Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Tapera dan Impitan Kelas Menengah
Tanggal 07 Juni 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Perumahan,Bank tabungan
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Tapera akan jadi beban tambahan yang makin mengimpit kelas menengah. Ini kontraproduktif dengan visi Indonesia Maju.

Oleh MUHAMMAD SYAEFUL MUJAB

Memperluas dan menguatkan kelas menengah disebut sebagai kunci dalam peta jalan menuju Indonesia Maju 2045. Publikasi Bank Dunia pada 2020 menjelaskan mengenai pentingnya memperluas populasi kelas menengah untuk mendorong pembangunan dan produktivitas Indonesia ke status negara berpenghasilan tinggi.

 

Argumentasi ini diamini publikasi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang memberikan pandangan realistis terhadap pencapaian Indonesia sebagai negara maju pada 2045. Menurut publikasi yang dirilis pada Oktober 2023 tersebut, langkah realistis yang perlu dilakukan adalah dengan mempersiapkan kelas menengah yang kuat, inovatif, dan produktif.

Kontroversi kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menggambarkan fenomena gunung es tentang pengabaian kelas menengah dalam kebijakan publik. Skema Tapera mengharuskan adanya kontribusi dari kelas pekerja melalui potongan penghasilan sebesar 2,5 persen dan dari pemberi kerja sebesar 0,5 persen.

Meski demikian, penerima manfaat pembiayaan perumahan dari Tapera adalah masyarakat yang tergolong pada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sementara mereka yang tidak tergolong MBR menjadi ‘penabung mulia’ yang akan mendapatkan pemupukan hasil simpanan sampai pensiun atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Skema ini disebut sebagai upaya gotong royong antarkelas ekonomi untuk menjawab permasalahan ketersediaan perumahan.

Dalam literasi akademik, konsep gotong royong antarkelas ekonomi dalam kebijakan sosial dapat dijelaskan sebagai konsep citizenship. Oleh Naila Kabeer, akademisi London School of Economics (LSE), konsep citizenship bergeser dari sekadar keanggotaan seseorang dalam sebuah negara dengan seperangkat hak dan kewajibannya menjadi upaya redistribusi yang dilakukan untuk mencapai tujuan bersama dari sebuah negara.

https://cdn-assetd.kompas.id/pmQMFKIZOqdpWRJTFg0MEdhKd_o=/1024x861/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F05%2F3dc2a177-f7c6-4da7-a18e-dcc6343cad72_png.png

Terabaikan

Dalam konteks Tapera, kelas non-MBR membantu kelas MBR untuk mendapatkan perumahan layak huni, terlepas dari kondisi kontekstual yang dimiliki masing-masing kelas non-MBR: apakah sudah memiliki rumah atau belum. Skema ini justru menjadi beban tambahan bagi kelas non-MBR, khususnya kelas menengah yang selama ini terabaikan dalam berbagai skema kebijakan publik.

Kebijakan sosial di Indonesia selama ini berfokus pada kelompok miskin ekstrem dan kelompok miskin yang memang perlu dibantu. Sementara pandemi Covid-19 memberikan gambaran bahwa guncangan ekonomi tidak mengenal kelas ekonomi dan justru membuat kelas menengah, yang tidak terproteksi secara kebijakan, menjadi kelompok yang sangat rentan.

Tentu bentuk kebijakan sosial yang seharusnya tersedia untuk kelas menengah berbeda dengan kebijakan perlindungan untuk kelompok miskin dan miskin ekstrem. Mereka tidak perlu diberikan bantuan sosial dalam bentuk bantuan tunai, tetapi justru dalam bentuk intervensi kebijakan yang dapat meningkatkan produktivitas dan keterampilannya.

Minimnya perlindungan sosial ini membuat skema gotong royong ala Tapera tidak dapat dipersepsikan sebagai kewajiban bersama untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan. Tapera justru dianggap sebagai sebuah beban tambahan di tengah impitan-impitan lainnya.

Selain itu, sebagaimana diargumentasikan Chatib Basri, perlindungan sosial untuk kelas menengah ini bukan hanya soal dukungan keuangan, melainkan juga soal kualitas. Untuk dapat mendukung program Tapera, pemerintah atau badan terkait perlu menunjukkan jaminan kualitas tata kelola pendanaan Tapera. Namun, preseden kasus penyalahgunaan investasi publik, seperti Asabri dan Jiwasraya, justru membuat publik bersikap skeptis terhadap Tapera yang dianggap tidak berbeda dengan Asabri dan Jiwasraya yang bermasalah.

Selain perlu memastikan tata kelola pendanaan Tapera dapat menjawab permasalahan penyediaan perumahan rakyat, pemerintah juga perlu memberikan pilihan kebijakan lain di luar Tapera yang juga berkontribusi menjawab permasalahan tersebut. Oleh banyak pihak, Tapera dianggap menduplikasi program Pembiayaan Perumahan Pekerja yang menjadi Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BPJS Ketenagakerjaan.

Berbeda dengan skema Tapera yang belum jelas, MLT BPJS Ketenagakerjaan tersebut melibatkan sektor perbankan dalam penyediaan rumah bagi pekerja. Alih-alih mendorong partisipasi dalam BPJS Ketenagakerjaan terutama bagi pekerja sektor non-formal dan non-standar, Tapera justru menjadi beban baru bagi para pekerja.

Berbeda dengan Tapera, MLT BPJS Ketenagakerjaan menempatkan seluruh kelas pekerja yang tergabung dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sebagai penerima MLT jika mengajukan. Kebijakan sosial yang adaptif dan sesuai permintaan (on-demand) ini dapat dimanfaatkan oleh kelas menengah untuk mendapatkan akses penyediaan rumah jika membutuhkan.

Sebaliknya, perluasan manfaat tersebut bisa digunakan untuk hal lain sesuai koridor kebijakannya jika si pekerja sudah memiliki rumah. Penyediaan pilihan kebijakan ini menjadi perlakuan yang penting untuk kelas menengah dengan tanpa memaksakan partisipasi dan memberikan beban tambahan.

Faktor lain yang krusial adalah pengaruh Tapera terhadap daya beli masyarakat. Mewajibkan iuran Tapera memberikan dampak yang kontraproduktif dengan peta jalan menuju Indonesia Maju 2045. Selama ini, kelas menengah Indonesia menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi melalui konsumsinya yang tumbuh 12 persen setiap tahun 2002. Dalam logika sederhana, iuran Tapera akan memangkas alokasi konsumsi rumah tangga dan menurunkan daya beli masyarakat.

Pada akhirnya, pemerintah memang perlu menjawab permasalahan backlog perumahan atau defisit ketersediaan rumah milik dan layak huni. Namun, memaksakan partisipasi kelas menengah sebagai penabung mulia Tapera di tengah minimnya perlindungan untuk mereka justru memberikan impitan baru.

Alih-alih mengedepankan semangat gotong royong, kebijakan penyediaan perumahan perlu menyediakan pilihan berdasarkan permintaan yang melibatkan berbagai pihak, terutama pihak swasta. Menuju Indonesia Maju 2045, kelas menengah perlu untuk dilindungi bukan diimpit.

Muhammad Syaeful Mujab, Delegasi KTT Pemuda G20 Brasil; Inisiator Generasi Perintis

  Kembali ke sebelumnya