Judul | Bumi Kian Panas, Petani Tertekan Fisik dan Mental |
Tanggal | 15 Juni 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Adaptasi panas |
AKD |
- Komisi VII |
Isi Artikel | Pemanasan global telah mengancam kesehatan petani, tetapi hal ini luput dari perhatian. Oleh
AHMAD ARIF
JAKARTA, KOMPAS — Suhu yang memanas dan mencapai rekor terpanas dalam setahun terakhir menjadi tantangan besar bagi petani di sejumlah sentra produksi padi di Pulau Jawa. Selain lebih banyak beristirahat karena gampang lelah, panas yang menyengat juga meningkatkan risiko kesehatan di kalangan petani. Para petani yang ditemui di sejumlah sentra produksi padi di Subang dan Indramayu, Jawa Barat, hingga Tegal dan Klaten, Jawa Tengah, pada 12-15 Juni 2024, mengeluhkan suhu yang terasa semakin panas dalam beberapa tahun terakhir. ”Tahun-tahun ini memang terasa sekali panasnya. Terutama tahun 2023, itu terasa sekali panasnya,” kata Tarsono (38), petani padi dari Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu. Tarsono, yang aktif di Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (PPTPI) Indramayu ini, mengatakan, selain cuaca yang tidak menentu sehingga sering menyebabkan gagal tanam dan gagal panen, suhu panas menjadi ancaman bagi petani. Sekalipun demikian, tekanan panas ini jarang menjadi perhatian. Baca juga: Bumi Bukan Lagi Memanas, tetapi Mulai Mendidih ”Padahal, petani sekarang benar-benar terganggu dengan suhu yang semakin panas ini karena pekerjaan kami memang di luar rumah,” katanya. Untuk menyiasati suhu panas ini, menurut Tarsono, para petani di Indramayu saat ini mengubah jam kerja. Mereka datang ke sawah lebih dini, biasanya sekitar pukul 06.00, dan pulang ke rumah maksimal pukul 11.00. Para petani biasa kembali ke sawah setelah pukul 15.00. Selain itu, para petani juga butuh lebih banyak istirahat. ”Kalau dulu kerja setengah hari istirahat sekali, sekarang bisa dua sampai tiga kali,” lanjutnya. KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO Sawah di Desa Wlahar Wetan, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah, mengalami kekeringan karena tidak mendapat hujan dan air dari embung di dekatnya surut, 5 Juli 2019. Sekitar 6 hektar sawah di sana terancam gagal panen. Akibat paparan panas ini, ujar Tarsono, produktivitas kerja juga menurun. ”Dulu biasanya panen padi satu bahu (sekitar 7.000 meter persegi) bisa selesai beberapa jam. Sekarang sampai seharian belum selesai,” ucapnya. Tak hanya di siang hari, suhu panas juga terjadi di malam hari dan menyebabkan waktu istirahat terganggu. ”Beberapa tahun terakhir ini, semakin banyak orang di sini yang terpaksa pasang AC karena tidak tahan lagi dengan panas. Pakai kipas angin saja tidak cukup. Akibatnya, biaya listrik juga tambah,” katanya.
Tarsono menceritakan, sekitar lima tahun lalu, seorang petani muda di desanya meninggal sepulang dari bekerja di sawah. ”Saat itu musim panas, dia habis mengambil rumput. Pulang-pulang langsung mandi, tapi tak lama kemudian jatuh dan meninggal. Katanya kena stroke,” katanya. Keluhan mengenai suhu yang semakin panas juga disampaikan Fitriawati (45), perempuan petani dari Desa Jembayat, Kecamatan Margasari, Tegal. ”Kalau dulu biasanya kerja setengah hari istirahat sekitar pukul 09.00 saja, sekarang tani perempuan minimal istirahat dua kali kali. Kalau laki-laki malah sampai tiga kali. Panasnya tidak bisa nahan lagi,” ujarnya. Fitriawati menambahkan, suhu panas juga dialami pada malam hari. ”Tapi kalau saya tidak bisa pasang AC. Listriknya tidak kuat, pakai kipas angin saja,” katanya. KOMPAS/AHMAD ARIF Mardiono (54), petani sayur dari Kampung Baru, Kelurahan Teluk Bayur, Teluk Bayur, Berau, Kalimantan Timur, mencangkul di ladangnya. Kenaikan suhu di Berau yang mencapai 0,95 derajat celsius dalam 16 tahun terakhir membuat para petani di Kampung Baru terpaksa mengubah jam kerja menjadi pagi sebelum pukul 09.30 dan sore hingga malam hari untuk menghindari paparan panas. Sutanto (72), petani dari Kelurahan Temu Wangi, Kecamatan Pedan, Klaten, mengatakan, selain panas, udara juga terasa gerah. ”Seumur-umur jadi petani, memang tahun-tahun ini terasa paling panas,” katanya. Sutanto mengaku kerap menaruh es batu di balik bajunya saat bekerja di sawah. ”Untuk mengurangi panas,” imbuhnya. Paparan panas terik ini juga dikeluhkan pasangan petani dari Kelurahan Temu Wangi, Kecamatan Pedan, Tri Joko (51) dan Maryanti (47). ”Botol air tidak bisa lepas kalau ke sawah. Setiap geser harus minum,” ujarnya. Tri memiliki kenangan buruk dengan paparan panas ini. Ayahnya dua tahun lalu meninggal saat bekerja di sawah. ”Saat itu cuaca sangat panas. Ayah mau nyemprot kacang hijau. Tapi, ditemukan sudah tergeletak dan dibawa pulang, belum sampai ke rumah sudah meninggal. Mungkin karena uap panas atau angin, almarhum menghirup racun pestisida,” katanya. Baca juga: Berau Memanas, Petani Bekerja Malam Hari Menurut Maryanti, selain ayahnya, setidaknya ada dua petani lain yang meninggal di sawah dalam lima tahun terakhir. ”Kejadiannya