Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Salah Kaprah ”Cost Recovery” dan Produksi Minyak Bumi
Tanggal 07 Juni 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Energi
AKD - Komisi VII
- Komisi XI
Isi Artikel

Pemerintah mengusulkan kenaikan ”cost recovery”, sedangkan target ”lifting” minyak bumi turun. Apakah linier?

Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA

Rapat kerja pemerintah dan Komisi VII DPR terkait asumsi dasar sektor energi dan sumber daya mineral dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, Rabu (5/6/2024), lebih banyak mengulas mengenai minyak bumi. Bukan hanya realisasi produksi minyak yang terus melorot, melainkan juga biaya operasi yang dipulihkan atau cost recovery yang justru meningkat. Terasa kontradiktif. Namun, benarkah ada kontradiksi?

Cost recovery adalah biaya operasional yang dikeluarkan lebih dulu oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, serta produksi minyak dan gas bumi (migas). Apabila berhasil, biaya itu bakal diganti pemerintah. Artinya, pendapatan dari produksi dikurangi cost recovery lebih dulu baru dilakukan split (pembagian) berdasarkan kontrak bagi hasil (PSC) antara pemerintah dan KKKS.

 

Di samping cost recovery, ada juga pilihan skema gross split. Skema gross split berarti kontrak semua biaya operasi ditanggung oleh KKKS. Saat bagi hasil produksi pemerintah dan KKKS tidak ada pemotongan biaya lebih dulu.

Dalam raker di Kompleks Parlemen, Jakarta, itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengusulkan lifting minyak bumi pada RAPBN 2025 sebesar 580.000-601.000 barel per hari. Target itu lebih rendah dari APBN 2022 yang mencapai 703.000 barel per hari, 2023 sebanyak 660.000 barel per hari, dan 2024 sebesar 635.000 barel per hari. Angka-angka itu juga berkaitan dengan realisasi produksi yang terus menurun.

Baca juga: Produksi Minyak Indonesia Belum Sesuai Harapan

Sementara realisasi cost recovery hingga bulan Mei 2024 sebesar 2,51 miliar dollar AS atau 30 persen dari target APBN yang sebesar 8,25 miliar dollar AS. Adapun perkiraan pada 2024 sebesar 8,26 miliar dollar AS. Adapun cost recovery pada RAPBN 2025 diusulkan sebesar 8,5 miliar-8,7 miliar dollar AS.

Sumur eksplorasi East Pondok Aren-001, yang dikelilingi lahan pertanian di Desa Sukawijaya, Tambelang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (23/12/2023). PT Pertamina Hulu Energi baru saja menemukan cadangan minyak bumi  92,79 juta barel setara minyak (MMBOE) di sumur tersebut. KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Sumur eksplorasi East Pondok Aren-001, yang dikelilingi lahan pertanian di Desa Sukawijaya, Tambelang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (23/12/2023). PT Pertamina Hulu Energi baru saja menemukan cadangan minyak bumi 92,79 juta barel setara minyak (MMBOE) di sumur tersebut.

Belum puas dengan pemaparan itu, Komisi VII DPR bersepakat untuk mendalami lebih dulu usulan angka-angka yang disampaikan pemerintah, khususnya terkait lifting migas dan cost recovery.

Rapat dengar pendapat (RDP) pun berlanjut dengan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE), Kamis (6/6/2024).

Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryadi, mengaku kecewa dengan kenyataan lifting minyak bumi yang terus menurun. ”Jangan sampai terkesan di publik ini hanya mainan pengadaan saja. Kinerja tidak naik, tetapi cost recovery terserap habis. Pengadaan barang dan jasa besar, tetapi produksinya tidak naik-naik, bahkan turun,” ujarnya dalam RDP tersebut.

Baca juga: Target ”Lifting” Minyak Bumi Anjlok, ”Cost Recovery” Melambung

Anggota Komisi VII DPR dari Frakasi Partai Amanat Nasional, Nasril Bahar, menuturkan, kenaikan cost recovery tidak berbanding lurus dengan lifting minyak bumi yang justru melorot. Menurut dia, hal tersebut harus diperjelas. Jika kondisi itu terus berlangsung tahun demi tahun, bisa-bisa pada satu titik Indonesia menjadi negara yang sepenuhnya bergantung pada impor minyak bumi.

 

https://cdn-assetd.kompas.id/yFKY74DHZqi4SWD4BEl7MLJHex8=/1024x1058/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F27%2F111afc69-4e4e-493d-97fa-4656f2606edc_png.png

Beban tahun sebelumnya

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengklarifikasi bahwa pada 2020-2023, angka cost recovery cenderung menurun. Rinciannya yakni 8,1 miliar dollar AS pada 2020, 7,8 miliar dollar AS pada 2021, 7,9 miliar dollar AS pada 2022, dan 7,7 miliar dollar AS pada 2023. Adapun outlook cost recovery pada 2024 memang naik menjadi 8,3 miliar dollar AS.

Kenaikan itu, kata Dwi, diakibatkan adanya biaya yang tidak bisa dibayarkan (uncovered cost) pada tahun-tahun sebelumnya. ”(Sehingga) Masuk menjadi beban di tahun berjalan. Pada 2024 memang ada kenaikan. Kami berupaya agar eksplorasi dan pengembangan itu tinggi agar ada temuan-temuan cadangan (migas) dan pengembangan. Untuk biaya produksi, kami terus lakukan efisiensi-efisiensi,” kata Dwi.

