Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI : Sangat Disayangkan Jika Revisi UU KPK Hanya untuk Perjelas Kewenangan Dewas
Tanggal 13 Juni 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi III
Isi Artikel

Rencana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang hanya untuk mengatur kewenangan Dewan Pengawas KPK dinilai sangat disayangkan. Pasalnya, tidak sebanding dengan masalah yang dihadapi KPK saat ini. Sebab, revisi undang-undang seharusnya dapat digunakan untuk mengembalikan KPK sebagai lembaga negara yang bersifat independen dan kuat.

Namun, jika tetap dipaksakan merevisi, kewenangan Dewas perlu diperkuat salah satunya dengan memasukkan kewenangan untuk dapat memecat pimpinan KPK yang terbukti melanggar etik berat. Kewenangan tersebut juga harus dilengkapi dengan mekanisme keberatan atas putusan etik tersebut.

 

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan, keberadaan Dewas KPK dinilai belum efektif dalam menegakkan etik di KPK. Sejak dibentuk pada akhir 2019, Dewas tidak memiliki kewenangan untuk memberi sanksi etik berat berupa pemberhentian tetap, namun hanya meminta yang bersangkutan untuk mengundurkan diri saja.

Baca juga: Tak Diduga KPK Alokasikan Dana Rp 2,1 Miliar untuk Revisi UU KPK

Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman

DOKUMENTASI PRIBADI ZAENUR ROHMAN

Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman

”Saya lihat problem lemahnya Dewas itu karena dia tidak dibekali dengan kegunaan untuk memberhentikan pimpinan KPK yang melanggar etik berat yang pertama. Sehingga kurang dianggap oleh pimpinan,” kata Zaenur saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (12/6/2024).

Sebelumnya, ide merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK kembali mencuat oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dalam sepekan terakhir. Terbatasnya wewenang Dewan Pengawas sehingga tak bisa sepenuhnya mengawasi pimpinan KPK menjadi argumentasi yang digunakan.

Saya lihat problem lemahnya Dewas itu karena dia tidak dibekali dengan kegunaan untuk memberhentikan pimpinan KPK yang melanggar etik berat yang pertama sehingga kurang dianggap oleh pimpinan.

Misalnya, Ketua Dewas KPK Tumpak H Panggabean saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR mengaku, terbatasnya wewenang Dewas sebagaimana diatur pada UU KPK mengakibatkan kinerja Dewas terkendala. Kinerja itu, terkait penanganan laporan dugaan pengaduan pelanggaran kode etik dan kode perilaku insan KPK serta sinergi kerja dengan pimpinan KPK.

Hambatan lain juga terjadi pada lembaga yang dibentuk atas hasil revisi UU KPK pada 2019 itu, salah satu yang paling mencolok adalah resistensi pimpinan KPK ketika terlibat dalam dugaan pelanggaran etik yang ditangani Dewas (Kompas.id, 6/6/2024).

Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango (kiri) didampingi Wakil Ketua KPK (kanan ke kiri) Johanis Tanak, Nurul Ghufron, dan Alexander Marwata mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR terkait anggaran untuk 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2024).

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango (kiri) didampingi Wakil Ketua KPK (kanan ke kiri) Johanis Tanak, Nurul Ghufron, dan Alexander Marwata mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR terkait anggaran untuk 2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/6/2024).

Tumpang tindih kewenangan

Sementara itu, dalam rapat kerja KPK bersama Komisi III DPR, Kamis (11/6/2024), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan, poin utama revisi UU KPK adalah memperjelas kedudukan kelembagaan Dewan Pengawas (Dewas) KPK dan pimpinan KPK.

Ia merasa saat ini terdapat 10 pimpinan KPK. Padahal, secara aturan hanya 5 orang yang menjadi pimpinan KPK, di antaranya satu ketua merangkap anggota dan empat wakil ketua merangkap anggota.

Alex pun mencontohkan dilema yang dialami stafnya ketika ada undangan rapat pimpinan KPK dan panggilan Dewas KPK pada waktu bersamaan. Staf bingung apa yang harus didahulukan. Di sisi lain, Dewas KPK juga bisa menghubungi staf KPK tanpa melalui mekanisme pimpinan KPK.

Dewas KPK perlu ditegaskan sebagai komisioner di perusahaan. Ini mirip seperti Komisi Kejaksaan (Komjak) atau Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Menurut Alex, Dewas KPK tidak di atas pimpinan KPK selaku penanggung jawab lembaga. Dewas KPK perlu ditegaskan sebagai komisioner di perusahaan. Ini mirip seperti Komisi Kejaksaan (Komjak) atau Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Alasannya, KPK sudah memiliki inspektorat yang menangani masalah teknis. Alex melihat adanya tumpang-tindih kewenangan antara Dewas dan inspektorat. Hal ini kerap menimbulkan gesekan dalam instansi. Karena itu, ia menganggap seolah terdapat 10 pimpinan KPK karena ketambahan personel Dewas KPK.

Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan Panggabean (kanan) didampingi anggota Dewas KPK, Albertina Ho, hendak memimpin sidang etis putusan kasus pungli terhadap tahanan rutan KPK dengan terperiksa Plt Karutan KPK 2021, Ristanta, Koordinator Kamtib Rutan KPK, Sopian Hadi, dan Karutan KPK, Achmad Fauzi, Rabu (27/3/2024).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan Panggabean (kanan) didampingi anggota Dewas KPK, Albertina Ho, hendak memimpin sidang etis putusan kasus pungli terhadap tahanan rutan KPK dengan terperiksa Plt Karutan KPK 2021, Ristanta, Koordinator Kamtib Rutan KPK, Sopian Hadi, dan Karutan KPK, Achmad Fauzi, Rabu (27/3/2024).

Kembalikan independensi KPK

Melihat hal tersebut, Zaenur mengatakan, jika DPR dan pemerintah memaksakan untuk merevisi UU KPK terkait kewenangan Dewas maka cukup ditambah saja dengan salah satu poin kewenangan yakni dapat memberhentikan pimpinan KPK yang melanggar kode etik berat.

Zaenur juga beranggapan, selama ini juga tidak ada tumpang-tindih kewenangan antara Dewas dan inspektorat. Sebab, Dewas telah ditempatkan sebagai lembaga yang bertugas menegakkan kode etik lembaga antirasuah.

Namun, revisi undang-undang KPK akan disayangkan dan tidak sepadan jika hanya untuk merevisi kewenangan Dewas. Seharusnya, kesempatan revisi UU KPK itu bisa digunakan untuk mengembalikan independensi KPK.

Baca juga: Korupsi Menggerus Kepercayaan Publik

Apalagi, saat ini, KPK penuh dengan masalah korupsi di internal, pelanggaran etik, kinerja yang buruk, dan hilangnya independensi sebagai lembaga penegak hukum. Akar dari sejumlah persoalan itu adalah substansi dasar UU KPK yang menempatkan lembaga antirasuah sebagai bagian dari rumpun eksekutif.

”KPK mesti dikeluarkan dari rumpun kekuasaan eksekutif, kemudian kembalikan kewenangan-kewenangan yang merupakan keuangan sebuah lembaga negara yang bersifat independen,” kata Zaenur.

Kini, persoalannya kembali pada pemerintah dan DPR, inginkah KPK benar-benar kuat dan independensi lagi seperti harapan masyarakat?

 
 
Editor:
SUHARTONO
  Kembali ke sebelumnya