Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Azwar Anas: Reformasi Birokrasi Era Jokowi Fondasi Penting untuk Pemerintahan Prabowo
Tanggal 07 Oktober 2024
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi VIII
Isi Artikel

Sederet capaian untuk perbaikan birokrasi telah ditorehkan selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024). Dari mulai peningkatan kualitas aparatur sipil negara, pelayanan publik, hingga di ujung pemerintahannya melahirkan INA Digital sebagai bagian dari pembangunan sistem pemerintahan berbasis elektronik.

Meski demikian, reformasi birokrasi yang menjadi salah satu amanat dari Reformasi 1998 belum tuntas. Keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik masih kerap terdengar. Kinerja birokrasi pun masih sering tidak selaras dengan problem yang dihadapi masyarakat.

Bagaimana lengkapnya capaian dan tantangan untuk reformasi birokrasi selama satu dekade pemerintahan Jokowi? Apa saja pekerjaan rumah reformasi birokrasi yang perlu jadi atensi pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto? Pada Kamis (3/10/2024) di kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), di Jakarta, Kompas mewawancarai Menpan dan RB Abdullah Azwar Anas. Berikut petikan wawancaranya:

Apa saja capaian menyeluruh terkait reformasi birokrasi selama satu dekade pemerintahan Jokowi?

Reformasi birokrasi bertujuan memperbaiki sistem penyelenggaraan pemerintahan agar lebih efektif dan akuntabel. Di bidang reformasi birokrasi, beberapa capaian utama, antara lain peningkatan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Sakip) selama sepuluh tahun terakhir yang menunjukkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan berdampak.

Peningkatan Sakip juga berkontribusi terhadap akselerasi agenda pembangunan, seperti pengentasan rakyat dari kemiskinan dan penurunan angka pengangguran. Pemerintah daerah dengan Sakip ”AA” dan ”A”, rata-rata angka pengangguran di daerahnya sebesar 4,96 persen di 2023, lebih rendah dari angka pengangguran nasional, 5,3 persen, serta rata-rata angka kemiskinan sebesar 8,63 persen di 2023 lebih rendah dari angka kemiskinan nasional, 9,36 persen.

Selain itu, pemerintah daerah dengan Sakip ”AA” dan ”A” mendapatkan rata-rata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 78,58 pada 2023 lebih tinggi dari rata-rata IPM Nasional, 74,39.

Di sisi pelayanan publik juga ada peningkatan, Indeks Pelayanan Publik meningkat dari 3,84 pada 2020 menjadi 3,93 pada 2024. Di luar itu, telah terbentuk 208 mal pelayanan publik hingga akhir September lalu, serta digitalisasi layanan melalui Mal Pelayanan Publik Digital yang diterapkan di 199 pemda.

Bagaimana dengan aparatur sipil negaranya?

Pemerintahan Presiden Jokowi sangat menekankan pentingnya peningkatan SDM birokrasi karena birokrasi adalah mesin dari pelayanan publik. Bayangkan jika mesinnya tidak berfungsi dengan baik, tentu akselerasi pelayanan publik akan terganggu. Karena itu, transformasi birokrasi, khususnya terkait SDM, yaitu ASN (aparatur sipil negara), menjadi prioritas utama.

Kami sudah mulai melakukan perbaikan serius dalam proses rekrutmen ASN. Dulu mungkin ada istilah ’orang-orang titipan’, tetapi sekarang hal itu sudah tidak terjadi lagi. Sistem rekrutmen SDM saat ini menggunakan sistem yang transparan dan dilengkapi dengan kualifikasi yang memadai. Seperti, menggunakan teknologi face recognition, mulai dari pendaftaran hingga ujian.

Hal kedua yang menjadi perhatian penting adalah transformasi tata kelola berbasis digital. Kami telah bertemu dengan banyak tokoh internasional untuk menindaklanjuti arahan Presiden, yaitu bagaimana mendorong transformasi digital dengan tata kelola yang transparan, inklusif, dan partisipatif. Selama ini, ada persepsi bahwa digitalisasi identik dengan pembuatan aplikasi. Faktanya, banyaknya aplikasi dalam rangka inovasi yang tidak selalu menyelesaikan masalah.

Presiden telah mengarahkan agar tidak ada lagi pembuatan aplikasi baru, kecuali untuk mengintegrasikan sistem yang ada. Itulah mengapa lahir Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik dan kemudian Perpres No 82/2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital Nasional.