juga saat siang panas, petani panen jagung di desa tetangga mendadak jatuh dan meninggal di sawah. Ada juga petani meninggal tiga tahun lalu saat panen kacang hijau,” katanya. Beban berat petaniKoordiantor Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, dampak panas pada petani selama ini jarang diperhatikan. ”Sering kali kalau bicara perubahan iklim kita hanya melihat penurunan produktivitas tanaman akibat cuaca. Jarang sekali diperhatikan nasib petani yang harus bekerja di luar ruangan dalam paparan panas,” tuturnya. Menurut Said, beberapa insiden kematian petani saat bekerja di sawah juga perlu menjadi perhatian. Apalagi, sebagian besar petani padi di Jawa berusia lanjut karena minimnya minat anak muda terjun ke dunia pertanian. ”Dampak lain dari tekanan panas ini juga pada kondisi mental. Banyak petani yang kemarin saya temui di Subang dan Karawang juga mengeluhkan dampak psikis ini. Tetapi, memang data dan penelitian mengenai hal ini masih sangat kurang,” katanya. KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO Para petani di Desa Brobot, Purbalingga, Jawa Tengah, memanen padi, Selasa (23/3/2021). Laporan penelitian Timothy M Lenton dari Global Systems Institute, University of Exeter, Inggris, dan Chi Xu dari School of Life Sciences, Nanjing University, China, serta tim di jurnal Nature Sustainability pada Senin (22/5/2023) menunjukkan, suhu global yang terus memanas mengancam kesehatan manusia dan pada akhirnya mempersempit ruang hidup manusia di Bumi. Dengan proyeksi kenaikan suhu Bumi hingga 2,7 derajat celsius pada akhir abad ini, peneliti telah menghitung setidaknya 2 miliar orang bakal tinggal di zona yang terlalu panas dan sulit untuk ditinggali. Indonesia berada di urutan ketiga negara dengan jumlah penduduk paling berisiko terpapar kenaikan suhu global ini, yaitu lebih dari 100 juta orang bakal tinggal di luar relung iklim manusia. Baca juga: Bumi Memanas, Ruang Hidup Menyempit Annabelle Workman dan Kathryn Bowen dari Melbourne Climate Futures and Melbourne School of Population and Global Health, The University of Melbourne, menanggapi temuan Lenton ini dalam tulisan di The Conversationpada Selasa (23/5/2023) dari aspek kesehatan. Menurut mereka, panas yang ekstrem dapat memiliki efek langsung pada tubuh, seperti dehidrasi dan heat stroke. Kelompok yang paling berisiko termasuk lanjut usia dan mereka yang sudah tidak sehat. Menurut mereka, panas ekstrem juga dapat membahayakan kesehatan mental serta meningkatkan risiko cedera dan kematian dengan memperparah penyakit mental yang sudah ada. Di luar efek langsung, panas dapat memengaruhi kesehatan secara tidak langsung melalui, misalnya, produktivitas pertanian, keamanan air, dan kualitas udara yang menurun. Rekor panasData lembaga pemantau iklim dunia telah mencatat, peningkatan suhu global terus berlanjut. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, analisis dari 115 stasiun pengamatan di Indonesia, suhu udara rata-rata bulan Mei 2024 adalah 27,77 derajat celsius. Kondisi normal suhu udara klimatologis untuk periode 1991-2020 di Indonesia adalah 26,99 derajat celsius. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, suhu udara rata-rata pada Mei 2024 menunjukkan anomali positif dengan nilai 0,78 derajat celsius. Ini merupakan nilai anomali tertinggi sepanjang periode pengamatan sejak 1981. Baca juga: Bersiaplah Menghadapi Rekor Panas pada 2024 Terbaru, ilmuwan NASA menemukan bahwa Mei 2024 merupakan bulan Mei dengan suhu terpanas yang pernah tercatat, menandai satu tahun penuh suhu bulanan mencapai rekor tertinggi. ”Jelas kita sedang menghadapi krisis iklim. Masyarakat di seluruh Amerika dan seluruh dunia merasakan panas ekstrem secara langsung dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata administrator NASA, Bill Nelson, dalam keterangan terbaru. Menurut analisis NASA, garis dasar suhu ditentukan dalam beberapa dekade atau lebih, biasanya 30 tahun. Suhu global rata-rata selama 12 bulan terakhir, menurut data mereka, mencapai 1,30 derajat celsius di atas garis dasar abad ke-20 (1951 hingga 1980). Suhu ini sedikit di atas tingkat 1,5 derajat celsius dibandingkan rata-rata akhir abad ke-19. Rekor suhu yang mencapai angka tersebut sejalan dengan tren pemanasan jangka panjang yang didorong aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca. Tren ini telah menjadi bukti selama empat dekade terakhir, dengan 10 tahun terakhir berturut-turut menjadi dekade terpanas sejak pencatatan dimulai pada akhir abad ke-19. Sebelum rekor suhu tertinggi selama 12 bulan berturut-turut ini, rekor suhu terpanjang kedua terjadi selama tujuh bulan antara tahun 2015 dan 2016. ”Kita mengalami hari-hari yang lebih panas, bulan-bulan yang lebih panas, tahun-tahun yang lebih panas,” kata Kate Calvin, kepala ilmuwan dan penasihat iklim senior NASA. ”Kita tahu bahwa peningkatan suhu ini didorong oleh emisi gas rumah kaca dan berdampak pada manusia dan ekosistem di seluruh dunia.”
|
Kembali ke sebelumnya |