Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Maskapai Jadi Kambing Hitam Besaran Tarif Tiket Pesawat
Tanggal 07 Juni 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman 13
Kata Kunci
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Konsumen kerap mengeluhkan tingginya tarif tiket pesawat. Apa saja komponen tiket sebagai penentu harga akhir?

Oleh YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA

Warganet kerap mengeluh di beragam platform media sosial mengenai tingginya harga tiket pesawat, terutama pada musim puncak liburan. Banyak unggahan yang membandingkan tarif tiket perjalanan domestik dan internasional. Alih-alih lebih rendah, harganya mayoritas lebih tinggi ketimbang perjalanan ke luar negeri.

Tak heran, masyarakat pun berbondong-bondong memilih perjalanan ke luar negeri. Namun, ketika ditilik lebih dalam, ada sejumlah komponen tiket pesawat yang tak diketahui masyarakat sebagai konsumen.

 

Survei Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) menunjukkan, mayoritas responden yang merupakan konsumen industri aviasi memilih maskapai berdasarkan harga tiketnya. Hal itu diwakili 22 persen responden, disusul opsi ketepatan waktu (21,6 persen) dan rute (19,7 persen).

Artinya, konsumen menggunakan jasa penerbangan berdasarkan prioritas harga tiket. Semakin murah harga tiket, semakin menarik bagi konsumen.

Di sisi lain, meski harga tiket pesawat kerap dikeluhkan masyarakat melalui media sosial, lebih dari setengah dari total responden Apjapi (59,8 persen) menilai tarifnya masih berkategori wajar. Hanya 21,5 persen yang beranggapan harga tiket pesawat mahal.

Dalam diskusi kelompok terarah harian Kompas/Kompas.id bertajuk ”Potensi Bisnis Aviasi Seiring Meningkatnya Konektivitas Antarwilayah dan Mobilitas Orang di Indonesia” di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (6/6/2024), Ketua Apjapi Alvin Lie mengatakan, sesuai data Kementerian Perhubungan berkaitan dengan liburan Idul Fitri 1445 Hijriah, dari sedikitnya 240 juta orang yang bermobilitas, konsumen yang menggunakan jasa penerbangan berkisar 10-11 persen. Sisanya menggunakan moda transportasi lain.

Angka tersebut, imbuh Alvin, lebih rendah dibandingkan pasar di negara lain. ”Jumlah konsumen kita lebih rendah dibandingkan Eropa dan Amerika. Di sana, 40 persen populasi naik transportasi udara dalam setahun. Potensi kita masih besar, tinggal daya belinya ada atau tidak,” ujar Alvin.

Survei Apjapi dilakukan pada 7.414 responden di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta (Banten), I Gusti Ngurah Rai (Bali), Juanda (Jawa Timur), Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan), serta Kualanamu (Sumatera Utara). Penelitian berlangsung pada 29 Januari-4 Februari 2024 melalui statified sampling secara acak. Tingkat kepercayaan 95 persen dengan margin of error 1,14 persen.

Diskusi dibuka oleh Pemimpin Redaksi Harian Kompas/Kompas.id Sutta Dharmasaputra dan diikuti oleh Ketua Umum Asosiasi Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Denon Prawiraatmadja, Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Putu Eka Cahyadhi, Presiden Direktur Lion Air Group Daniel Putut Kuntoro Adi, Direktur Komersial Lion Air Group Saleh Alatas, Ketua Harian Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, dan pengurus Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita), Deden Chandra.

https://cdn-assetd.kompas.id/fd_EqvQMFaAK8skjCfJn6jw4JT0=/1024x1211/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F06%2F1f71ed60-29a3-4eff-832f-f4cb0ae93bf0_png.png

Komponen harga

Perkembangan dunia digital dan akses internet yang meluas juga membuat orang lebih banyak membeli tiket pesawat secara daring. Lebih dari setengah responden survei Apjapi atau 54,9 persen di antaranya membeli tiket melalui agen perjalanan daring (OTA). Sebanyak 24 persen responden mendapatkan tiket dari perusahaan atau instansi pengundang, diikuti agen perjalanan konvensional (9 persen) serta situs maskapai penerbangan (7,8 persen).