Fokus utama kami saat ini adalah membangun arsitektur Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang selaras dengan standar dunia. Fokus kami adalah pada digital ID, data exchange platform, dan digital payment. Kenapa ini menjadi kunci? Karena konsolidasi birokrasi, program-program sosial, dan bantuan pemerintah semuanya sangat bergantung pada digital ID. Dengan fondasi dasar yang telah kita bangun ini, kami berharap ke depan proses ini akan berhasil.

Meski banyak capaian, masih sering pula terdengar keluhan masyarakat terkait birokrasi dan pelayanan publik, bagaimana langkah mengatasi persoalan ini?

Sesuai dengan arahan Presiden, kami sekarang mendorong reformasi birokrasi yang berdampak nyata. Salah satu indikator reformasi birokrasi yang berdampak adalah penurunan angka kemiskinan.

Penilaian ini sangat penting karena terkadang kesibukan birokrasi tidak diiringi dengan dampak nyata. Oleh karena itu, dalam menilai kinerja birokrasi, hal pertama yang kami cek adalah akuntabilitasnya. Selanjutnya, berapa penurunan angka kemiskinannya? Jika laporannya terlihat bagus, tapi kemiskinan malah meningkat, tentu itu tidak sesuai dengan tujuan.

Indikator lainnya adalah peningkatan investasi, belanja produk dalam negeri, dan digitalisasi administrasi pemerintahan. Jika tidak seperti itu, birokrasi akan terjebak dalam kesibukan administratif tanpa dampak nyata. Tujuan akhir dari birokrasi yang efisien adalah mendorong pertumbuhan investasi dan pelayanan masyarakat, salah satunya melalui sistem digitalisasi yang lebih efisien.

Bagaimana progres penyelesaian tenaga honorer, apalagi tahun ini harus tuntas sesuai Undang-Undang ASN?

Ketika kami masuk, total ada 2,3 juta tenaga honorer yang tercatat dalam database BKN (Badan Kepegawaian Nasional). Saat ini, kami fokus menyelesaikan isu tersebut bersama DPR di Komisi II, dengan prioritas menyelesaikan 1,7 juta tenaga honorer yang tersisa. Kami menargetkan penyelesaiannya hingga Desember 2024.

Dari 1,7 juta tenaga honorer tersebut, daerah yang telah mengajukan formasi sekitar 1,5 juta. Sebagian daerah yang tidak mengajukan formasi karena keterbatasan anggaran.

Sebagai solusinya, bagi yang memenuhi kualifikasi, mereka akan diangkat menjadi PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Daerah yang memiliki anggaran cukup dan sesuai dengan kualifikasi PPPK yang ditetapkan dapat mengusulkan formasi.

Sementara itu, bagi daerah yang anggarannya terbatas, tenaga honorer tetap bisa dipertahankan dengan skema yang ada saat ini tanpa membebani anggaran atau mengurangi pendapatan tenaga honorer yang sudah ada.

Ini adalah langkah pemerintah untuk memastikan tidak ada tenaga honorer yang dirugikan. Jika tahun ini tidak diambil keputusan, akan timbul masalah karena status yang hanya mengakui PNS dan PPPK. Atas arahan Presiden, kami menyelesaikan persoalan ini, terutama untuk tenaga di bidang kesehatan dan pendidikan, yang menjadi prioritas sesuai dengan database yang ada di BKN.

Sejauh mana sistem pemerintahan berbasis elektronik direalisasikan?

Hampir semua negara kini membicarakan digitalisasi, tetapi sering kali arsitektur dan sistem yang ada tidak terintegrasi sehingga dampaknya tidak terasa. Kami mencatat ada 20 negara dengan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang paling baik, dan ternyata, jika SPBE mereka bagus, indeks persepsi korupsi, indeks kebahagiaan, dan indeks investasi mereka juga bagus. Contohnya adalah Korea Selatan, Denmark, Singapura, dan Finlandia.

Menyadari hal ini, pemerintah melihat pentingnya segera membuat kebijakan terkait dengan digitalisasi. Kami telah diberikan arahan oleh Presiden untuk mempercepat proses ini melalui perpres. Kami juga berkolaborasi dengan institusi pemerintah dan telah melakukan kunjungan ke negara-negara, seperti Estonia dan Inggris, yang memiliki sistem pemerintahan berbasis elektronik yang maju.

