rata 10 juta perjalanan rute sekali jalan per tahun untuk mengompensasi emisi konstruksi tahunannya.

Terkait emisi HSR ini, sampai sekarang terus menjadi perdebatan. Pembangunan pesat dan luasnya jaringan kereta cepat di China, misalnya, menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia.

Dalam ”Carbon, water, land and material footprints of China’s high-speed railway construction” (Mei 2020), Shihui Cheng, Jianyi Lin, Wangtu Xu, Dewei Yang, Jiahui Liu, dan Huimei Li mengungkap jejak emisi, penggunaan air bersih, tanah, dan material lain dalam proyek HSR Beijing dan Tianjin sejauh 120 kilometer.

Hasilnya menunjukkan total jejak emisi HSR Beijing-Tianjin adalah 3.669,0 kiloton CO2, proyek ini menyerap 54.954,7 kiloton air tawar, memakan 45.830,6 hektar tanah, dan material keseluruhan konstruksi mencapai 8.474,2 kiloton.

Pada tahap konstruksi, pembangunan sistem jembatan dan kereta api berkontribusi sampai di atas 74 persen dari perhitungan jejak emisi.

Aktivitas peleburan dan penggulungan logam, pembuatan peralatan transportasi, dan produk mineral nonlogam rakus mengonsumsi air dan menghasilkan emisi tinggi dalam produksi bahan mentah.

Para peneliti menyarankan mitigasi dampak buruk kegiatan pembangunan konstruksi HSR pada lingkungan. Mitigasinya adalah perlu meningkatkan efisiensi produksi industri dengan mengoptimalkan tata letak lini, distribusi produksi, dan manajemen proses konstruksi.

Selanjutnya, mengacu saran Westin dan Kågeson, ketika sudah beroperasi, kereta cepat didorong mengangkut penumpang semaksimal mungkin sesuai kapasitasnya. Semakin panjang atau luas jangkauan layanan juga jelas lebih baik.

Dukungan budaya dan sistem

Selain mitigasi proses konstruksi dan pengoptimalan pemakaiannya, kunci sukses kereta cepat adalah dukungan budaya masyarakat dan keterpaduan sistem layanan transportasi publik suatu negara.

Dari beberapa sumber lain, termasuk Qiong Shen, Yuxi Pan, dan Yanchao Feng dalam jurnalnya, ”The impacts of high-speed railway on environmental sustainability: quasi-experimental evidence from China” (Oktober 2023), mengungkapkan alasan Amerika Serikat terlambat mengadopsi HSR.

Rencana proyek kereta cepat pertama di negara adikuasa yang akan dimulai pada 2027 masih menuai pro-kontra tak berkesudahan sampai sekarang.

Shen dan koleganya menunjukkan, pembangunan HSR di AS kurang didukung kekuatan finansial dan selama ini masyarakatnya tidak terbiasa menggunakan kereta. Pengadaan infrastruktur yang memakan biaya jutaan hingga miliaran dollar AS dapat memberikan tekanan pada keuangan ”Negeri Paman Sam” itu.

Jaringan kereta api yang terbangun sejak beberapa abad lalu di AS terbilang tidak mengalami kemajuan berarti di era modern. Dalam perkembangannya, sesuai kebijakan yang berpihak pada pembangunan jaringan jalan dan mendukung industri otomotif, sebagian besar warga AS terbiasa bergantung pada kendaraan pribadi, terutama mobil pribadi.

Sebaliknya, teknologi HSR di China diterapkan dengan menerapkan pengalaman Jepang, Jerman, dan negara maju lainnya, yang digabungkan dengan kondisi di dalam negeri.

Jepang sejak awal membangun jaringan kereta dan membiasakan warganya menggunakan angkutan itu untuk moblitas sehari-hari. Saat mengenalkan kereta peluru Shinkansen pada tahun 1960an, tidak sulit mengintegrasikannya dengan jaringan kereta yang ada dan menarik warganya untuk menggunakannya.

Sistem tarif Shinkansen terintegrasi dengan jalur kereta api antarkota reguler, tetapi perlu biaya tambahan untuk menaiki kereta peluru tersebut.

Kini, sedikitnya ada sembilan rute Shinkansen dengan daya angkut sekali jalan per satu set rangkaian kereta mencapai 1.000 penumpang. Setiap rute mengangkut dengan kisaran terendah 1,5 juta penumpang dan tertinggi 175 juta penumpang per tahun.