Alvin mengatakan, keluhan-keluhan tarif tiket yang digaungkan konsumen menunjukkan minimnya pemahaman mereka terhadap komponen harga tiket. Padahal, ada sejumlah komponen lain yang dibebankan dalam tiket sehingga harga nominal yang tertera tak seluruhnya masuk sebagai pendapatan maskapai.

”Ini yang menarik, bahwa di dalam harga tiket ada pajak pertambahan nilai, ada juga passenger service charge (PJP2U) atau retribusi bandara. Retribusi bandara ini cukup tinggi,” ujarnya.

Penumpang tak mengetahui bahwa retribusi bandara bukan bagian dari pendapatan maskapai penerbangan. Ada pula komponen iuran wajib Jasa Raharja (IWJR).

Berdasarkan survei Apjapi, mayoritas penumpang belum mengetahui komponen PJP2U serta IWJR dalam tiket pesawat. Hal ini terlihat dari 90,9 persen jawaban responden. Padahal, PJP2U naik tiap dua tahun, tak seperti tarif pesawat yang besarannya masih tetap sejak 2019.

 

Meski keluhan tarif tiket kerap ditujukan pada maskapai penerbangan, Lion Group, misalnya, menyiasati dengan terus menciptakan pasar. Potensi bisnis banyak dilihat dari peluang wisata suatu daerah.

Daniel mengatakan, tiket pesawat diregulasi pemerintah sehingga ketetapan tarif saat ini tak melanggar aturan yang ada. Sebab, jika maskapai penerbangan didapati melanggar, maka sanksinya berat.

”Mengubah pola pikir dari mahal ke batas atas ini butuh perubahan budaya. Orang terbiasa membeli tiket pada harga rendah-menengah, sekarang harga di batas atas semua,” katanya.

Agen perjalanan

Selain minimnya pengetahuan masyarakat soal komponen pesawat, agen perjalanan daring (OTA) juga tak menjelaskan detail komponen tiket. Alhasil, konsumen kerap terkejut terhadap tarif tiket yang dianggap tak terjangkau.

”OTA ini tidak menerbitkan tiket pengangkut. Mereka menerbitkan rencana perjalanan sendiri. Ini jadi masalah karena tiket adalah kontrak pengangkutan maskapai dengan penumpang,” katanya.

Ketika menerima tiket, penumpang perlu mengetahui syarat dan ketentuan yang berlaku. Upaya ini sebagai bentuk perlindungan terhadap maskapai penerbangan.

Perjanjian pengangkutan ini tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam regulasi itu tertuang batas-batas tanggung jawab pengangkut. Kendala lain, Kementerian Perhubungan tak dapat mengatur OTA karena bukan di bawah pengawasannya.

Harga tinggi

Terkait tiket pesawat, Tulus mengatakan, banyak orang mempertanyakan harga tiket pesawat yang tinggi. Padahal, komponen tiket pesawat terdiri dari tarif untuk maskapai, PJP2U, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta IWJR. ”Publik tahunya semua itu diterima oleh maskapai,” kata Tulus.

Ia berpendapat, komponen tarif PJP2U sangat rendah, hanya 3-4 persen dari total tarif tiket. Nilai nominalnya dikaji setiap dua tahun untuk dinaikkan.

”Enggak adil kalau mau kaji PJP2U, tapi enggak mau kaji PPN,” ujarnya.

Tulus berharap agar wacana menaikkan tarif batas atas tiket pesawat dikaji kembali. Pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang kondusif pada sektor udara agar terwujud persaingan yang sehat, obyektif, dan kompetitif.

Adapun bagi Asita, ketersediaan layanan penerbangan jauh lebih penting untuk memudahkan turis datang ke obyek wisata. Menurut Deden, layanan penerbangan menjadi kunci penting bagi daerah tujuan wisata karena waktu perjalanan turis lebih singkat.

”Bagi kami, yang penting adalah ada layanan penerbangan ke daerah tujuan wisata tersebut. Jadi, dengan harga berapa pun, ya, akan tetap dibeli karena pasarnya ada,” ujarnya.

Jasa penerbangan adalah jembatan udara Indonesia yang memudahkan orang dan barang berpindah dalam waktu singkat. Sudah sepatutnya pemerintah membuat kebijakan komprehensif untuk mendorong industri aviasi nasional bisa terbang lebih tinggi menjangkau pelosok Nusantara.

  Kembali ke sebelumnya