Dwi menjelaskan, dalam skema cost recovery, bagi hasil produksi antara pemerintah dan KKKS dilakukan setelah revenue dipotong biaya operasi serta sejumlah pengeluaran lain, termasuk untuk daerah. Sementara dalam skema gross split, biaya operasi dipikul sepenuhnya oleh KKKS.

Untuk biaya produksi, kami terus lakukan efisiensi-efisiensi.

Dengan demikian, persentase pemerintah dalam bagi hasil skema cost recovery pasti lebih besar ketimbang gross split. ”Kalau cost recovery berkisar 60-70 persen pemerintah (sisanya KKKS). Sementara pada gross split, bagian pemerintah bisa 15-30 persen. Ini (berbeda-beda), bergantung dari keekonomian dari setiap lapangan (migas),” katanya.

Ia menambahkan, pada tahun-tahun berikutnya akan ada perubahan pada sejumlah wilayah kerja migas, dari sebelumnya gross split menjadi cost recovery. ”Karena pada gross split, terasa betul KKKS tak bisa gerak, tak bisa laksanakan aktivitas. Oleh karena itu, mereka mengajukan perubahan ke cost recovery,” ujar Dwi.

Berdasarkan data SKK Migas, lifting minyak Indonesia pada 2023 sebanyak 605.000 barel per hari atau di bawah target APBN 2023 yang 660.000 barel per hari. Kondisi itu mau tak mau membuat impor minyak mentah dan BBM berpotensi meningkat.

 

Pekeja beraktivitas di sumur eksplorasi East Pondok Aren-001 di Desa Sukawijaya, Tambelang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (23/12/2023). KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pekeja beraktivitas di sumur eksplorasi East Pondok Aren-001 di Desa Sukawijaya, Tambelang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (23/12/2023).

Tidak linier

Praktisi sekaligus pemerhati migas, Hadi Ismoyo, dihubungi Jumat (7/6/2024), menjelaskan, perlu dipahami bahwa industri migas di Indonesia telah berlangsung lebih dari 50 tahun. Hal itu membuat sekitar 70 persen lapangan migas sudah tua (mature). Sebagai perumpamaan, manusia yang sudah tua umumnya akan membutuhkan biaya kesehatan yang lebih tinggi ketimbang yang muda.

Lifting cost Pertamina, yang menguasai sekitar 70 persen produksi minyak di Indonesia bisa 20-30 dollar AS per barel. Itu sebagian besar kan cost recovery. Beda dengan lapangan-lapangan baru seperti di Blok Cepu yang bisa di bawah 5 dollar AS per barel. Itulah mengapa cost recovery naik tetapi produksi kita segitu-segitu saja. Sebab, ini juga berkaitan dengan perawatan sumur, pipa, dan lainnya,” ujar Hadi.

Ia menambahkan, saat ada cost recovery yang belum terbayarkan pada tahun sebelumnya dapat di-carryover pada produksi tahun berjalan. Dengan demikian, tak berarti cost recovery tinggi seharusnya membuat produksi meningkat. Terlebih dengan kondisi lapangan yang sudah tua dan terjadi penurunan produksi secara alamiah. Apabila produksi meningkat dan tinggi, biaya cost recovery tidak akan terasa.

”Jadi, tidak linier antara cost recovery dan produksi migas,” katanya.

Problem utama laju penurunan produksi minyak bumi di Indonesia, kata Hadi, ialah kurang giat dan agresifnya pemerintah dalam melakukan eksplorasi migas dalam 5-10 tahun terakhir. Kurangnya eksplorasi baru, untuk menemukan cadangan-cadangan minyak baru, membuat produksi akan terus stagnan, bahkan menurun.

Baca juga: "Gross Split" sebagai Alternatif

”Kunci untuk meningkatkan produksi itu utamanya ada dua, yakni eksplorasi dan EOR (enhanced oil recovery/pengurasan minyak tingkat lanjut). Untuk eksplorasi, padahal kita masih punya 68 cekungan yang belum dieksplorasi. Sementara EOR pelaksanaannya juga belum optimal,” ujarnya.

Lanskap kawasaan sumur eksplorasi East Pondok Aren-001 di Desa Sukawijaya, Tambelang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (23/12/2023). KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Lanskap kawasaan sumur eksplorasi East Pondok Aren-001 di Desa Sukawijaya, Tambelang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (23/12/2023).

Dalam industri migas, tidak bisa diberlakukan bagaimana agar biaya produksi ditekan sekecil-kecilnya untuk mendapat hasil yang besar. Sebab, industri migas memerlukan investasi besar disertai risiko yang juga besar (high capital and high risk).

”Kita butuh engagement dengan pemain-pemain (migas) besar dunia. Kalau tidak ada yang mau eksplorasi di 68 potensi cekungan, ya sulit. Jadi, kalau sekarang kita mengalami penurunan produksi, itu buah dari kebijakan 5-10 tahun lalu yang kurang agresif melakukan eksplorasi,” kata Hadi.

Bagaimanapun, publik perlu mendapat penjelasan saat bagian negara terus berkurang karena cost recovery meningkat. Namun, perlu dilihat secara utuh mengapa laju penurunan produksi minyak terus terjadi, termasuk realitas bahwa sejumlah perusahaan migas hengkang dari Indonesia. Perlu ada upaya serius dalam kepastian regulasi dan hambatan birokrasi yang berpengaruh pada iklim investasi.

 

 
  Kembali ke sebelumnya