Judul | Bukan untuk Hormati Masa Lalu Saja |
Tanggal | 03 Oktober 2024 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Adopsi - Aspek agama - Islam |
AKD |
- Komisi III |
Isi Artikel | Mikul dhuwur, mendhem jero. Pepatah dalam bahasa Jawa itu berarti memikul lebih tinggi, menanam lebih dalam. Itulah cara penghormatan kepada orang yang berjasa.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, mantan presiden, wakil presiden, atau tokoh negara di negeri ini, yang sudah meninggal, semestinya memiliki jasa, selain meninggalkan sejumlah karya dan catatan. Mereka juga memiliki pendukung, selain keluarga. Seseorang tak benar-benar pergi, sebab dia selalu hidup dalam hati mereka yang mengenangnya. Tak sedikit pula yang mengusulkan pemberian gelar pahlawan dan menghapus kesalahan yang pernah dibuat tokoh itu di masa lalu.
Setiap kali menjelang pelantikan presiden/wapres, ingatan rakyat dan penyelenggara negara juga selalu mengarah kepada mantan presiden/wapres yang sudah wafat, dengan beragam cara. Salah satunya adalah usulan penghapusan nama Presiden Soeharto dalam Ketetapan (Tap) Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun, meninggalkan jejak kontroversial. Pada satu sisi, pemerintahannya ditandai dengan pembangunan ekonomi yang pesat, tetapi pada sisi lain dibayang-bayangi oleh praktik KKN yang masif dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo (kiri) melepas perwakilan keluarga Presiden RI Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana dan Siti Hediati Hariyadi, setelah penyerahan surat penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR sebagai jawaban atas surat pimpinan MPR nomor B-13721/HK.00.00/B-VII/MPR/09/2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9/2024).Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo (kiri) melepas perwakilan keluarga Presiden RI Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana dan Siti Hediati Hariyadi, setelah penyerahan surat penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR sebagai jawaban atas surat pimpinan MPR nomor B-13721/HK.00.00/B-VII/MPR/09/2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9/2024).
Penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR bisa menimbulkan implikasi serius. Tidak hanya bagi penegakan sejarah, tetapi bagi upaya rekonsiliasi nasional dan keutuhan bangsa. Penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR terkait KKN bisa dianggap sebagai upaya untuk melupakan sejarah kelam Orde Baru. Ini berpotensi membuka luka lama dan menciptakan narasi baru ketidakadilan bagi korban dan keluarganya. Padahal, bangsa ini perlu belajar dari sejarah agar tak mengulangi kesalahan yang sama. Di sisi lain, penghapusan ini dapat dilihat sebagai bagian dari agenda rekonsiliasi nasional.
Bagi pendukungnya, langkah ini bisa dianggap sebagai bentuk penghargaan atas peran Soeharto dalam stabilitas politik dan ekonomi pada masa lalu. Bahkan, penghapusan ini bisa saja diikuti dengan pengusulan sebagai pahlawan. Namun, bagi penentangnya, penghapusan itu mengecewakan dan bisa memicu polarisasi politik yang lebih tajam dalam masyarakat. Jika tak dikelola dengan bijak, polarisasi ini bisa memperuncing perpecahan sosial dan politik yang sudah ada.
Presiden Soeharto dan Ny Tien Soeharto tersenyum ketika hendak memasukkan surat suara di TPS 02 Cendana, Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng, 9 Juni 1992.KOMPAS/JB SURATNOPresiden Soeharto dan Ny Tien Soeharto tersenyum ketika hendak memasukkan surat suara di TPS 02 Cendana, Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng, 9 Juni 1992.
Usulan penghapusan nama Soeharto dalam Tap MPR itu memang seakan dibarengkan dengan ”penghapusan” Tap Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno ataupun Tap Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, pascaperubahan UUD 1945, yang diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), MPR tak memiliki kewenangan lagi membuat Tap MPR. Usulan itu akan menimbulkan problema hukum dan ketatanegaraan.
Sebagai bangsa yang mengalami berbagai peristiwa politik besar, kita harus berhati-hati dalam memperlakukan sejarah. Keinginan menghormati Soeharto harus didasari oleh prinsip keadilan, keterbukaan, dan penghormatan pada kebenaran.
|
Kembali ke sebelumnya |