Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Potensi Angkutan Kota sebagai Sistem Transportasi Perkotaan Modern
Tanggal 12 Juli 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Pengangkutan
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Mayoritas perkotaan telah memiliki jaringan angkutan kota yang dapat direvitalisasi sebagai sarana transportasi modern.

Oleh YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA

Meskipun sudah menunjukkan perkembangan, sarana angkutan perkotaan di Indonesia masih jauh dari kata cukup. Keterbatasan anggaran kerap menjadi alasan di balik lambatnya pengembangan sistem transportasi umum di wilayah perkotaan. Padahal, mayoritas kota di Indonesia telah memiliki jaringan angkutan kota atau angkot yang sangat potensial direvitalisasi sebagai sarana angkutan yang modern dan murah.

Masyarakat Indonesia diprediksi akan semakin terpusat di wilayah perkotaan. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan dua dari tiga masyarakat Indonesia (66,6 persen) hidup di area perkotaan pada tahun 2035. Bila dikali dengan proyeksi penduduk Indonesia di tahun itu, akan ada sekitar 205,5 juta penduduk republik ini yang memadati kawasan urban.

Fenomena urbanisasi yang sedemikian pesat itu diprediksi akan memunculkan sentra-sentra perekonomian baru di penjuru Indonesia. Kawasan metropolitan seperti Jabodetabek pun diperkirakan segera tumbuh di sejumlah daerah. Beberapa kawasan yang sudah mulai menunjukkan geliatnya di antaranya Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, Purwodadi) di Jawa Tengah, Gerbangkertosusilo (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) di Jawa Timur, dan Mebingdaro (Medang, Binjai, Deli, Serdang, dan Karo) di Sumatera Utara.

Keterbatasan fiskal daerah

Namun, potensi pertumbuhan ekonomi kawasan tersebut tidak akan optimal bila tidak diiringi dengan tersedianya sistem angkutan umum yang modern. Laporan dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia menyebutkan hanya 25 persen atau satu dari empat wilayah perkotaan di Indonesia yang memiliki sistem layanan transportasi publik modern pada 2023.

Padahal, tanpa layanan transportasi umum yang modern dan terintegrasi, mobilitas warga intra dan interkota akan terhambat karena kemacetan. Sebagai contoh, pemerintah menghitung bahwa kerugian akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta bisa menghasilkan kerugian hingga Rp 100 triliun per tahun (Kompas.id, 3/11/2022).

Pemerintah sejatinya telah menyadari urgensi membangun sistem transportasi umum modern di wilayah perkotaan Indonesia. Bahkan, hal ini menjadi bagian utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Masalahnya, kemampuan fiskal pemerintah daerah kerap dipandang sebagai salah satu tantangan terberat dalam penyediaan angkutan massal modern.

https://cdn-assetd.kompas.id/9w0tCW7tShlVQvUJOTVe15-YAa4=/1024x753/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F11%2Fd5eb3228-29e8-4bd7-806c-09c7eff95456_png.png

Merujuk pada paparan Kementerian Perhubungan bertajuk ”Penyediaan Layanan Angkutan Perkotaan Berbasis Jalan”, modal yang dibutuhkan untuk membangun jaringan mass rapid transportation (MRT) mencapai Rp 1,6 triliun per kilometer. Sementara itu, modal pembangunan sistem light rail transit (LRT) ditaksir sekitar Rp 368 miliar per kilometer.

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka hanya kapasitas fiskal Jakarta sebesar Rp 35,2 triliun yang mampu membangun sistem transportasi berbasis dua moda tersebut. Sementara kemampuan fiskal kota lainnya terbatas pada rentang Rp 2 triliun-Rp 5,2 triliun. Adapun kapasitas fiskal yang dimaksud adalah kemampuan pinjaman dari pemerintah daerah untuk mendanai proyek pembangunan.

Potensi angkot

Meski demikian, membangun sistem transportasi umum modern tidak harus berorientasi pada moda berbasis rel seperti MRT atau LRT. Indonesia sejatinya tidak kekurangan alternatif moda angkutan massal yang dapat direvitalisasi menjadi sistem yang modern. Salah satu potensi terbesar terletak pada moda transportasi perkotaan, angkot.

