Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Tarif Terintegrasi Dongkrak Okupansi Transportasi Massal
Tanggal 18 Mei 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Sistem tarif terintegrasi dinilai belum optimal. Sinergisitas dan dukungan dari pemerintah masih dibutuhkan.

Oleh RHAMA PURNA JATI

JAKARTA, KOMPAS - Sistem tarif terintegrasi yang diterapkan pada Oktober 2022 terbukti mendongkrak tingkat keterisian moda transportasi di Jakarta terutama mass rapid transit atau MRT. Langkah ini seharusnya diperluas dengan melibatkan kereta rel listrik.

Tarif integrasi ini dihitung apabila penumpang melakukan perjalanan dengan durasi maksimal 180 menit atau tiga jam. Dalam durasi itu, untuk moda berbeda, yakni LRT, MRT dan Transjakarta (Mikrotrans), diberlakukan tarif hingga maksimal Rp 10.000.

 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan besaran tarif itu melalui Keputusan Gubernur No 733 Tahun 2022 tentang Besaran Paket Tarif Layanan Angkutan Umum Massal.

Kepala Divisi Corporate Secretary PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta Ahmad Pratomo, Sabtu (18/5/2024), mengungkapkan, sejak diluncurkan pada Oktober 2022, sistem tarif terintegrasi secara perlahan mampu meningkatkan okupansi. Dari total sekitar 19,7 juta pengguna jasa MRT Jakarta tahun itu, 1,7 persen atau sekitar 39.000 orang menggunakan tarif terintegrasi. ⁠

Pada 2023 jumlahnya melonjak mencapai 464.209 atau 16,01 persen pengguna tarif terintegrasi dari total 33,4 juta pengguna MRT Jakarta tahun itu.

Pada kuartal I tahun 2024, penggunaan sistem terintegrasi sudah mencapai 10,88 persen atau 311.640 pengguna tarif terintegrasi dari 11,6 juta pengguna MRT Jakarta. ”Persentase masih bisa bertambah mengingat masih tersisa beberapa bulan ke depan hingga akhir tahun nanti,” ujar Ahmad.

Data tersebut menunjukkan minat masyarakat menggunakan tarif terintegrasi semakin tinggi. Kondisi itu diharapkan akan dapat meningkatkan juga minat masyarakat menggunakan transportasi massal.

Namun, Ahmad meyakini, jumlah penumpang yang menggunakan tarif terintegrasi akan bertambah jika kampanye dari program ini terus diperluas. Kampanye melalui kanal komunikasi perusahaan, baik dari media sosial maupun informasi langsung, setiap stasiun harus lebih masif. ”Pelibatan komunitas dalam setiap kegiatan juga diperlukan,” ungkap Ahmad.

Yeski Kelsederi (31), warga Jakarta Selatan, jarang menggunakan tarif terintegrasi karena dirinya jarang menggunakan tiga moda transportasi dalam menjalani aktivitas. ”Saya lebih sering menggunakan KRL (kereta rel listrik), berlanjut menggunakan MRT. Setelah itu, langsung ke kantor dengan berjalan kaki,” katanya.

Selain itu, fasilitas ini juga belum terhubung pada KRL sehingga jika harus mengaktivasi kartu uang elektronik untuk bisa menikmati fasilitas ini tentu cukup merepotkan. ”Lebih simpel langsung menempelkan (tap) kartu saja daripada harus mengaktivasi kartu lagi,” lanjutnya.

Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Haris Muhammadun beranggapan, sistem tarif terintegrasi belum optimal karena adanya egosentris antar-perusahaan transportasi yang terlibat di dalamnya. Perusahaan yang terlibat seakan-akan lebih mementingkan pendapatan yang masuk ke perusahaannya dibandingkan mengembangkan tarif terintegrasi.

Apalagi operator tarif terintegrasi Jaklingko seakan dibuat tak berdaya karena statusnya yang masih di bawah Transjakarta dan MRT. Haris menganalogikan, tidak mungkin cucu ikut campur mengenai keuangan orangtua atau neneknya.

Untuk mengatasi masalah ini, Haris menyarankan agar Jaklingko disetarakan statusnya sama seperti Transjakarta atau MRT yang bertanggung jawab langsung kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Dengan begitu, jajaran akan lebih leluasa dalam mengembangkan sistem ini,” ucapnya.

Tidak hanya itu, gaung dari sistem ini sudah seharusnya diintegrasikan dengan KRL yang memiliki wilayah jelajah lebih luas sehingga dampaknya akan lebih terasa.

Menurut dia, sistem tarif terintegrasi sangat cocok diterapkan di Jakarta dan wilayah penyokong (aglomerasi) lainnya untuk mendukung mobilitas masyarakat dan pada akhirnya akan bermuara pada bertumbuhnya perekonomian perkotaan dan daerah sekitarnya.

”Cara ini sudah diterapkan di sejumlah kota maju, seperti Singapura dan Hong Kong. Seharusnya Jakarta bisa berbuat demikian,” kata Haris.

  Kembali ke sebelumnya