Di Inggris, misalnya, banyak aplikasi yang dulunya terpisah kini telah disatukan dalam satu portal. Mereka mengalami kesulitan pada awalnya karena setiap kementerian merasa memiliki sistem yang terbaik. Hal yang sama terjadi di kita. Oleh karena itu, untuk menyatukan berbagai sistem yang ada, kami belajar dari pengalaman negara-negara lain dan memutuskan untuk membentuk GovTech Indonesia, yang kami beri nama INA Digital.

Proses menuju digitalisasi ini merupakan perjalanan yang panjang dan menjadi titik penting bagi Indonesia untuk bangkit dan mengejar ketertinggalan.

Luar biasanya, dari 2022 hingga 2024, dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi, ranking E-Government Development Index kita naik 43 peringkat, yang masuk kategori Very High E-Government Development Index (VHEGDI) yang merupakan pencapaian yang signifikan.

Indeks SPBE Nasional pun telah mencapai skor 2,79, melebihi target 2.6 pada RPJMN sebelumnya. Kenaikan nilai GovTech Maturity Index dari ”B” pada 2020 menjadi ”A” pada 2022, serta percepatan aksesi Indonesia ke OECD, menunjukkan kemajuan yang signifikan.

Saat ini, fokus kami ada pada sembilan layanan prioritas sesuai Perpres No 82/2023 meskipun belum semuanya terintegrasi. Pengintegrasian layanan ini melibatkan berbagai kementerian terkait, termasuk Kemendagri, Kominfo, dan BSSN untuk memastikan keamanan data. Keamanan data sangat penting untuk dilindungi dan harus disampaikan dengan baik kepada masyarakat.

 

Beberapa produk awal, termasuk Identitas Digital Terpadu (INApas), Portal Administrasi Pemerintahan (INAgov), dan Portal Pelayanan Publik (INAku). Layanan ini telah dirilis secara bertahap, dimulai dengan rilis terbatas pada 30 September 2024 untuk 40.000 pengguna. Inisiatif ini tidak hanya memberikan kemudahan bagi masyarakat, tetapi juga memungkinkan pengumpulan feedback untuk perbaikan berkelanjutan.

Selain terus menyempurnakan SPBE, apa lagi yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Prabowo mendatang?

Pemerintahan mendatang harus fokus pada penguatan tata kelola berbasis digitalisasi sesuai dengan visi Indonesia Emas 2045.

Dalam Asta Cita (visi-misi Prabowo-Gibran), poin ketiga menyebutkan pentingnya tata kelola dan transformasi digital. Ini tertulis secara jelas di dalamnya. Cita-cita presiden terpilih sangat jelas terdapat penekanan pada tata kelola yang inklusif, transparan, dan berdampak.

Kami yakin bahwa apa yang kita kerjakan sekarang adalah fondasi penting untuk masa depan. Apa yang kami kerjakan menjadi bagian penting dari pemerintahan ke depan, di mana capaian-capaian yang berdampak akan dilanjutkan.

Dalam rapat kabinet terkait digitalisasi, Presiden Jokowi juga sangat terlibat, dan tim transisi Prabowo baru-baru ini telah berdiskusi mendalam dengan kami terkait GovTech dan digitalisasi pemerintahan. Terkait dengan hal ini, kebutuhan dari pemerintahan presiden terpilih akan sangat relevan. 

Kemenpan dan RB pun terus berkomunikasi dengan tim transisi mengenai tata kelola dan bagaimana SDM ke depan harus diatur. Kami telah menyampaikan berbagai hal yang dibutuhkan untuk itu. Tentu, keputusan politik ada di tangan mereka, terkait dengan saran yang diminta mengenai tata kelola, SDM, serta program-program kesejahteraan lainnya, sudah kami sampaikan.

Arahnya adalah bagaimana pemerintahan, meskipun dengan jumlah kementerian yang beragam, tetap dapat berfungsi secara efektif dari sisi SDM. Kami sepakat bahwa tata kelola harus disertai dengan sistem integrasi yang baik. Jika sistem pemerintahan berbasis digital ini diterapkan dengan baik, kami yakin pemerintahan berkelas dunia bakal segera terwujud.

 

 

 

  Kembali ke sebelumnya