Boleh dikatakan, hampir seluruh wilayah urban di Indonesia memiliki jaringan angkot yang ekstensif dan menjangkau wilayah kota secara menyeluruh. Kota Bogor, sebagai contoh, memiliki 3.065 unit angkot pada 2023. Sementara, total panjang jalan di ”Kota Hujan” tersebut mencapai 859,9 kilometer tahun 2022.

Dengan demikian, bila seluruh unit angkot di kota tersebut disebar secara merata dalam satu waktu, akan terdapat satu unit angkot setiap 280 meter jalan di Kota Bogor. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa secara kuantitas, angkot bisa menjawab kebutuhan jaringan angkutan massal perkotaan yang menjangkau semua wilayahnya.

Meski unggul dalam kuantitas, angkot memiliki kelemahan dalam kualitas. Hal ini karena layanan transportasi publik itu mayoritas dikelola oleh perusahaan perorangan dengan sistem kerja yang beragam. Kendati sudah ada aturan mengenai standar minimal dan kriteria layanan, pemerintah tak ayal kesulitan memonitor ribuan unit angkot yang ditangani oleh begitu banyak operator itu. Tidak heran, angkot kerap lekat dengan kondisi kendaraan yang rusak, sopir ugal-ugalan karena mengejar setoran, dan tradisi ngetem yang menjadi biang kemacetan.

https://cdn-assetd.kompas.id/rSMONmsMwTEkoyFO-VFbi-lYGOo=/1024x682/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F11%2F13f4de63-d897-4fd8-9781-44f139d04bb9_png.png

Meskipun demikian, bukan mustahil mengubah angkot menjadi sebuah sistem transportasi masal modern yang memenuhi standar kriteria pelayanan yang aman, nyaman, andal, terjangkau, dan berkelanjutan. Hal ini dapat dibuktikan oleh Kota Jakarta melalui Mikrotrans yang terintegrasi dalam sistem Jaklingko.

Merujuk pada data yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi Kota Jakarta, layanan Mikrotrans dapat mengangkut hingga 451.749 penumpang per hari pada kurun triwulan I-2024. Para pelanggan tersebut dilayani oleh 2.746 unit Mikrotrans yang beroperasi di 94 trayek. Artinya, tiap unit Mikrotrans secara rata-rata mampu melayani 165 penumpang per harinya.

Dengan produksi penumpang sebesar itu, layanan Mikrotrans telah berkontribusi hingga 46,99 persen dari total penumpang seluruh layanan Transjakarta yang ada sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa layanan Mikrotrans yang notabene menggunakan kendaraan kecil atau angkot mampu menjadi tulang punggung sistem angkutan massal berbasis jalan di wilayah perkotaan sebesar Jakarta. Kesuksesan ini tentu tak bisa dilepaskan dari sejumlah faktor yang melatarbelakanginya.

Satu keunggulan penerapan sistem Mikrotrans adalah biaya pengembangan yang relatif lebih terjangkau dibanding moda transportasi masal modern lainnya. Berdasarkan riset dari Bangun dan Suwandi (2024), sistem Mikrotrans didasarkan pada skema buy the service (BST) atau pembelian layanan dari pemerintah daerah kepada operator angkot yang didanai oleh APBD dalam bentuk subsidi penuh. Nilai kontrak antara pemerintah dan operator lantas dihitung berdasarkan rupiah per kilometer.

Dengan demikian, operator dapat menikmati pendapatan tanpa perlu khawatir terhadap target jumlah penumpang yang diangkutnya. Sementara itu, dengan merangkul operator eksisting, pemerintah tidak perlu bersusah payah membangun sistem dan jaringan transportasi umum dari nol. Alhasil, nilai anggaran yang dibutuhkan pun jauh lebih kecil dibandingkan pembangunan transportasi umum modern lain seperti MRT, LRT, atau bahkan bus rapid transit (BRT) sekalipun.

Berdasarkan katalog digital Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), nilai kontrak operator Mikrotrans berkisar Rp 5.000-Rp 6.000 per kilometer tempuh. Lantas, menurut Laporan Tahunan PT Transjakarta tahun 2022, rata-rata jumlah kilometer tempuh per unit armada selama setahun adalah 59.437 kilometer.