Di Perancis, seperti dikutip dari BBC, pemerintah di sana menambahkan satu kebijakan, yaitu melarang penerbangan komersial yang memakan waktu 2,5 jam atau kurang dari itu agar konsumen beralih menggunakan kereta cepat dan kereta reguler. Kebijakan itu membuat Train à Grande Vitesse (TGV), kereta cepat setempat, bisa beroperasi lebih maksimal.

China memilih menggunakan wilayah daratannya yang luas dan sumber daya manusia melimpah saat memutuskan menghadirkan kereta cepat di negaranya. China tak lupa bahwa sebagai bagian dari moda angkutan umum massal, HSR harus terintegrasi dengan angkutan umum modern perkotaan yang juga dipercepat pembangunannya.

China yang baru menjadi ”pemain” proyek HSR pada tahun 2004 langsung tancap gas. Sekarang telah terbentang jaringan kereta cepat sepanjang lebih dari 42.000 kilometer. Jaringan rel HSR di China menghubungkan 93 persen kawasan urban dan terkoneksi dengan sistem angkutan perkotaan.

Berkeadilan

Berbagai upaya untuk membuat kereta cepat berfungsi maksimal dilakukan agar asas pembangunan yang bermanfaat bagi semua rakyat terwujud.

Tiket kereta cepat di mana pun jauh lebih mahal dibandingkan kereta reguler untuk rute sama maupun moda angkutan lain dan kendaraan bermotor pribadi. Dengan demikian, konsumen terbesar moda ini pasti dari kalangan berduit.

Mahalnya tiket HSR dimaklumi karena investasi pembangunannya yang luar biasa besar. Untuk dapat membuat kereta melesat dalam kecepatan 350 km/jam sampai 600 km/jam terbayang kebutuhan sumber daya energi yang dibutuhkan dan teknologinya. Di luar itu, biaya kebutuhan mulai dari konstruksi sampai perawatan tidak akan menyusut besarannya.

Whoosh dengan rute Jakarta-Bandung yang disebut memakai teknologi kereta cepat terbaru menelan biaya 9,2 miliar dollar AS (Rp 132,44 triliun) atau 64,65 juta dollar AS per kilometer (sekitar Rp 1 triliun).

Bandingkan dengan pembangunan 44 kilometer LRT Jabodebek senilai Rp 32,5 triliun. Jalan reguler setara Rp 10 miliar-Rp 100 miliar per km. Jalan tol tentunya lebih mahal dari jalan reguler, tetapi tetap lebih murah dibandingkan proyek kereta modern.

MRT Jakarta Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia sepanjang 15,7 km senilai Rp 25,3 triliun menjadi padanan HSR, terutama dari penggunaan teknologi terkini. Selain itu, ada pembebasan lahan di tengah kota yang mahal.

Anggaran pembangunan infrastruktur dan jaringan layanan angkutan umum, termasuk kereta cepat, di banyak negara disediakan oleh pemerintah dari uang pajak, investasi swasta, serta pinjaman dari organisasi keuangan global dan negara lain. Di Indonesia, kereta cepat sebagian besar dibiayai pinjaman dari China Development Bank.

Pengembalian pinjaman sedikit banyak mengambil dari uang negara yang berasal dari pajak pula. Padahal, pembayar pajak tidak semuanya mampu mengakses kereta cepat. Oleh karena itu, dampak langsung kehadiran kereta cepat tidak akan dirasakan oleh semua warga.

Baca juga: Tarif Murah, Syarat Wajib Angkutan Umum Modern Perkotaan

Agar keadilan tetap terwujud, perlu memastikan proses konstruksi yang efisien dan operasional maksimal bertujuan mewujudkan dampak positif HSR secara luas dan bisa menetes dirasakan rakyat kebanyakan.

Membawa kereta cepat ke Indonesia diakui sebagai langkah berani dan simbol kemauan kuat untuk melompat maju. Walakin, langkah itu wajib diikuti serangkaian kebijakan lain agar status ”hijau” juga multidampaknya benar-benar terwujud. Sebuah proses yang butuh dikawal langsung oleh pemerintah dan masyarakat.

  Kembali ke sebelumnya