Realistis dan terjangkau

Kalkulasi itu menggambarkan nilai anggaran penyelenggaraan per unit Mikrotrans adalah Rp 297 juta-Rp 356 juta per tahun. Bila ditotal dengan seluruh armada Mikrotrans pada 2024, jumlah tersebut mencapai Rp 979,3 miliar per tahun. Namun, perlu diingat bahwa Pemprov DKI Jakarta menggratiskan sepenuhnya layanan Mikrotrans kepada pelanggan. Pun dengan kebijakan seperti ini, total biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan layanan Mikrotrans dalam setahun ditaksir hanya 1,2 persen dari APBD DKI Jakarta 2024 yang mencapai Rp 81,7 triliun.

Nominal itu relatif sepadan dengan manfaat dan keberpihakan yang diterima oleh masyarakat secara luas di Jakarta. Selain dari kuantitas produksi penumpang yang signifikan, skema BTS sangat memudahkan pemerintah meningkatkan kualitas operasional angkutan umum perkotaan. Operasional layanan didasarkan pada kontrak profesional sehingga pemerintah dapat berfokus pada monitoring dan evaluasi standar pelayanan minimal. Aspek-aspek penting, seperti keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan, dapat terus di kontrol serta ditingkatkan.

Sebagai gambaran, ada sejumlah peningkatan kualitas Mikrotrans yang kontras dengan layanan angkot konvensional, di antaranya profesionalitas juru mudi, fasilitas pendingin udara, dan pembayaran nontunai. Layanan Mikrotrans juga tidak melakukan ngetem dan menjaga keteraturan dalam menaikturunkan penumpang hanya pada titik-titik pemberhentian.

Tak hanya itu, dengan diintegrasikan dalam sistem Jaklingko, trayek Mikrotrans terhubung dengan layanan transportasi massal lainnya, seperti MRT, LRT, kereta rel listrik (KRL), dan sesama layanan Transjakarta. Tak terlupa, keunikan inheren Mikrotrans dalam menaklukkan jalan-jalan sempit di area padat penduduk menjadi kekuatan pamungkas layanan ini dalam menggaet pengguna transportasi publik di kota megapolitan tersebut. Kepuasan masyarakat atas inovasi ini tampak dari indeks kepuasan pelanggan terhadap Mikrotrans tahun 2022 yang mencapai 4,15 dari nilai maksimum sebesar 5.

Dengan demikian, penerapan skema BTS dalam merevitalisasi angkot dapat dipandang sebagai cara paling realistis bagi pemerintah daerah dengan kapasitas fiskal yang terbatas untuk mulai memberikan layanan angkutan perkotaan modern. Mengambil kembali Kota Bogor sebagai contoh, bila 1,2 persen APBD 2024 kota tersebut dialokasikan untuk layanan angkot modern, maka akan tersedia dana sekitar Rp 36,37 miliar. Dengan jumlah tersebut, Pemerintah Kota Bogor dapat menyediakan layanan angkot modern gratis sebanyak 122 unit yang berpotensi mengangkut hingga 7,3 juta penumpang per tahun.

Tidak heran, kesuksesan Jakarta dalam merevitalisasi angkot sebagai layanan transportasi publik modern pun telah memotivasi sejumlah daerah lainnya untuk menerapkan hal yang sama. Beberapa kota yang kini memiliki layanan serupa antara lain Kota Semarang (Jawa Tengah) dengan layanan feeder yang menggunakan minibus, Kota Solo (Jateng) dengan angkot feeder Batik Trans Solo, Kota Tangerang (Banten) dengan layanan angkot Si Benteng, dan Kota Palembang (Sumatera Selatan) dengan feeder LRT Musi Emas.

Tren positif itu menunjukkan bahwa sejatinya pemerintah tidak kekurangan alternatif untuk memberikan transportasi umum yang modern kepada masyarakat. Keterbatasan anggaran diharapkan tidak menjadi halangan karena masih banyak ide kreatif untuk mewujudkan aksesibilitas perkotaan yang berpihak kepada seluruh masyarakat. Dengan demikian, wilayah perkotaan di Indonesia dapat semakin berkembang, bergerak, dan menjadi episentrum perekonomian bangsa. (LITBANG KOMPAS)

  Kembali ke sebelumnya